
Salah satu keistimewaan yang terdapat dalam bulan suci Ramadan adalah turunnya Lailatul Qadar. Berdasarkan penjelasan yang saya pernah baca di laman warohmah.com, deskripsi lailatul qadar adalah suatu malam yang penting di bulan Ramadan, malam yang lebih mulia dari seribu bulan, sekaligus menjadi malam diturunkannya kitab suci Alquran.
Alquran yang turun pada malam lailatul qadar diartikan bahwa pada malam itu Allah Swt. mengatur dan menetapkan khithah dan strategi bagi nabi-Nya, Muhammad Saw., guna mengajak manusia kepada agama yang benar yang pada akhirnya akan menetapkan perjalanan sejarah umat manusia, baik sebagai individu maupun kelompok (Fathoni, NU Online, 07/06/2018).
Sementara itu, Achmad Chodjim dalam bukunya Hidup Penuh Makna (Serambi, 2013) juga menjelaskan, mayoritas ulama tafsir meyakini bahwa Alquran diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. pada bulan Ramadan. Sebagaimana telah dijabarkan dalam kitab suci Alquran, “Alquran diturunkan pada bulan Ramadan, sebagai petunjuk bagi manusia dan tanda-tanda yang jelas tentang petunjuk dan Alfurqan.”
Dalam buku tersebut, Achmad Chodjim juga menguraikan betapa agungnya Alquran sehingga ia hanya layak turun pada orang yang aktif melakukan kontemplasi, atau perenungan secara mendalam, disertai dengan keprihatinan yang tinggi akan nasib umat manusia. Maka tak heran bila orang-orang tua zaman dulu dengan begitu arifnya berusaha mendidik putra-putrinya untuk melakukan ‘tadarus’, belajar bersama-sama untuk mencermati kandungan kitab suci Alquran. Inilah yang menjadi alasan, mengapa dari dulu hingga saat ini, umat Islam lebih memprioritaskan tadarus selama bulan Ramadan.
Kapan Turunnya Lailatul Qadar?
Lailatul Qadar memang turun pada bulan suci Ramadan. Setiap umat Islam tentu mengharapkan bisa bersua malam diturunkannya kitab suci Alquran tersebut. Salah satu alasannya, karena umat Islam yang berdoa pada malam lailatul qadar, maka permohonan doanya akan dikabulkan oleh Allah Swt. Namun, tentang kapan waktu turunnya, tidak ada yang dapat memastikannya. Apakah turun pada awal Ramadan, pertengahan Ramadan, atau di malam-malam menjelang berakhirnya Ramadan? Yang jelas, para ulama berbeda pendapat tentang pada hari ke berapa turunnya lailatul qadar. Perbedaan tersebut tentu bukan untuk diperdebatkan. Tapi justru menjadi semacam keberkahan tersendiri bagi kita, karena kita bisa mempersiapkan diri untuk menyambut datangnya lailatul qadar.
Ustadz Abdul Wahab Ahmad dalam tulisannya (NU Online, 26/05/2019) menjelaskan, sebagian ulama, yakni Utsman bin Abi al-Ash dan Hasan al-Bashri dan sebagian Syafi’iyah menyatakan bahwa yang paling bisa diharapkan adalah sepuluh hari kedua bulan Ramadan. Sementara mayoritas ulama mengatakan, yang paling bisa diharapkan adalah tanggal ganjil di sepuluh malam terakhir. Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, ini adalah pendapat terkuat (Ibnu Hajar, Fath al-Bary, IV, 263). Ada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari, Rasulullah Saw. bersabda, “Carilah lailatul qadar di malam ganjil di sepuluh malam terakhir bulan Ramadan.”
Tidak Sekadar Membaca
Melakukan ‘tadarus’ atau membaca Alquran, memang sangat baik dan bernilai pahala di sisi-Nya. Namun, alangkah lebih baik bila kita tidak hanya sekadar membacanya secara bergantian saja. Melainkan juga mengkaji makna yang terkandung di dalamnya. Setelah mengetahui maknanya, lantas kita berusaha mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Terkait betapa pentingnya memahami isi atau kandungan Alquran, Achmad Chodjim (Serambi, 2013) memberikan saran, sudah waktunya tadarus dilaksanakan sebagai upaya untuk memahami isi Alquran. Tadarus tidak lagi dilakukan hanya dengan membaca Alquran secara bergiliran. Karena bila kita hanya membaca Alquran tanpa memahami isinya, maka manfaatnya bagi pembangunan umat tak akan bisa dirasakan. Menurut Achmad Chodjim, zaman sekarang, tadarus yang hanya berfungsi menyemarakkan malam hari di bulan Ramadan, sama artinya dengan membuang-buang waktu dan energi.
Saya tentu sangat sepakat dengan pendapat Achmad Chodjim terkait ‘tadarus’ di bulan Ramadan dengan merenungi atau menyelami maknanya. Namun saya tidak sepakat jika tadarus dianggap sebuah kesia-siaan bahkan hanya membuang-buang waktu dan energi hanya gara-gara tidak disertai dengan merenungi makna yang terkandung di dalam kitab suci Alquran. Karena apa pun alasannya, membaca Alquran itu termasuk amal ibadah dan bernilai pahala di sisi-Nya. Meski esensi dan pahalanya akan jauh lebih banyak bila kita membacanya dengan disertai merenungi maknanya.
Mudah-mudahan tulisan singkat dan sederhana ini dapat menjadi semacam cambuk penyemangat bagi saya pribadi dan para pembaca dari kalangan umat Islam, agar berusaha memanfaatkan momentum Ramadan sebagai sarana introspeksi diri sekaligus sarana untuk meningkatkan ibadah di dalamnya, terlebih pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan. Wallahu a’lam bishawaab. ***
*Penulis alumnus STAINU Fak. Tarbiyah Kebumen