
Berdasarkan data sejarah yang penulis peroleh dari berbagai sumber, Kesultanan Kotapinang ini pertama kali didirikan Sultan Batara Sinomba yang disebut juga dengan Sultan Batara Guru Gorga Pinayungan. Sultan Batara Sinombah merupakan keturunan dari Sultan Minang Kabau Negeri Pagaruyung yang bernama Sultan Alamsyah Syaifuddin.
Kesultanan ini awal mulanya bernama Kesultanan Pinang Awan. Menurut orang-orang tua di sana, nama Kotapinang sendiri diambil dari kata Huta Pinangaon, yang artinya pinang yang mengawan atau pinang yang menjulang sampai ke awan. Pinang itu menurut cerita, tumbuh di depan Istana Kesultanan Kotapinang. Yang membuat nama Kotapinang lebih melekat, sebab di sepanjang Sungai Barumun dulunya berpagar pinang, sehingga kala itu Kotapinang juga dikenal dengan pagar pinang.
Awal berdirinya, di daerah Kotapinang hanya dihuni dua suku besar yakni Dasopang dan Tamba yakni 30 Kilometer dari Kotapinang. Bekas kekuasaan kedua suku itu terlihat dari peninggalannya berupa kuburan. Kedua suku inilah yang bertahun-tahun bermukim di kawasan itu.
Selama kedua suku itu berkuasa, timbul percekcokan bahkan sering terjadi perkelahian antara kedua suku, karena masing-masing ingin menguasai daerah itu. Karena perselisihan tak dapat diselesaikan, maka mereka sepakat supaya kekuasaan diserahkan pada siapa pendatang di daerah itu. Mereka pun sama-sama mencari orang yang mampu memimpin daerah itu.
Dalam usaha mencari siapa yang akan diangkat jadi pemimpin, kala itu kedua suku tersebut menemukan seorang pendatang bernama Batara Guru Pinayungan. Sesuai ikrar, maka Batara Guru Pinayungan diangkatlah menjadi raja dan mengayomi seluruh masyarakat termasuk warga di luar kedua suku besar tersebut.
Batara Guru Pinayungan diyakini berasal dari daerah Pagaruyung. Kedatangannya ke daerah itu juga penuh dengan cerita mistis. Batara Guru Pinayungan diyakini memiliki kesaktian yang tinggi. Dia datang dari Pagaruyung melayang dan terdampar di Kotapinang.
Namun, masa kejayaan Kesultanan Kotapinang ketika dipimpin Raja Tengku Ismail bergelar yang Dipertuan Sakti. Bahkan wilayah kekuasaanya sampai ke perbatasan Selat Malaka. Masa keemasan itu cukup lama bertahan, yakni pada tahun 1873 sampai 1893.
Saat itu Tengku Ismail memiliki lima anak yakni tiga putra dan dua putri. Putra pertama bernama Tengku Musthafa bergelar Yang Dipertuan Makmur Perkasa Alamsyah, putra kedua bernama Tengku Makmoen Alrasyid yang bergelar Tengku Pangeran, putra ketiga Tengku Alangsyarif, sedangkan kedua putrinya Tengku Zubaedah dan yang terakhir Tengku Cantik.
Saat Tengku Ismail wafat, Tengku Musthafa masih berusia 12 tahun. Dia langsung dinobatkan oleh tokoh-tokoh Melayu untuk memangku tampuk kepemimpinan Kesultanan Kotapinang yang ke-11. Meski dalam usia mudanya, Tengku Musthafa mampu memimpin Kesultanan Kotapinang serta mempertahankan teritorialnya.
Bahkan, di masa pemerintahan Tengku Musthafa inilah Istana Bahran dibangun, sekira tahun 1931 dan kemudian diresmikan pada tahun 1934. Setelah Jepang meninggalkan Indonesia pada tahun 1945, para Sultan di Sumatera Timur menghendaki kedudukannya sebagai Raja kembali. Tetapi geraka revolusi sosial Sumatera Timur yang anti bangsawan pada tahun 1946 menghancurkan segalanya.
Negeri ini mengalami gejolak. Bahkan, Tengku Musthafa bersama anaknya Tengku Besar menjadi korban kebrutalan masyarakat sekitar yang akhirnya keduanya terbunuh. Tidak hanya itu, keluarga besar Kesultanan pun hijrah ke daerah lain untuk menyelamatkan diri. Dalam situasi keamanan tak menentu, Istana Kotapinang dikuasai rakyat, harta dijarah, istana dirusak, sebagian tanah dikuasai masyarakat.
Potensi Tak Tergarap
Sejarah ini merupakan potensi wisata budaya yang dapat menjadi andalan Kabupaten Labuhanbatu Selatan. Sayangnya, potensi itu tak tergarap, sehingga reruntuhan istana itu hanya menjadi seonggok bangunan tua yang tak menghibur, saat warga melintasinya.
Pada Selasa, 20 November 2018 lalu, penulis bersama pengurus KNPI Labuhanbatu Selatan dan Ketua Ikatan Arsitek Indonwsia (IAI) Sumut Ir Sahlan Jukhri, berkunjung ke istana yang terletak di Jalan Ahmad Yani, Kelurahan Kotapinang, Kecamatan Kotapinang itu. Kondisinya memang sudah sangat memperihatinkan.
Tak banyak yang tersisa dari bangunan tersebut, kecuali sebagian dinding-dindingnya yang masih kokoh berdiri dan pondasi bangunan yang mulai keropos dimakan usia. Sekeliling istana kini dirimbuni alang-alang yang menyemak hingga ke dalam bangunan.
Memang, tak banyak catatan resmi tentang berdirinya Istana Kota Bahran ini. Namun, sejumlah saksi sejarah meyakini, istana tersebut dibangun pada masa pemerintahan Sultan Mustafa XII. Dan dulunya istana itu sangat megah, namun karena dihancurkan, kini kemegahan itu sudah tak tampak lagi. Masa kejayaan itu terkikis, kemewahaan Istana Kota Bahran tinggal reruntuhan saja.
Kondisi ini juga diperparah dengan ketidakpedulian Pemkab Labuhanbatu Selatan dalam memanfaatkan potensi wisata budaya yang terkandung di Istana Bahran ini. Istana itu dibiarkan terlantar begitu saja. Bangunan istana itu sama sekali belum pernah tersentuh renovasi baik dari ahli waris maupun Pemkab Labuhan batu Selatan. Pada tahun 1990-an, pernah ada rencana pemerintah untuk memugar kembali bangunan itu, namun sampai kini realisasinya tak ada.
Padahal, Istana Kotapinang ini merupakan heritage yang mempunyai nilai sejarah yang cukup tinggi dan dapat dijadikan ikon yang paling bergengsi dan mempunyai daya saing yang tinggi dari daerah lain di Sumatera Utara.
Apabila istana ini direnovasi dengan baik dan dilestarikan sebagai cagar budaya nasional, tentu akan mampu mendatangkan PAD dari sektor pajak hiburan dan merangsang pengunjung dari berbagai penjuru datang untuk melihat langsung serta mengetahui sejarah tentang istana ini. Apalagi arsitektur istana itu sangat unik sehingga mampu menarik wisatawan untuk berkunjung.
Sebagai wujud kepedulian terhadap peninggalan sejarah ini. Dan sebagai upaya untuk merekonstruksi kembali kemegahan istana itu. Pengurus Besar Ikatan Keluarga Labuhanbatu Selatan (PB Iklas) menggelar seminar atau dialog publik bertajuk "Napak Tilas Kejayaan Istana Kesultanan Bahran Kotapinang” di Gedung Santun Berkata Bijak Berkarya (SBBK), Jalan Bukit Kotapinang ini, 22 Desember 2018 lalu.
Dalam seminar yang digelar PB Iklas bersama LIPPSU dan Yayasan Daun Sirih Sumatera Utara ini, tersusun komitmen untuk melestarikan keberadaan Istana Bahran serta mendorong untuk merekonstruksi kembali sejarah istana kerajaan Kotapinang tersebut sebagai ikon daerah. Bahkan jika perlu Kotapinang diwujudkan sebagai kota pusaka.
Sayang, tidak satupun perwakilan Pemkab Labusel hadir dalam seminar itu. Ketidakhadiran itu menggambarkan, Pemkab Labusel tidak memiliki komitmen untuk melestarikan peninggalan sejarah yang sudah 60 tahun terbengkalai itu. Padahal penyelenggara dan para narasumber yang hadir termasuk perwakilan Pemprov Sumut memiliki komitmen besar memajukan Kabupaten Labusel dari aspek peninggalan bersejarah dan kebudayaan yang terkenal itu.
(Penulis adalah Ketua Umum PB Iklas)