
Oleh: Ifwanul Hakim
DI era 1930-an, waltz (dansa lantai Eropa) menjadi tren bagi bangsa Eropa. Tren ini sampai pula ke negeri-negeri jajahan. Tak terkecuali Kesultanan Melayu Serdang sebagai negeri jajahan Belanda.
Waltz kerap ditarikan muda-mudi Belanda di berbagai perhelatan. Dalam diskusi santai saya bersama Tengku Ryo Riezqan (Merdangga Diraja Serdang). Dia menceritakan tentang kegelisahan dari Sultan Sulaiman melihat fenomena ini. Sultan khawatir tradisi tari Eropa ini memengaruhi pikiran dan perilaku putra-putri Serdang.
Sultan kemudian berpikir untuk menghadirkan tarian Melayu bagi pemuda dan pemudi Serdang. Sebagai anti-tesis dari tari waltz Eropa. Diundanglah seorang ahli tari istana, bernama Sauti.
Dititahkan kepada Sauti untuk menciptakan tari kreasi baru khas Melayu Serdang. Dengan kepiawaiannya, Sauti merekonstruksi ulang tari Melenggok dan Lagu Dua. Terciptalah tarian baru bernama Tari Pulau Sari dengan 13 macam ragam.
Tarian itu kemudian di pamerkan kehadapan Sultan. Sebagai seorang berjiwa seni, Pulau Sari disempurnakan oleh Sultan Sulaiman menjadi 12 ragam. Diganti nama menjadi Serampang Dua Belas.
Serampang Dua Belas adalah seni Melayu yang unik. Dari sisi penamaan misalnya. Umumnya, judul lagu atau tarian Melayu diambil dari nama sungai. Seperti Kuala Deli, Tanjung Katung, atau Pancang Jermal. Beberapa terinspirasi dari nama kota seperti Sri Langkat, Sri Kedah, atau Sri Tamiang.
Penggunaan angka (numbering) menjadi sesuatu yang tak lazim untuk karya seni Melayu. Dia biasanya dijumpai pada tradisi musik barat. Seperti Sonata no. 11 (mozart) atau Nocturne no 20 (chopin). Ini mengindikasikan bahwa Sultan Sulaiman memiliki keterbukaan wawasan dan pola pikir.
Komposisi musiknya juga berbeda dari jenis musik tari yang lain. Tidak diiringi harmoni chordal. Hanya ritme (pakpung), dan melodi (akordion). Nuansa melodi dan ritmik triplet (3/4) menunjukkan pengaruh musik Portugis.
Musik tari Melayu biasanya menggunakan pola 4 bar (4 baris pantun) untuk satu kalimat. Pembentukan kalimat musik (serta tari) Serampang 12 disusun per 12 bar. Mirip pola 12 bar pada musik blues.
Tarian mengandung makna filosofis. Bercerita tentang percintaan muda mudi yang digambarkan lewat tari berpasangan. Ragam demi ragam menjadi tunjuk ajar mencari jodoh bagi budak melayu. Mulai dari mengenal, merisik, meminang, hingga menikah.
Setiap ragam tari diatur dalam simbol budaya yang luhur. Diatur berasas ajaran Melayu (Islam). Tak ada sentuhan fisik lelaki dan perempuan. Dijaga tatapan berlebihan, diwakilkan oleh jeling pandangan. Serta menghindari gerakan sensual, terutama untuk penari perempuan.
Untuk Dunia
Ditampilkan pertama kali kepada khalayak umum pada 9 April 1938. Dalam acara Muziek en Toneel Vereniging Andalas di Grand Hotel Medan. Sejak saat itu Serampang 12 perlahan-lahan dikenalkan ke publik.
Guru Sauti kemudian mengadakan workshop tari di akademi seni tari di beberapa daerah di Indonesia. Juga di luar negeri, seperti Malaysia dan Peking, Republik Rakyat Tiongkok. Jadilah tarian ini semakin mahsyur.
Era Presiden Sukarno, Sauti kerap diundang menari di Istana Negara, Jakarta. Ibu Fatmawati Soekarno dan Rahmi Hatta ikut juga mempelajari tarian tersebut, dibimbing langsung oleh Sauti.
Semangat antiasing Sultan Serdang V, setali sebenang dengan Soekarno. Presiden I Indonesia itu menolak keras seni yang kebarat-baratan. Olehnya, Serampang 12 sempat dicanangkan menjadi tarian wajib nasional.
Hari ini, jejak Serampang 12 masih jelas terlihat. Di Sumatera Utara (Deli Serdang, Serdang Bedagai, Langkat, Asahan, Labuhan Batu, dll.). Serampang 12 termasuk satu dari 9 reportoar tari wajib Melayu. Diajarkan di sanggar dan sekolah. Disebut sebagai tarian induk (utama) karena variasi pola yang banyak dan tekniknya yang sulit.
Begitu pula ia dipakai oleh masyarakat Melayu di Riau, Jambi, Lampung, Bengkulu, serta Jawa, dan Kalimantan. Para penari Serampang 12 se-Indonesia ini kerap bertemu setiap tahun. Festival Serampang 12 di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, menjadi tempat beradu ilmu.
Tak hanya di Indonesia. Serampang 12 dikenal dan dipelajari oleh puak Melayu di wilayah semenanjung. Di antaranya Malaysia, Singapura, Thailand, dan Brunei Darussalam.
Benar memang, buah tangan guru Sauti ini adalah sebuah mahakarya seni yang tinggi. Lebih dari itu, ia sejatinya sebuah great design, gagasan besar dari seorang pemimpin.
Sultan Sulaiman mengajarkan, seni bukan sekadar keindahan artistik. Seni berfungsi sebagai nutrisi bagi akal dan budi. Seni sebagai identitas dan kehormatan suatu bangsa.
Serampang 12 adalah jati diri Melayu. Dia lahir dari sebuah kesadaran untuk menciptakan bangsa yang mandiri. Tuah pusaka yang harus dijaga.
Serampang 12 hadir bukan hanya sebagai buah pikir seni. Ia adalah representasi dari sebuah sikap. Sikap seorang pemimpin untuk menjaga marwah bangsanya. Sikap yang menolak dikuasai bangsa asing. Sikap yang mulai hilang dari bangsa kita hari ini.