Dimana Mata Itu Sekarang?

dimana-mata-itu-sekarang

Oleh: Erwin Situmorang.

Menjelang Pemilihan Presiden 17 April 2019 banyak orang-orang yang ti­dak bisa melihat fakta dengan matanya sen­diri. Apa yang ter­jadi? Aku sendiri tidak bisa menja­wab­nya dengan pasti. Tetapi menurut penglihatan mata saya, hal ini terjadi ka­rena fakta/kenyataan itu se­benarnya sudah dilihat dengan matanya sen­diri. Dan anehnya karena keinginan hati tidak sejalan dengan penglihatan mata, mata itu akhirnya jadi buta dengan sen­dirinya.

Sabtu, 30 Maret 2019 di Hotel Shang­ri-La, Jakarta. Calon Presiden Republik In­donesia no urut 02 Bapak Prabowo Su­bianto menegaskan “Saya ingat Ada­gium mengatakan bahwa strong will do what they can and the weak suffer what they must, yang kuat akan berbuat seke­hen­daknya yang lemah harus menderita. Karena itu saya menilai pertahanan Indo­nesia terlalu lemah, jauh dari yang di­harapkan. Kenapa? Karena kita tidak punya uang karena itu kita harus menjaga ke­uangan kita ke mana,” sebutnya. Saya tidak bisa menyimpulkan pernyataan itu tidak benar, tetapi saya juga tidak me­nyim­pulkan pernyataan itu tidak salah. Benar atau salah pernyataan Bapak Calon Presiden kita ini kembali ke persepsi kita masing-masing.

Menurut penglihatan mata Bapak Pra­bowo Subianto mungkin pertahanan Indo­nesia itu terlalu lemah. Tetapi peng­lihatan mata saya berkata lain. Jangankan ter­lalu lemah, kata lemah saja menurut penglihatan mata saya tidak layak lagi untuk pertahanan Indonesia. Kembali lagi saya tidak dapat menyatakan penglihatan mata saya yang benar dan penglihatan Bapak Prabowo Subianto yang salah. Itu kembali lagi ke per­sepsi kita masing-masing. Akan tetapi peng­lihatan mata Bapak Prabowo Su­bianto sepertinya bertentangan dengan peng­lihatan mata dunia. Ha ha ha mung­kin penglihatan mata dunia sejalan de­ngan penglihatan mata saya yang tidak se­berapa ini. Global Fire Power, salah satu lembaga survey yang menyusun pe­ringkat kekuatan militer, menyajikan data-data perbandi­ngan negara-negara di dunia dalam The Global Firepower Military Strength index. Tahun 2019, Indonesia berada di peringkat 15 dari 137 daftar negara dunia untuk peringkat ta­hunan Global Fire Power. Dan dari 50 ne­­gara Asia yang terdaftar, Indonesia ber­tengger di sepuluh besar teratas, te­patnya di peringkat 8.

Dari data diatas apakah pertahanan Indonesia terlalu lemah? Mungkin terlalu lemah bagi sebagian orang, tetapi tidak sedikit juga orang-orang menyatakan Pertahanan Indonesia tidak lemah lagi di ta­hun ini. Itu kembali ke persepsi kita ma­sing-masing. Makassar, Minggu 31 Maret 2019 di lapangan Karebosi Bapak Presiden Republik Indonesia Joko Wi­dodo menegaskan bahwa TNI adalah ang­katan bersenjata dengan kekuatan no­mor satu terkuat di kawasan Asia Teng­gara. Kita kembali ke pertanyaan yang sama. Apakah pertahanan Indonesia itu ter­lau lemah? Itu kembali ke persepsi kita masing-masing. Akan tetapi dalam me­ngambil persepsi kita juga harus menggunakan otak dan logika. Terkuat di kawasan Asia Tenggara, peringkat 8 di Asia, dan peringkat 15 dari 137 negara. Apakah memang itu masih pertahanan yang terlalu lemah? Menurut hemat saya dari data diatas pertahanan Indonesia tidak terlalu lemah lagi. Sebagian orang mungkin masih menyatakan itu terlalu lemah, jadi saya anjurkan untuk meme­rik­sa matanya dulu sebelum mengambil persepsinya masing-masing.

Faktor Kebencian

Kebencian merupakan emosi yang sangat kuat dan me­lam­bang­kan ketidak­su­kaan, permusuhan, atau antipati untuk se­seorang. Hal ini juga merupakan faktor pen­­dorong sebuah keinginan untuk, meng­­hindari, menghancurkan atau meng­­­hi­lang­­kan kebenaran dari sesuatu hal. Be­lakangan ini, media sosial di Indo­nesia cen­derung panas, apalagi jika yang di­per­bin­cang­kan adalah yang berkaitan de­­ngan dunia politik. Hanya karena per­be­da­an pikiran, banyak orang dengan en­­teng me­­ngeluar­kan ke­bencian pada me­dia so­sial. Media sosial ibarat­nya se­dang ada aja­ng perlombaan untuk me­nge­jek atau me­maki orang-orang yang di­anggap me­­miliki pendapat tidak sejalan de­ngan pi­kirannya. Dan sebenarnya hal inilah salah satu pengrusak mata itu. Mata jadi buta karena tidak sejalan dengan ke­inginan hati. Apa solusinya? Obat. Di Indonesia, konsep ujaran keben­cian digunakan dalam UU nomor 11 tahun 2008 tentang  Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang melarang “setiap orang dengan se­ngaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk me­nimbul­kan rasa kebencian atau per­musuhan individu dan/atau kelom­pok masyarakat tertentu berdasarkan atas Suku, Agama, Ras dan Antar golongan (SARA).”

Inilah salah satu obat yang dirancang di Indonesia. Terbukti sudah banyak yang mengikuti pengobatan ini. Termasuk etnis-etnis politik yang matanya sudah buta be­la­kangan ini. Bagaimana mereka dapat mengembalikan peng­lihat­annya kembali? Sudah mujarabkah obat yang satu ini? Apakah masih ada obat yang paling mujarab? Untuk mengem­balikan kembali peng­lihatan yang baik itu perlu didasari dari hati untuk membuang rasa kebencian yang telah berkerak di hati masing-masing. Dengan sen­dirinya akan kita temukan kembali nanti mata tersebut.

Pemikiran yang Dangkal

Mark Whitmore, Ph.D., asisten professor manajemen dan sistem informasi di Kent State University di Ohio, yang maju untuk persentasi APA (American Psychological Association), menunjuk bias kon­firmasi sebagai alasan utama di balik daya tarik hoax/berita bohong.

Bias konfirmasi mengacu pada kecenderungan orang untuk mene­rima informasi yang menegaskan keyakinan mereka yang sudah ada sebelumnya, dan mengabaikan informasi yang menentang keya­kinan mereka. Jadi mengkonfirmasi, tapi bias (penyajian bahan yang dipenuhi prasangka).

Kesalahan pemikiran ini menye­babkan penarikan kesim­pulan yang salah dan merintangi pemikiran yang efektif. Ba­nyak orang melihat sesuatu kemudian menilainya tanpa ada pemahaman. Contohnya ketika manusia membaca suatu berita, ha­nya membaca judul dan tanpa mem­baca isi berita tersebut, dia langsung memberikan penilaiannya tanpa mema­hami secara keseluruhan berita yang dibacanya itu. Dan tidak sedikit juga manusia sudah me­mahami se­cara keseluruhan, tetapi tetap mem­berikan penilaian yang salah karena tidak sesuai dengan keinginan dan kepercayaannya.

Solusi

Dalam berdebat, seringkali kita hanya menyoroti bukti yang men­dukung keyakinan kita sendiri. Jika mendengar gossip tentang lawan, kita cenderung berpikir “Saya tahu dia memang kacau.” Akan tetapi jika kita mendengar gosip tentang kawan atau sahabat, kita lebih mung­kin mengatakan “Itu Cuma rumor saja.” Jika Anda tidak percaya ke­pada pemerintah maka perubahan kebi­jakan pemerintah adalah tanda kelemahan. Namun, jika Anda mempercayai mereka, perubahan kebijakan yang sama akan Anda pandang sebagai bukti atas kegesitan melakukan apa yang patut.

Pemikiran inilah yang harus kita ubah. Inilah penyebab kita tidak mengetahui dimana keberadaan mata itu sekarang. Yang perlu kita lakukan sekarang ini adalah mene­mukan mata itu kembali. Salah satu caranya dengan mengutamakan kebenaran yang sudah dapat dibuk­tikan dan mengubah pola pikir yang salah. Jangan karena keinginan ingin mendapatkan sesuatu (kekuasaan) mata jadi buta akan kejadian-ke­jadian di sekelilingnya. Mari ber­sama-sama menemukan mata kita kembali. ***

Penulis, Mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika Universitas HKBP Nommensen Medan.

()

Baca Juga

Rekomendasi