
Oleh: Array A Argus.
Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2020 akan digelar September tahun depan. Di Sumatera Utara ada 23 kabupaten/kota yang mengelar Pilkada serentak tersebut. Meski masih lama, namun ingar-bingarnya sudah mulai terasa. Di Kota Medan, misalnya, sudah muncul beberapa nama tokoh yang akan bertarung. Mereka di antaranya incumbent, T Dzulmi Eldin, Edy Ikhsan yang juga dosen Fakultas Hukum USU, hingga Dahnil Azar Simanjuntak, mantan Koordinator Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno.
Sebagaimana kebiasaan dalam setiap momen pilkada, kerap kali muncul isu-isu tak sedap dari para elite politik. Satu di antara isu yang sering dicuatkan adalah masalah sentimen agama. Isu agama ini masih dianggap menjadi senjata ampuh untuk menjatuhkan lawan politik. Sebagaimana pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sumut, misalnya. Secara kasat mata isu agama ini kental kita rasakan.
Tanpa menuding pihak manapun, penulis acapkali melihat serangan-serangan bernada provokasi dibalut isu agama. Tak jarang, tudingan-tudingan sesat menyesatkan menyebar bak kanker ganas di laman media sosial, mulai dari grup WhatsApp, Facebook hingga laman media sosial lainnya. Dari sebaran informasi bernada provokasi itu, kerap pula menimbulkan kegaduhan yang tak berujung. Orang-orang yang tadinya mungkin saja bersahabat, menjadi terbelah hanya karena beda pilihan.
Mirisnya, para pengguna media sosial ini terang-terangan menuding mereka yang tak sepaham dengan label kafir. Padahal belum tentu pula orang-orang yang melemparkan tudingan kafir itu paham betul dengan agama. Jangankan bicara soal syariat dan segala macamnya, barangkali, mereka yang terlanjur melontarkan tudingan-tudingan kafir, sesat dan sebagai macamnya itu jarang pula beribadah.
Karena tensi politik bisa begitu panas lantaran urusan isu agama ini, penulis berpandangan bahwa sudah semestinya elite politik memberikan pendidikan yang baik di tengah masyarakat. Jangan karena persaingan politik agama dijadikan barang dagangan untuk menyerang lawan politik. Potensi konflik berkepanjangan karena isu agama ini sangat-sangat mungkin terjadi di Indonesia. Orang-orang yang fanatik buta terhadap idolanya akan rela melakukan apa saja, termasuk bertarung secara fisik karena urusan remeh-temeh menyangkut perebutan kekuasaan ini.
Bisa kita lihat, bagaimana panasnya tensi politik ketika pemilihan presiden kemarin. Di satu sisi, mereka yang mendukung pasangan tertentu menuding pasangan A antiagama dan kerap mengkriminalisasi ulama. Di sisi lain, pendukung lainnya menuding pasangan B tidak ngerti agama sama sekali karena faktor keluarga. Hal-hal semacam inilah yang semestinya harus kita sudahi. Masyarakat di akar rumput harus diberikan pendidikan politik yang baik. Jangan melulu dijejali dengan cara-cara kotor dalam berpolitik. Jika urusan semacam ini terus bergulir, mau sampai kapan negara ini maju.
Penulis khawatir, bila kita terus gaduh dan kerap menghembuskan isu agama, tidak tertutup kemungkinan konflik horizontal akan meluas. Sesama kita akan saling bunuh karena hanya berbeda pandangan politik. Sedangkan mereka yang asyik menghembuskan isu ini demi syahwat politiknya, tertawa menikmati kegaduhan di tengah masyarakat. Mereka yang memainkan peran dan mencetuskan ide tak bermoral ini, barangkali tertawa geli sembari menyeruput kopi dan menatap kehancuran yang akhirnya mengantarkan mereka pada tampuk kekuasaan.
Karena Pilkada Serentak 2020 masih 16 bulan lagi, tak salah rasanya bila sejak dini kita mengampanyekan setop isu agama yang berlebihan. Bukan berarti kita antiagama. Namun, kita hanya ingin menghindari cara-cara kotor oknum elite politik dalam meraih suara. Sebab, jika isu agama ini terus dicuatkan, toh hanya akan memperpanjang perdebatan dan perpecahan. Alangkah baiknya, para calon kepala daerah yang akan maju dalam Pilkada bertarung lewat adu gagasan.
Dengan begitu, pemilu yang akan bergulir berlangsung dengan baik. Masyarakat di akar rumput juga secara tidak langsung akan belajar bagaimana menerapkan sistem demokrasi yang adil. Bukan justru diajari berlaku curang dalam memilih pemimpin. Karena percayalah, setiap pemimpin yang lahir dari kecurangan akan menghasilkan sesuatu yang tidak baik. Harapan kita yang tadinya memperoleh pemimpin amanah, akan hanya menjadi angan-angan semata. Sebab, isu agama yang digunakan oknum elite politik itu sejatinya hanya kedok semata. Ujung-ujungnya masyarakat juga yang dibohongi.
Mereka yang tadinya mengapungkan harapan akan mendapat pemimpin yang baik, jatuh pada kekecewaan semata. Maka dari itu, mulailah memberikan pengajaran yang baik dalam hal proses politik. Masyarakat juga harus cerdas melihat sosok pemimpin yang akan maju dalam proses Pilkada. Jangan mudah percaya dengan mereka yang selalu menjual isu agama. Karena semakin mendekati hari pemilihan, akan muncul orang-orang yang mendadak saleh.
Kedepankan Visi Misi
Dari berbagai persoalan di atas, penulis sebagai masyarakat awam berharap setiap calon kepala daerah yang akan maju dalam Pilkada kali ini dapat mengedepankan visi dan misinya dengan baik. Lebih fair bertarung lewat gagasan ketimbang dengan cara-cara kotor menggunakan isu agama. Penulis dan masyarakat lain barangkali sepakat, jika setiap calon kepala daerah harus memiliki gagasan baru dalam hal pengembangan daerahnya masing-masing. Harus ada kebijakan-kebijakan humanis dari segala lini. Mulai dari pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Dengan begitu, taraf hidup masyarakat akan meningkat. Kesejahteraan masyarakat juga akan tumbuh dengan baik, seiring dengan kebijakan baru yang pro terhadap rakyat. Karena Pilkada adalah proses politik lima tahunan sekali, sudah semestinya dari sekarang masyarakat mulai menimang-nimang siapa calon kepala daerahnya ke depan. Jikapun di antara calon itu adalah incumbent, lihat rekam jejaknya selama ini.
Apakah incumbent sudah benar-benar menjalankan visi dan misinya dengan baik. Atau justru hanya jadi pajangan saja saat pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang sifatnya seremoni. Jika ada calon kepala daerah yang seperti ini, alangkah baik tidak usah dipilih lagi. Baginya, mengikuti acara seremoni barangkali lebih menyenangkan, ketimbang memikirkan kemajuan daerahnya sendiri. Jika muncul calon kepala daerah baru, sudah saatnya dilihat rekam jejaknya. Bagaimana track recordnya selama ini. Apakah ia benar-benar ingin mengabdi ke masyarakat, atau justru hanya ingin duduk dan merasakan bagaimana menjadi wali kota atau bupati.
Kalaupun ada calon kepala daerah baru dengan kredibilitas yang baik, tidak salah rasanya untuk kita pilih. Tapi memang harus betul-betul dilihat rekam jejaknya. Jangan sampai kita salah memilih. Jika salah dalam memilih pemimpin, maka resikonya akan sangat fatal.
Kita harus menanggung kekecewaan lima tahun ke depan. Kemudian, kita harus melihat perkembangan daerah yang begitu-begitu saja, tanpa ada sentuhan perkembangan apapun.
Maka dari itu penulis sekali lagi mengingatkan, cermatlah dalam memilih pemimpin. Jangan tergoda iming-iming apapun. Karena sebagaimana kebiasaan di Indonesia, ketika mendekati hari pencoblosan, ada saja trik yang dilakukan untuk meraih simpati masyarakat. Mulai dari menyerang lawan politik lewat sentimen agama, hingga memberikan uang dengan dalih bantuan. Jika memang orang tersebut ingin memberi bantuan, kenapa mesti menjelang hari pemilihan. Kenapa tidak di hari-hari sebelumnya. Cara-cara ini juga mengajarkan masyarakat untuk berlaku tidak baik. Sehingga, ketika pemilu tiba, masyarakat yang sudah dicekoki dengan cara-cara seperti ini akan bertanya dan meminta imbalan kepada setiap calon pemimpin yang akan maju.
Berjalan Damai
Dari berbagai persoalan yang barangkali muncul saat Pilkada tersebut, penulis juga berharap proses politik tahun 2020 berjalan dengan aman dan damai di Sumatera Utara. Semua pihak, tidak hanya kepolisian dan TNI, harus bahu membahu menciptakan suasana yang tentram. Terkhusus pada semua tokoh agama, marilah menyerukan kebaikan tanpa embel-embel politik. Karena jika tokoh agama sudah berbaur dalam proses politik, apalagi menjadi bagian tim sukses, dikhawatirkan pesan yang disampaikan kepada masyarakat itu justru melenceng dari apa yang diharapkan. Sudah saatnya semua pihak, termasuk tokoh agama memberikan wejangan kepada masyarakat untuk tidak mudah terprovokasi dengan hasutan-hasutan yang barangkali muncul jelang Pilkada mendatang.
Dengan begitu, akan lahir proses politik yang baik. Dan akan muncul pula sosok pemimpin yang adil dan bijaksana sebagaimana harapan semua masyarakat. Jika proses politik di Indonesia semakin baik, maka semakin baik pula cara pandang masyarakat dalam memilih pemimpinnya sendiri. Sehingga, jika suatu saat isu-isu agama kembali dicuatkan, masyarakat sudah bijak menerima dan menyaring informasi yang berseliweran di mana saja, termasuk di media sosial. Semoga, Pilkada 2020 kali ini benar-benar dapat melahirkan pemimpin yang berpihak kepada masyarakat. Jangan lagi ada sentimen agama yang justru dapat memecah belah kerukunan masyarakat di Sumatera Utara.***
Penulis adalah jurnalis yang berdomisili di Medan.