
SELALU, di tengah sunyi dan dinginnya hembusan angin malam yang menusuk ke tulang sumsum, saat yang nikmat untuk tidur di rumah dengan balutan selimut, menjadi saat beraktivitas tak terelakkan bagi nelayan.
Kenikmatan yang semestinya digunakan untuk beristirahat itu terpaksa dikorbankan demi menjalani aktivitas mencari nafkah bagi nelayan yang berada di pesisir Pantai Labu, pun bagi para nelayan di seluruh Indonesia. Selain memang sudah terbiasa, hal itu juga tidak bisa dielakkan karena jadi sumber kehidupan. Ironisnya, hanya profesi sebagai nelayanlah satu-satunya yang bisa dilakoni untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga sehari-hari.
Aktivitas rutin para nelayan mengarungi lautan lepas mencari tangkapan ikan dan jenis biota lainnya, ternyata mematahkan asumsi penulis bahwa itu hal biasa dan tidak menakutkan. Secara teori, kebiasaan yang dilakukan tip hari tentu menjadi hal tidak perlu ditakuti. Apalagi kebiasaan itu sebagai aktivitas mencari sesuap nasi. Seperti pepatah mengatakan, “Ala biasa karena biasa” sehingga tidak perlu dikhawatirkan.
Faktanya, kata Sabran, nelayan yang tinggal di pesisir Pantai Labu, Kabupaten Deli Serdang, melaut itu sama artinya mempertaruhkan nyawa demi sesuap nasi. Meski sudah dilakukan puluhan tahun, tetap saja rasa takut dan khawatir keselamatan menggelayuti semua nelayan.
Keseringan para nelayan, termasuk dirinya, harus menghadapi suasana mencekam dan kepasrahan ketika berada di lautan luas. Hujan lebat disertai angin kencang dan petir yang menyambar memecah kegelapan malam, meski dalam hitungan detik, ditambah gelombang laut yang mengombang-ambingkan sampan, menciutkan hati.
“Kalau takut, ya takut. Meski biasa, rasa takut itu tetap ada. Kalau sudah hujan lebat, angin kencang, apalagi ada petir, mau tak mau pasrah saja. Mau kemana lagi? Mau ke darat berlindung tidak bisa,” terang Sabran.
Banyak, bahkan sudah tak terhitung jumlah nelayan di kawasan pesisir itu meregang nyawa saat melaut. Bahkan banyak pula nelayan yang tenggelam di melaut dan tak ditemukan jasadnya. Hanya iringan doa dan sedekah lewat tahlilan, yang biasa digelar setiap ada yang meninggal dunia dan tidak ditemukan jasadnya.
Warga Desa Pantailabu Pekan, Adi, merupakan seorang anak nelayan yang ayahnya tak kunjung kembali setelah pergi melaut. Sebab kematian ayahnya saat melaut itu pula, almarhum ibunya tidak mengizinkan anak-anaknya menjadi nelayan. “Ayah awak (saya) meninggal dunia di laut. Jasadnya tidak pernah ditemukan. Sejak itulah omak (ibu) awak bersumpah, anak-anaknya tak boleh menjadi nelayan lagi,” tuturnya.
Bagi kebanyakan nelayan, meski situasi laut mengancam nyawa mereka, tetap saja mereka harus berangkat melaut. Seperti makan buah simalakama, berangkat melaut mengantar nyawa tak berangkat melaut anak dan istri mati kelaparan.
Kekhawatiran seperti itu, kata Abdul Gani, pasti ada di hati setiap nelayan. Namun tanggung jawab sebagai tulang punggung keluarga, mau tidak mau, harus dijalani, meskipun kini penghasilan nelayan tradisional tidak bisa mencukupi seluruh kebutuhan hidup. “Kalau tidak takut, ya takut. Tapi mau apalagi? Kalau tidak melaut, anak-istri mau makan pakai apa?”
Kepedihan menjadi nelayan, timpal Alus Famela, bukan saja harus mempertaruhkan nyawa, tapi juga kegalauan saat pulang melaut karena tidak membawa hasil. Jika pulang membawa hasil lebih, kekhawatiran terobati, asap di dapur bakal mengepul terlebih bisa membeli sesuatu lebih.
Bahkan tambah Alus, kepedihan senantiasa dirasakan tatkala harga hasil tangkapan, saat sampai di tempat pelelangan ikan (TPI) tidak setara dengan risiko yang dihadapi. Mau tidak mau, tetap harus dijual daripada tidak mendapatkan uang sama sekali. “Begitulah hidup nelayan kecil ini.” (amirul khair)