
Oleh: Jonson Rajagukguk, S.Sos, M.AP
PERTEMUAN antara elit politik dalam hal ini ketua umum parpol patut kita apresiasi jika pertemuan itu membicarakan “problem solving” untuk bangsa ini. Seolah-olah masa depan bangsa ini berada di tangan mereka, petemuan itu pun jadi “trending topic” bagi bangsa ini. Padahal sumbangsih politisi terhadap kemajuan negara ini kalau bisa dibilang sangatlah minim. Sumbangan para Guru, akademisi, pelaku UKM, petani, nelayan, dan buruh misalnya jauh lebih besar daripada DPR atau elit politik lainnya. Masalahnya, benarkan pertemuan para elit politik ini menjadi titik awal solusi (starting point of the solution) bagi bangsa kita yang saat ini masih menemukan format berbangsa dan bernegara yang benar dan ideal? Memang harus kita akui dalam proses berbangsa dan bernegara peran partai politik sangatlah dominan. Dalam tradisi demokrasi yang dipraktikkan oleh para bangsa –bangsa di dunia ini peran parpol menentukan perjalanan bangsa.
Hanya saja di negara dengan tradisi demokrasi yang sangat bagus, parpol misalnya di negara Amerika Serikat, Australia, Inggris, India, dan negara maju lainnya sudah berpolitik atas dasar “ideologi dan nilai”, bukan seperti parpol di negara kita yang saat ini masih berpolitik atas dasar “pragmatisme habis” dengan orientasi kekuasaan. Tatkala Megawati Soekarnoputri dalam kapasitasnya sebagai Ketua Umum PDI-Perjuangan, dan Prabowo Subianto sebagai “big bosnya” Partai Gerindra, kemudian dilanjutkan dengan pertemuan Partai Nasdem, PPP, Golkar, dan PKB, apa gerangan dibalik pertemuan ini?
Apakah pertemuan para petinggi parpol yang notabene merupakan elit politik negara ini hanya untuk bagi-bagi kekuasaan semata, dimana saat ini fokus utama parpol adalah berebut jatah menteri yang mungkin dalam hitungan hari akan diumumkan oleh Presiden. Sebagaimana yang kita ketahui saat ini koalisi parpol masih merasa yang paling berjasa (feel most meritorious) dalam mendudukkan Presiden Jokowi. Pemahaman parpol ini tentu sangat bertentangan dengan nilai –nilaia demokrasi. Pada saat demokrasi mengatakan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat, muncullah sesat pikir elit politik yang sangat membahayakan masa depan demokrasi.
Benarkah pemahaman para parpol ini bahwa mereka adalah orang yang paling berjasa dalam mendudukkan jabatan Presiden? Tentu pertanyaan ini akan kita jawab dengan sebuah jawaban yang sangat tegas, yakni tidak. Presiden Jokowi terpilih bukan karena parpol, tetapi karena rakyat yang memilihnya. Sah-sah saja parpol yang mengusung Proesiden Jokowi secara administratif dalam hal ini persyaratan minimal 25 %. Tetapi semua mandat itu berasal dari rakyat. Untuk ini, parpol perlu kita berikan pemahaman bahwa yang memilih Jokowi –Maruf Am”in adalah rakyat dan bukan partai politik. Terlepas apakah parpol terima atau tidak, tetapi rakyat harus bersatu dan sepaham (agree) mengenai ini agar parpol tidak merasa “jumawa” dan merasa manusia paling penting di republik ini.
Kembali kepada pertemuan yang digagas oleh para elit politik ini, kalau memang tujuannya untuk kepentingan bangsa yang lebih besar, kita patut mendukung pertemuan ini. Tetapi kalau memang tujuannya hanya untuk mengamankan jatah menteri yang saat ini sedang hangat diperebutkan, kita sangat sesalkan. Sementara rakyat sangat menginginkan orang yang duduk di kabinet adalah orang yang punya kompetensi dalam mengelola negara, punya prestasi, punya integritas, dan punya visi besar dalam membawa arah bangsa ini mau kemana. Rakyat tidak akan pernah membicarakan latar belakang mereka dari mana. Apakah dari parpol, profesional, pengusaha, birokrat, itu tidak masalah asalkan punya kemampuan dan integritas yang baik dalam mengelola negara (manage the country).
Bargaining Position rakyat
Untuk itu, semua elit politik harus paham bahwa dalam demokrasi “bargaining position” rakyat adalah hal yang paling utama. Yang menjadi pertanyaan seperti apa ‘bargaining position‘ rakyat itu? Pertama, harus dilembagakan dengan baik dan tegas, bahwa yang memilih Jokowi-Maruf adalah rakyat. Untuk itu, tidak ada alasan Jokowi-Maruf takut dengan parpol. Jokowi Maruf harus lebih takut kepada rakyat karena amanah yang mereka peroleh adalah dari rakyat. Jokowi-Maruf selama lima tahun kepemimpinan mereka akan menggunakan fasilitas negara yang dihimpun dari dana rakyat melalui pajak melalui instrumen APBN. Untuk itu, tidak ada alasan mengatakan Presiden tidak takut kepada rakyat. Parpol yang berhasil menghantar kadernya di DPR, DPRD juga karena rakyat yang memilihnya.
Kedua, orientasi politik haruslah fokus pada upaya memberdayakan rakyat dan indikatornya adalah kesejahteraan rakyat. Jika Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebagai bagian kecil saja misalnya tidak bagus, berarti kebijakan yang diambil oleh elit politik patut di pertanyakan. Artinya, perilaku elit politik dalam hal ini menyangkut kebijakan publik yang diambil haruslah mendorong terwujudnya kualitas hidup rakyat yang lebih baik. Kualitas hidup (quality of life) rakyat yang lebih baik menyangkut kesejahteraan, kemakmuran, pelayanan publik, dan infrastruktur pendukung.
Ketiga, ketika Presiden Jokowi/Maruf membentuk kabinet nantinya, kabinet yang diinginkan adalah kabinet yang profesional dan kabinet yang punya visi kedepan. Pertimbangan keikusertaan parpol dalam memilih kabinet harus dinomorduakan. Artinya, kabinet yang profesional adalah sebuah jaminan untuk menghadapi era Industri 4.0. tantangan jaman makin besar, inovasi dan kreativitas sangat dibutuhkan. Jika negara gagal dalam mendorong inovasi rakyatnya, bangsa ini kedepan tidak akan punya harga diri lagi nantinya dalam pergaulan internasional. Untuk itu, dibutuhkan jaminan bahwa kabinet Jokowi –Maruf lima tahun kedepan haruslah kabinet yang ahli (expert cabinet), kabinet yang punya kompetensi, punya integritas (have integrity), dan punya wawasan kebangsaan yang bagus.
Penutup
“Bargaining position” rakyat adalah hal yang paling utama dipikirkan. Negara ini bukanlah negara parpol. Rakyat adalah penyumbang pajak terbesar dan penyuplai kebutuhan negara ini. Untuk itu, semua perilaku elit politik idealnya adalah perilaku yang bermuara pada upaya meningkatkan kualitas hidup rakyat kita dalam semua aspek. Untuk itu, pertemuan elit politik kemarin sah-sah saja kalau untuk memikirkan “problem solving” kebangsaan kita. Tetapi kalau pertemuan elit politik itu hanya untuk membicarakan kue kekuasaan (power cake), maka ini adalah sesuatu yang sangat konyol.
Dalam hal inilah Jokowi-Maruf harus memulai start dan menunjukkan “warnanya” bahwa Jokowi-Maruf harus lebih takut kepada rakyat daripada kepada parpol yang dalam hal ini hanya mengamankan “jatahnya” di kementerian nantinya. Padahal, memilih menteri adalah hak prerogatif Presiden. Parpol harus menghormati hak prerogatif Presiden ini kalau parpol masih paham bahwa “bargaining position” rakyat adalah yang terkuat (the strongest) dalam demokrasi. ***
Penulis adalah, Pengajar Tetap FISIP Universitas HKBP Nommensen Medan/ mahasiswa S3 Manajemen Pendidikan Unimed