
Oleh: A.P. Edi Atmaja.
Saya tak berhasil mengingat siapakah sesungguhnya yang pertama kali mengucapkan ini: Kita tidak akan mungkin dapat memilih bagaimana cara kita lahir dan memulai hidup sebagai manusia. Namun, akan selalu ada pilihan tentang bagaimana cara kita mati dan mengubah diri menjadi sebongkah jenazah.
Kematian memang misteri, tetapi variabel-variabel pendukungnya sedikit banyak dapat diupayakan oleh sang manusia itu sendiri.
Saya sedang berjalan di depan Taman Pemakaman Umum Parakan, Tangerang Selatan - di suatu jalan kecil bernama Jalan TPU Parakan - dan isi paragraf pertama di atas tiba-tiba menyengat bak wangsit. Pada pagi itu, matahari telah sepenggalah dan jalanan dalam kondisi yang nisbi sepi. Saya lihat lekat-lekat, kompleks pemakaman seluas 7.000 meter persegi itu berisi kurang dari dua puluh nisan.
Kemudian saya berandai-andai. Kira-kira apa yang menyebabkan pemakaman seluas itu “dihuni” oleh ahli kubur sesedikit itu? (Saya belum cukup tuntas mengenal daerah ini, tetapi mudah-mudahan akan segera dapat mengenal sepenuhnya dalam waktu dekat.)
Andaian pertama, barangkali apa yang saya lihat tidak seperti apa yang sesungguhnya terjadi: meski cenderung kosong, kompleks itu sebenarnya telah penuh oleh pesanan dari warga. Artinya, kompleks itu telah dikaveling untuk para calon penghuni yang kini belum lagi koit.
Andaian kedua, dan ini yang paling dapat saya terima, mereka para warga memang tak pernah berkehendak untuk dimakamkan di situ. Saya belum lagi meneliti demografi daerah itu, tetapi kabar lisan yang saya terima menyebutkan bahwa mayoritas penduduk adalah kaum pendatang: para perantau yang mengadu untung di ibukota negara dan memantapkan hati tinggal di wilayah pinggiran itu.
Bagi kaum pendatang, tanah rantau agaknya bukanlah tanah air, tempat asal usul jati diri yang suatu saat akan dipulangi, melainkan persinggahan sementara yang saban waktu bakal ditinggalkan begitu saja. Kendati lebih dari separuh hidup mereka larut di perantauan, imaji mereka tentang kampung halaman tak akan pernah pupus. Selalu ada asa di masa mendatang untuk terus menerus berpulang ke haribaan asal usul. Selalu ada rindu yang menggebu akan kenangan masa lalu.
Dalam andaian yang semacam itulah saya menyimpulkan alasan betapa lengangnya kompleks pemakaman yang berjuluk TPU Parakan itu. Penduduk yang bermastautin di daerah itu tidak berniat dimakamkan di situ, di tanah rantau yang bukan tanah air. Meski raga telah jauh meninggalkan kediaman asal, pikiran dan jiwa selalu terpaku ke sana, selalu ingin kembali ke kampung halaman hingga Sang Khalik memanggil.
Suatu kali saya melawat ke Kabupaten Indragiri Hilir dan menjumpai sejumlah pemakaman. Di kabupaten paling ujung di bagian selatan Provinsi Riau itu, makam diperlakukan laiknya tempat mengubur mayat belaka. Tidak tampak bekas perawatan dan pemeliharaan. Tidak tampak bekas ziarah dari mereka yang hidup terhadap makam-makam itu. Tidak tampak sakralitas nan angker dari makam-makam yang terbengkalai itu.
Sebagaimana terjadi pada sudut-sudut lain di kabupaten yang berdiri sejak 1965 itu, air sungai kerap merangsek daratan. Sesuai namanya, Kabupaten Indragiri Hilir adalah pelintasan pamungkas Sungai Indragiri yang berhulu di Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat, sebelum bersua dengan Selat Malaka. Kondisi ini menyebabkan daratan Kabupaten Indragiri Hilir - kecuali bagian selatan seperti Kecamatan Kemuning - acap kali digenangi air, termasuk daratan yang difungsikan sebagai makam-makam.
Namun, apakah kendala geografis semacam itu adekuat untuk dijadikan alasan pembenar? Saya berandai-andai kembali: makam sejatinyalah cerminan dari kultur dan karakter masyarakat. Dalam masyarakat yang menganggap makam sebagai situs yang sakral di mana jasad leluhur dimonumenkan, pertalian keluarga direkatkan ulang sehabis diputus kematian, dan subjek dari masa silam diawetkan untuk diingat terus menerus, kompleks pemakaman tentu saja tidak akan pernah mangkrak sebab senantiasa akan ada pemeliharaan yang rutin dan kontinu.
Sebaliknya, pada masyarakat yang menganggap kematian adalah siklus kehidupan semata yang tidak perlu diingat-ingat apalagi diawetkan dalam suatu epitaf, makam diperlakukan secara fungsional saja: sarana penguburan jenazah - entah lantaran tuntutan agama dan kepercayaan, ikhtiar menjaga keterjaminan medis bagi mereka yang masih bernyawa, atau sekadar pelaksanaan tradisi setempat. Tidak ada anasir non-logika di sana. Tidak ada laku irasional yang berlandaskan pada penghayatan batin.
Suatu waktu saya berjumpa dengan seorang guru di Kecamatan Pulau Burung, wilayah yang sungguh terpencil di Kabupaten Indragiri Hilir. Sang guru adalah seorang transmigran dari Pulau Jawa yang merantau ke sana pada masa pemerintahan Presiden Soeharto. Dia bercerita tentang anaknya yang baru saja lulus dari sebuah kampus mentereng di Jawa dan kini menetap dan bekerja di sana.
Transmigran di Riau yang menyekolahkan anak di Jawa bukanlah suatu keganjilan. Alih-alih menderita, para transmigran - setidaknya di Riau - justru beroleh fasilitas di tanah rantau: rumah dan kebun yang amat luas. Sang guru, misalnya, memiliki berhektare-hektare kebun kelapa (Kabupaten Indragiri Hilir merupakan daerah penghasil kelapa terbesar di Indonesia) yang membuat urusan menyekolahkan anak di Jawa adalah perkara yang gampang saja.
Keganjilan sesungguhnya adalah ini: Guru itu berharap, ia dapat segera menyusul si anak ke Jawa dan menetap di sana juga, kampung halaman yang dahulu mesti ia tinggalkan demi penghidupan. Suatu rencana yang matang dan bersifat jangka panjang, tetapi tampaknya akan berhasil. Sang guru bercita-cita untuk dimakamkan di Jawa bersama para leluhur. Ia tidak berminat dimakamkan di lingkungan masyarakat yang tidak memedulikan makam. Selain itu, ia tidak dapat membayangkan pusaranya kelak digenangi air dan terpencil dari peradaban.
Di manakah kita berharap akan dimakamkan? Di manakah kita akan memilih untuk dimakamkan? Pertanyaan-pertanyaan semacam itulah yang menggelayuti pikiran mereka yang terpaksa meninggalkan kampung halaman demi kehidupan yang lebih baik. Mereka yang memutuskan hijrah dari tanah air dan berkelana mencari kemungkinan-kemungkinan baru yang menggiurkan. Mereka para petualang yang berani mengarungi kehidupan tetapi mendadak cemas saat kematian menjelang.
Namun, petualang sejati selalu bisa menemukan cara untuk menyiasati mati, termasuk persoalan tentang di mana nanti akan dimakamkan. Pengelana ulung senantiasa dapat memilih tempat yang tepat untuk merebahkan raga—untuk dikenang dan tidak dilupakan generasi selanjutnya. Berpulang ke kampung halaman tampaknya menarik. Akan tetapi, mewariskan pusara berupa karya yang bermanfaat bagi alam semesta agaknya sesuatu yang layak diperjuangkan. ***
Penulis adalah Esais, penikmat pelbagai karya John Steinbeck.