Masih Perlukah Ujian Nasional?

masih-perlukah-ujian-nasional

Oleh: Ali Munir, S.Pd.

Pada acara debat ketiga di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu (17/3), Cawapres nomor urut 02 dalam pemaparan visi dan mi­sinya, Sandiaga Uno mengatakan jika nantinya terpilih, sis­tem Ujian Nasional (UN) akan diganti dengan penelusuran mi­nat dan bakat. Selain itu, ia mengatakan akan membuat sebuah konsep sekolah link anda match untuk menghubungkan sekolah dengan lapangan kerja. Sebenarnya, gagasan peng­hapusan UN ini sudah ada sejak dulu dan telah digaungkan oleh banyak pakar pendidikan di Indonesia karena dinilai tidak lagi efektif menjadi standar bagi kemampuan pelajar agar bisa lulus dari jenjang pendidikan.

Tidak sedikit pengamat pendidi­kan kita yang berpandangan bahwa UN hanyalah untuk melestarikan budaya kecurangan pada siswa dan guru. Penghapusan UN justru dianggap sebagai pra­syarat untuk memajukan kualitas pendidikan nasional. UN terbukti tidak efektif meningkatkan mutu pendidikan sekaligus juga berdampak pada penanaman mentalitas kecurangan ter­ha­dap anak didik. UN juga dianggap membuat para siswa tertekan karena UN merupakan syarat kelulusan bagi siswa. Ba­yangkan, siswa yang telah belajar selama 3 tahun akan menjadi sia-sia apabila tidak bisa melewati rintangan UN yang berlangsung hanya 3 hari saja. Karena faktor inilah, banyak siswa merasa depresi dan tertekan. Bahkan ada beberapa kasus, ketika akhirnya dinyatakan tidak lulus karena nilai UN sangat rendah, ada siswa yang merasa putus asa dan malu, hingga akhir­nya memilih mengakhiri hidupnya.

Menyadari beberapa efek buruk pengadaan UN ini, peme­rintah sebetulnya sudah pernah menyiap­kan kurikulum yang mensyaratkan tanpa UN yakni Kurikulum 2013 (K13). Namun karena aturannya selalu berubah-ubah, kebijakan mengapus penyelenggaraan UN akhirnya tidak bisa terlaksana sam­pai hari ini. UN masih saja menjadi prasyarat kelulusan siswa dan tetap dilaksakan. UN masih dianggap sebagai program kerja dan standa­risasi mutu pendidikan dalam skala nasional sebagai tolak ukur kemam­puan siswa terhadap hasil pendi­dikannya sela­ma tiga tahun. Sekali­gus, nilai UN juga dapat digunakan sebagai salah satu syarat untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi.

Tujuan Ujian Nasional

Sejatinya, tujuan pelaksanaan UN bukan hanya untuk meni­lai kelulusan siswa, melainkan untuk memetakan pencapaian kompetensi lulusan pada mata pelajaran secara nasional dengan mengacu pada Standar Kompetensi Lulusan (SKL). Pemetaan itu menyangkut pe­ni­laian terhadap Standar Na­sional Pen­di­dik­an (SNP). Dengan memiliki data kelulusan UN, maka peme­rintah bisa memetakan sistem pendidikan yang lebih baik pada tahun berikutnya. Jadi tujuan akhirnya memajukan kualitas pen­di­dikan dari tahun ke tahun. UN juga adalah salah satu bentuk dukungan para siswa terhadap program pemerintah dan secara tak langung ikut ambil bagian besar dalam pengem­bangan pendidikan Indonesia.

Dengan pelaksanaan UN, maka siswa dapat memetakan diri­nya sendiri pada bidang apa harus melanjutkan pendidikan selanjut­nya. Dengan nilai UN tertinggi pada mata pelajaran tertentu, siswa bisa menilai kemampuan dan bakat­nya dan nilai terse­but bisa menjadi acuan ketika memilih melanjutkan pendidikan ke pergu­ruan tinggi. Tiap individu siswa memiliki ka­rak­teristik yang berbe­da-beda, khususnya  pada bidang akademik. Dengan mengikuti UN, pemerintah membantu sis­wa untuk memetakan dirinya mengambil jenjang pendi­dikan selanjutnya. Bila hasil UN terlihat lebih kuat pada bidang tertentu, ada besar kemungkinan siswa akan sukses di bidang itu.

UN juga berpengaruh pada pelak­sanaan sistem pembela­jar­an di sekolah. Ketika hasil rata-rata UN di sekolah tidak bagus, itu mak­nanya ada sistem pendidikan yang kurang dijalankan secara benar oleh para pengajar. Jika demikian, maka tenaga pengajar di sekolah perlu mendapatkan tambahan keterampi­lan agar dapat membawa siswanya sukses ke jenjang selanjutnya. Dalam hal ini, pemerintah melalui dinas dan kementerian pendidikan akan segera mengevaluasi dan mengambil langkah solusi terhadap kekurangan sistem belajar di seko­lah. Melalui UN-lah, sistem pem­belajaran di sekolah dapat terus dikoreksi dan diperbaiki untuk menemukan formula terbaik bagi perbaikan pendidikan nasional kita.

UN Bukan Penentu Utama Kelulusan

Jika masih saja ada siswa yang merasa tertekan dan beralasan bahwa UN menyebar rasa ketaku­tan, maka dapat dipastikan itu hanyalah alasan mengada-ada, dan kemungkinan besar hanya sekadar pembenaran karena faktor kema­lasan belajar semata. Terbukti, masih banyak siswa yang bersema­ngat belajar dan mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk menga­dapi UN. Tenaga pengajar pun masih pula bersemangat menga­jarkan pendidikan yang terbaik guna mendorong keberha­silan siswanya ketika menempuh UN. Jadi sungguh naif-lah mereka yang mengatakan bahwa UN tidak lagi penting dengan berbagai alasan yang terkesan dibuat-buat. Toh UN juga sudah dilaksanakan puluhan tahun dan pendidikan nasional kita tetap berjalan sebagaimana mes­tinya.

Sesungguhnya, UN juga bukan lagi sebagai penentu utama kelu­lusan siswa di sekolah. Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No­mor 144 Tahun 2014 dan Nomor 57 Tahun 2015. Menurut peraturan ini, setidaknya ada tiga faktor peni­laian utama kelulusan siswa seko­lah. Faktor pertama adalah penye­lesaian program pembela­jaran. Faktor penilaian ini berdasarkan proses pembelajaran siswa, dimana sis­wa harus menempuh seluruh proses pembelajaran di sekolah. Untuk setingkat SMP, telah melalui dan menyele­saikan program pem­be­lajaran dari kelas VII hingga IX. Untuk setingkat SMA, telah mela­lui dan menyelesaikan program pembelajaran dari kelas X hingga XII. Dan, untuk setingkat SMP dan SMA dengan sistem satuan kredit semester (SKS), telah melalui dan menyelesaikan seluruh mata pela­jaran wajib. Jadi, untuk dapat lulus sekolah, setidaknya siswa telah melalui tahapan-tahapan pembe­laja­ran yang telah ditetapkan di sekolah. Karenanya, pendidikan difokuskan pada prosesnya bukan hanya pada hasil akhir. Dengan begitu, ketika siswa sudah melalui proses pembelajaran itu maka satu faktor kelulusan sudah terpenuhi.

Faktor kedua ialah memperoleh nilai minimal baik pada pe­nilaian akhir setiap mata pelajaran. Untuk faktor ini, kebijakan terbesar ada di tangan guru sekolah. Tiap guru mata pelajaran akan memberikan penilaian proses belajar siswa selama di sekolah. Penilaian itu berdasarkan tugas harian mata pelajaran dan sikap siswa selama masa sekolah. Bila siswa merasa nilai hariannya tidak terlalu bagus, jangan khawatir, selama siswa memiliki sikap baik saat di sekolah itu bisa menjadi pertimbangan penilaian guru. Sebab, untuk sistem pendidikan saat ini, guru tidak hanya melihat kemampuan belajar siswa namun juga sikap siswa dalam mengikuti proses pembela­jaran.

Faktor ketiga ialah telah men­capai nilai akhir (NA) mata pela­jaran. Untuk faktor ketiga ini me­mang sedikit rumit, karena NA dihasilkan dari penggabungan nilai sekolah dengan nilai UN. Nilai se­kolah kamu itu diperoleh dari peng­gabungan nilai rata-rata rapor de­ngan nilai Ujian Sekolah. Per­ban­dingan penggabungannya ialah nilai rata-rata sekolah memiliki bobot penilaian sebesar 70 persen dan nilai ujian sekolah (US) dengan bo­bot 30 persen. Nilai rata-rata rapor itu dilihat dari akumulasi dari nilai rapor selama bersekolah. Untuk setingkat SMP, nilai rata-rata rapor dilihat dari nilai rapor dari semester I hingga semester V. Untuk setingkat SMA ialah nilai semester III hingga semester V. Dan, untuk SMP dan SMA dengan sistem SKS ialah nilai rapor dari semester I hingga semester V.

Nilai sekolah itu kemudian digabungkan dengan nilai UN sehingga memperoleh berapa NA siswa. Perbandingan bobotnya ialah nilai sekolah sebesar 50 persen dan nilai UN 50 persen. Oleh sebab itu, nilai UN cukup berpengaruh pada hitungan NA. Bila tidak mencapai nilai standarisasi UN maka penghitungan NA dipastikan rendah dan tidak mencapai stan­dar kelulusan yang telah ditetapkan. Untuk dapat lulus, NA tiap pela­jaran yang diujinasionalkan harus mencapai minimal nilai 4,0. Misal­nya, untuk anak IPA, NA mata pela­jaran Sainstek harus di atas 4,0 untuk dapat lulus. Lalu, untuk lulus, rata-rata NA tiap pelajaran harus di atas 5,5. Artinya, seluruh akumulasi NA dari tiap pelajaran harus menca­pai nilai 5,5. Ketiga faktor itu me­rupakan hal yang akan me­nentukan kelulusan siswa dari sekolah. Dengan demikian, UN bukanlah faktor utama kelulusan siswa me­lain­kan salah satu faktor yang men­jadi bahan pertimbangan kelulusan.

Semenjak diberlakukannya atu­ran baru pada kurikulum 2013, ke­lu­lusan siswa ditentukan oleh pihak sekolah. Artinya, pada kelu­lusan sis­wa terdapat andil guru dalam rapat dewan guru. Pada rapat itu, guru-guru akan mendiskusikan dan me­mu­tuskan apakah siswa-siswa­nya dapat lulus atau tidak. Pe­nilaian dalam rapat itu mencakup ketiga faktor kelulusan di atas. Bila salah satu faktor siswa dirasa kurang maka siswa tidak dapat lulus, khususnya pada hasil NA. Hal yang dapat menolong siswa di rapat dewan guru itu ialah sikap siswa selama bersekolah. Bila selama bersekolah siswa terlibat suatu kasus tertentu yang melanggar aturan sekolah maka kemungkinan siswa lulus sekolah bisa berkurang, walaupun hasil UN bagus.

Jadi, sangat tidak beralasan apabila UN dijadikan momok dan alasan untuk menolak pelaksa­naannya. Sebab untuk lulus sekolah pun banyak kriteria yang harus dilalui, dan bukan sekadar hanya nilai UN. Bagaimana pun, setiap jenjang pendidikan memang harus ada pengukurun kualitasnya, salah satunya dengan menyelenggarakan UN, sekaligus sebagai alat evaluasi untuk meningkatkan mutu pendi­dikan nasional kita. ***

()

Baca Juga

Rekomendasi