Telunjuk adalah Kekuasaan

telunjuk-adalah-kekuasaan

Oleh: dr Robert Valentino Tarigan SPd SH.

Adakah jari telunjuk meru­pakan simbol dari kekuasaan? Atau kekuasaan adalah telunjuk? Pada masa monarki, kedua pertanyaan tersebut bisa dijawab ‘ya’. Ketika itu fatwa adalah telunjuk raja. Makanya orang-orang Jawa yang santun, kerap menggunakan ibu jari (jempolnya) untuk menunjuk sesuatu. Dengan menggunakan ibu jari, kesannya lebih egaliter, jauh dari sikp memerintah.

Perlahan zaman bergulir, dikenal­lah demokrasi yang merupakan ke­kuasaan rakyat. Dari, oleh dan untuk rakyat. Tapi, apakah demokrasi di Indonesia sudah sebagaimana yang kita harapkan?

Demokrasi bukanlah sesuatu yang instan, sebagaimana makanan instan yang begitu diseduh air panas langsung dapat dinikmati. Demokrasi adalah perjuangan dan terkadang memerlukan waktu sangat panjang, yang uniknya tiap zaman seolah memiliki bentuknya sendiri.

Rezim orde lama yang dilakoni Soekarno malah berusaha mengawet­kan kekuasaannya lewat pernyataan majelis yang mengaku perwakilan rakyat sebagai “presiden seumur hidup”. Orba juga tak jauh beda. Mes­kipun Soeharto bukan presiden seumur hidup, pun melakoni apa yang disebut orang pintar sebagai oligarki eksekutif. Selama 32 tahun kekuasaan orba berhasil misubordinasi lembaga-lebaga yang ada.

Masuklah kita di era (orde) refor­masi. Pun menurut penulis, era refor­masi tetap juga mengakal-akali rakyat. Memang eksekutif tidak dapat lagi bertingkah macam-macam, tetapi peran legislatif yang begitu besar menciptakan apa yang disebut orang pintar sebagai oligarki parlemen.

Memasuki era transisi kepada ke­kuasaan rakyat yang ditandai dengan pemilihan langsung oleh rakyat, baik presiden maupun legis­latif (DPD, DPR RI, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota). Terpilihlah presiden dan wakilnya oleh rakyat, begitu juga para legislatif. Meski untuk pemilihan legislatif menim­bulkan riak yang cukup berarti, tapi sudahlah, kita anggap saja hal tersebut merupakan konsekuensi logis dari belum terbangunnya sistem.

Kini, tahun baru 2019 sudah kita masuki, kekuasaan sebagian kepala daerah pun mendekati masa akhir. Artinya, tahun 2019 merupakan hari-hari terakhir bagi sebagian besar kepala daerah. Pertanyaannya, akan­kah penguasa-penguasa daerah saat ini rela melepas ‘baju kekuasaan’-nya? Jawabnya, bisa ‘ya’, bisa juga ‘tidak’.

Berkuasa Itu Nikmat

Yang pasti, berkuasa itu nikmat. Mengapa tidak, ketika kekuasaan ada di tangan kita, ia (kekuasaan) umpama jari telunjuk terhadap tombol lampu listrik yang dapat menghidup atau mematikan cahaya bola lampu. Itulah yang diisyaratkan Putu Wijaya dalam naskah monolognya berjudul “Bos”.

Kekuasaan adalah jari telunjuk yang dapat diarahkan ke mana saja. Tapi, si Bos sesekali terhenyak juga bila jari telunjuk itu diarahkan kepa­danya. Makanya, agar jari telunjuk tidak mengarah kepada si Bos, dica­rilah cara-cara mengawet­kan kekua­saan (immortal).

Pilkada yang seharusnya dilaku­kan secara langsung oleh rakyat pun diupayakan sedemikian rupa agar yang diplih rakyat kelak adalah mere­ka-mereka juga. Betapa tidak, kedau­latan untuk memilih kepala daerah yang diatur oleh undang-undang.

Justru itu, kini tak sedikit kepala daerah yang berebut menjadi ketua partai. Kenapa? Sebagai ketua partai, tentu ia berhak menentukan kandidat kepala daerah. Karena itu pula, perebutan kursi ketua partai merupa­kan pertarungan yang terkadang menggunakan segala cara.

Sebagaimana petuah orang-orang­tua, ada tiga ta yang sangat nikmat di dunia ini dan terkadang dapat meng­hilangkan kemanusiaan manu­sia. Ta pertama, adalah tahta (kekuasaan), kemudian harta, selanjutnya khusus untuk pria-wanita. Ketiga ta inilah yang terkadang memperbudak manu­sia sehingga memberhalakan kekua­saan, harta dan seks.

Meski menurut Betrand Russel (1872-1970) dorongan atau motivasi bagi seorang manusia berbuat sesuatu bukanlah dorongan seks seperti yang dikatakan Sigmund Freud (Bapak Psikoanalisa), akan tetapi pada titik tertentu sebagaimana dikemukakan Freud seks dapat mendominasi seseorang, sehingga berbuat sesuai dorongan syahwatnya semata.

Kata Russel, dorongan pada kekua­saan itu berbentuk eksplisit pada pemimpin yang ingin berkuasa dan bersifat implisit pada manusia yang bersedia mengikuti sang pemim­pin. Maka dalam bentuk negatif, dorongan implisit tadi digadaikan dalam bentuk uang atau bagi-bagi kekuasaan (proyek).

Berhasil Berkuasa

Jadi, seorang pemimpin berhasil berkuasa, bukan hanya karena doro­ngan hendak berkuasa yang ada dalam dirinya sendiri. Ada pula doro­ngan hendak berkuasa dalam diri orang lain, tetapi cukup dengan men­dukung atau mengikut sang penguasa. De­ngan berbuat begitu, para pendu­kung dan pengikut orang yang ber­kuasa, merasa diri mereka juga telah ikut berkuasa, dan doro­ngan kekua­saan dalam diri mereka telah terpenuhi.

Dorongan untuk berkuasa ini pada banyak orang seakan tak kenal batas. Kenyataan serupa inilah yang mela­hirkan pemimpin-pemimpin dari zaman dahulu hingga ke zaman mo­dern untuk mencoba mengaba­dikan bahkan meluaskan kekuasaan mereka selama dan seluas mungkin. Kaisar-kaisar Roma meluaskan kekuasaan­nya hendak menaklukkan Mesir pula, timbulnya seorang Hitler sebelum perang dunia kedua merupakan beberapa contoh sejarah.

Bersebab rasa nikmat itu ingin terus abadi sampai akhir hayat, bah­kan kalau perlu sampai ke tujuh turu­nan sekalian, maka kekuasaan diawet­kan. Pemilihan rakyat yang seharus­nya menjadi keniscayaan sejarah, dibuat tata caranya sede­mikian rupa. Sehingga rakyat jadi sekadar domba-domba putih yang dengan tata cara seolah menjalankan demokrasi digiring ke satu titik: memilih mereka yang ‘gila’ kekuasaan ini.

Kenapa demikian? Bagi orang-orang yang mengidap post-power syndrome, kekuasaan adalah segala­nya. Tanpa adanya kekuasaan bagi mereka itu adalah kiamat. Ya, telunjuk harus tetap dapat diarahkan sesuka hati. Sekarang tinggal terpulang kepada rakyat, akankan rela digiring sedemikian rupa, atau mau mencoba power people agar calon independen dapat ikut dalam bursa pemilihan kepala daerah sebagaimana berlaku untuk beberapa daerah istimewa?

Dengan dapatnya calon indepen­den pilihan rakyat mengikuti bursa pemilihan kepala daerah, maka telun­juk rakyatlah yang berkuasa. Pada titik ini, telunjuk kekuasaan adalah ko­ridor hukum yang dibangun bersa­ma prinsip egaliterian. Akankah? ***

Penulis Pimpinan BT/BS Bima Medan.

()

Baca Juga

Rekomendasi