Bukan Pisang (Sem) Barangan

bukan-pisang-sem-barangan

Oleh: J Anto.

IKON buah di Sumut tak hanya durian ‘kucing titun’, nanas sidamanik atau rambutan binjai, tapi juga pisang barangan merah. Sayang,  buah tropis rakyat kaya manfaat ini tak mudah ditemu­kan di pasaran. Namun sejak 2012, lewat teknik kultur jaringan, ratusan ribu bibit pisang barangan mulai memenuhi lahan-lahan petani pisang.

Hampir setiap orang yang baru pertama kali  masuk ke dalam rumah hijau, greenhouse,  berukuran 3.000 meter persegi itu, tak terkecuali petani sendiri, langsung nyeletuk, “Akhh ini sih bibit tanaman hias....”

Petani yang lain langsung menukas, “Bukan bibit bunga, ini bibit lengkuas....”

Komentar seperti ini, bukan sekali dua kali diterima dan Budi Chandra (33), si empunya rumah hijau yang terletak di Kelurahan Sei Rengas, Kisaran Barat, Asahan. Bahkan saat menemani rombong­an Pengurus Wushu Indonesia Provinsi Sumut, Minggu (14/7) sore, komentar serupa masih didengarnya.

Padahal sejak awal, Master Supandi Kusuma, yang memimpin rombongan, seperti Darsen Song, Sujito Sukirman, Monang Panggabean, Junaedi Gandi, dan sejumlah atlet wushu dari Yayasan Kusuma Wushu Indonesia, sudah diinfor­masi­kan bahwa rumah hijau yang dikelola  Ketua Pengprov Wushu Kabupaten Asahan, Budi Chandra, putra Irwansyah Tjong,  adalah kebun pembibitan pisang barangan.

Namun tak urung, rasa  sangsi tetap me­man­car  pada raut sebagian anggota rom­bongan.

“Akhh enggak mirip pohon pisang, tapi seperti bunga pisang-pisangan...,” ujar Wakil Sektetaris Pengprov WI Sumut, Monang Panggabean.

Salah paham atau rasa sangsi wajar muncul. Komentar Monang juga tak berlebihan. Melihat ribuan bibit tanaman yang ada di rumah hijau, sekilas memang mirip daun bunga pisang-pisangan yang banyak tumbuh di tepi jalan.

“Tapi ini memang bibit pohon pisang barangan merah hasil kultur jaringan atau tissue culture,” ujar Budi Chandra. Rumah hijau itu milik Hijau Surya Biothecindo, sebuah perusahaan pembibitan tanaman yang berkantor di Jalan Panglima Polem, Kisaran.

Kultur jaringan adalah metode yang biasa digunakan dalam pembibitan tanaman untuk mengisolasi bagian dari tanaman seperti sekelompok sel atau jaringan yang lalu dikulturkan atau ditumbuhkan pada medium buatan  yang steril. Sel atau jaringan yang diisolasi karena nirhama maka mampu berege­narasi atau memperbanyak diri menjadi tanaman lengkap.

Usaha pembibitan tanaman lewat teknologi kultur jaringan sudah dirintis Budi Chandra sejak 2009. Anak ketiga dari lima bersaudara itu adalah alumni Biokimia dan Bioteknologi University of Manchester, Inggris. Dalam melakukan berbagai risetnya, ia dibantu adiknya, Andi Chandra, Master Chemical Engineering, juga lulusan dari universitas sama.

Dua Dekade

Teknologi kultur jaringan sebenarnya sudah banyak diterapkan  di negara-negara yang kini dikenal sebagai eksportir buah-buahan dan tanaman hias seperti Thailand, Malaysia, Tiongkok, Vietnam, dan Amerika.

“Kita bisa dibilang telah tertinggal 20 - 25 tahun,” ujar Budi Chandra yang menjabat sebagai Direktur Hijau Surya Biotechindo. Baginya prospek pertanian di Indonesia sangat menggoda. Dari sisi jumlah penduduk misalnya, berkisar 250 juta jiwa. Terbesar keempat setelah Tiongkok, India, dan Amerika Serikat.

Itu artinya pasar dalam negeri cukup menjanjikan. Indonesia juga memiliki buah-buahan tropis seperti manggis, salak, mangga, pisang, rambutan yang memiliki nilai ekspor cukup tinggi. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor buah-buahan Indonesia sepanjang Januari - Oktober 2018 menyentuh US$674,05 juta.

Sayangnya, potensi ekspor buah-buahan itu, baik untuk memenuhi ceruk pasar dalam maupun luar negeri belum terpenu­hi. Tak usah bicara ekspor, bahkan untuk pasar dalam negeri pun masih keteteran. Ambil contoh pisang barangan merah.

Pisang ini dikenal sebagai buah khas Sumatera Utara. Pisang barangan merah selama ini  banyak dipasarkan ke sejumlah kota  seperti Jakarta, Surabaya, Aceh sampai Papua. Selain kaya kandungan vitamin C, rasanya manis, dan harum. Banyak yang memercayai pisang barang­an sangat membantu pencernaan bayi yang  baru belajar menelan makanan. Dalam pesta-pesta perkawinan, pisang barangan merah juga jadi kudapan pretise. Tuan rumah akan merasa bangga jika bisa menyediakan pisang itu untuk tamu.

Tak heran jika permintaan akan buah ini cukup tinggi. Namun  di pasar buah,  barangan merah tergolong langka, misalnya jika dibandingkan pisang barangan kuning. Jika ditanya penyebab­nya ke dinas pertanian, petani, akademisi atau Asosiasi Eksportir Buah dan Sayuran Indonesia (AESBI), tentu ada ragam jawaban.

Namun menurut Budi Chandra, masalah pertanian di negara kita kebanyakan ada di hulu, yakni menyangkut teknik pembibit­an. Sangat jarang dijumpai bibit tanaman pisang barangan merah yang bagus. Bibit yang ditanam petani, umumnya adalah sisa dari bibit musim tanam sebelumnya.

Ia memberi contoh bibit kentang. Setelah dipanen, petani umumnya mena­nam kembali sisa kentang yang dipanen sebagai bibit. Tak heran jika makin lama hasil hasil kentangnya makin kecil.

Pada kasus pisang tersebut, bibit yang ditanam petani umumnya  hanya meng­andal­kan anakan pohon atau bonggol. Masalah serius akan dihadapi petani jika induk pohon terkena penyakit. Otomatis anakannya juga tertular. Bibit yang terserang penyakit, jika tetap ditanam menyebabkan masa menuju panen lebih panjang. Poduktivitas buah pisang dalam tandan juga makin berkurang. Penyakit yang menyerang pisang barangan umum­nya layu fisarium.

“Kalau terserang fisarium, petani tidak bisa berbuat banyak. Buah belum sempat matang, tanaman sudah mau mati,” katanya. Mencegah agar tidak diserang fisarium, dapat dilakukan dengan menjaga  sanitasi kebun atau good agricultural practise (GAP). “Dan tentu saja memilih bibit yang sehat.”

Dijamin Steril

Bibit tanaman hasil teknik kultur jaringan menurutnya 99,9% dijamin steril dari hama. Kualitas dan tingkat produkti­vi­tas­nya juga terjamin karena dikembang­biakkan dari gen bibit induk terpilih.

Untuk mendapatkan  bibit induk tersebut, Budi Chandra harus berburu ke Kecamatan Sibirubiru, Deliserdang. Alasannya untuk memastikan bahwa bibit yang didapat benar-benar jenis pisang barangan merah. Maklum sekali sebuah bibit diambil gennya di laboratorium, lalu dikultur jaringankan, hasilnya bisa jutaan bibit.

Dari laboratorium, bibit hasil kultur jaringan lalu dipindahkan ke rumah hijau. Dalam 8 pekan, bibit akan tumbuh 25 - 30 cm dan siap ditanam di ladang. Pada usia 7 - 10 bulan bibit sudah tumbuh jadi pohon setinggi 2,5 meter.

Menurutnya, bibit hasil kultur jaringan punya beberapa kelebihan dibanding teknik anakan atau bonggol. Dari sisi masa produksi misalnya, lebih cepat masa produktifnya, yakni 7 - 10 bulan. Semen­tara bibit anakan butuh waktu12 - 14 bulan. Artinya ada selisah  masa produksi  2 sampai 4 bulan. Lalu dari sisi produkti­vitas, buah yang dihasilkan dari bibit anakan, satu tandan umumnya hanya berisi 3 - 4 sisir,  sedang bibit kultur jaringan bisa sampai 7 - 10 sisir.

“Lalu dari satu pokok tanaman, juga bisa panen 3- 4 kali dalam 2 tahun. Setelah itu tanaman harus diganti walau­pun tidak mati. Itu untuk menjaga produk­ti­vitas,” katanya.

Pada 2019, Hijau Surya Biotechindo telah mematok target produksi 500 ribu bibit,” katanya. Bibit-bibit itu telah lolos sertifikasi dari Dinas Pertanian Sumut. Namun produksi bibit itu sendiri sudah mulai dilakukan sejak 2012.

Pesanan bibit berasal Aceh, Lampung, Jawa Timur,  Kalimantan Timur, Kaliman­tan Selatan, Makasar, dan Papua. Seiring permintaan yang terus meningkat, pada 2020 jumlah produksi bibit akan ditingkat­kan menjadi 1 juta bibit. Jika dibanding­kan India, jumlah tersebut menurutnya sangat jauh tertinggal. “India bisa mem­pro­duksi 300 juta bibit per tahun, sementa­ra kita masih di bawah 1 juta.”

Memilih terlibat dalam industri pertani­an di bagian hulu memang pilihan Chan­dra Budi sejak muda. Ia punya tujuan gan­da. Di satu sisi ingin Indonesia tetap hijau, sisi lain ia terobsesi melihat petani Indonesia bisa menjadi lebih sejahtera. Dengan mendapatkan bibit pisang barang­an berkualitas, ia percaya nasib bisa lebih sejahtera seperti petani di luar negeri.

“Mereka bisa  punya ladang, rumah, dan mobil. Tapi petani kita, umumnya, uang hasil panen hanya untuk menutupi utang. Sangat ironis nasib petani di negara agraris seperti ini,” katanya.

()

Baca Juga

Rekomendasi