Jangan Terlalu Bangga dengan Gelar

jangan-terlalu-bangga-dengan-gelar
Oleh: Sam Edy Yuswanto. Sebagian orang mungkin masih banyak yang menganggap bahwa gelar itu adalah hal yang sangat penting dalam kehidupannya. Misalnya gelar haji, kiai, garis nasab, atau gelar akademik yang mengiringi namanya. Sedemikian pentingnya, sampai-sampai jika ada orang yang memanggilnya tanpa menyertakan embel-embel gelar tersebut, ia akan merasa tersinggung dan sangat marah. Padahal, menurut saya, gelar yang mengiringi nama kita itu hanya sebatas gelar penanda jati diri tambahan saja. Buat apa kita memiliki sederet gelar tinggi jika tak disertai dengan perilaku yang baik?

Bagi saya, gelar itu bukan hal yang terlalu penting dan harus dibesar-besarkan. Bahkan saya merasa risih dan malu bila ada orang memanggil dengan embel-embel gelar akademik di belakang nama saya. Pernah suatu ketika saya diundang mengisi acara pelatihan menulis di luar kota. Pada saat mengundang, pihak panitia mengirim pesan kepada saya, meminta CV atau biodata saya. Sengaja saya hanya menuliskan nama tanpa gelar akademik. Si panitia lantas menanyakannya (mungkin untuk kepentingan penulisan nama dalam sertifikat dan spanduk). Namun saya bilang tidak usah. Ya, karena saya merasa tidak penting menyertakan gelar akademik di belakang nama saya.

Mengagungkan Nasab

“Garis nasab” juga kadang menjadi hal yang begitu penting dan dibangga-banggakan atau diagungkan oleh sebagian orang. Misalnya, karena merasa masih keturunan raja, ia selalu menyertakan gelar ‘raden’ di depan namanya. Atau merasa masih keturunan ulama besar, ia selalu bangga jika ada yang memanggilnya kiai, gus, dan lain sebagainya. Memang tidak mengapa bila ada orang yang memanggil kita, misalnya dengan embel-embel gelar tersebut, tapi dengan catatan jangan sampai membuat kita merasa ujub (sombong) gelar tersebut.

Dalam ajaran Islam, ujub termasuk sifat tercela dan semestinya selalu berusaha kita hindari. Makna ujub dalam Islam sebagaimana diulas dalam islam.com (10/10/2016) adalah perilaku sifat mengagumi diri sendiri dan senantiasa membanggakan dirinya sendiri. Menurut Imam Al-Ghazali, perasaan ujub adalah kecintaan seseorang akan suatu karunia yang ada pada dirinya dan merasa memilikinya sendiri serta tidak menyadari bahwa karunia tersebut adalah pemberian Allah Swt. Orang yang memiliki sifat ujub tidak akan mengembalikan keutamaan yang dimiliki tersebut kepada Allah Swt.     

Tentang bahaya sifat ujub, Muhammad Arifin Ilham dalam tulisannya (Republika.co.id, 23/09/2016) menjelaskan, tiada godaan terhebat dari seorang yang sukses rezekinya, jabatannya, popularitasnya, ilmunya, dan keturunannya kecuali bangga dan kagum pada dirinya sendiri. Merasa paling hebat, paling pintar, paling benar, paling suci. 

Ia melanjutkan, “Dan sungguh, inilah penyakit hati orang sukses termasuk ‘si penulis’ ini.” Dalam Al-Quran (Surat al-Qashash: 76) dijelaskan, “Jangan kamu terlalu bangga; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang terlalu membanggakan diri”. 

Selain melandasi dengan dalil Alquran, Muhammad Arifin Ilham juga melengkapi tulisannya dengan sabda Nabi. Terkait bahaya sifat ujub, Rasulullah Saw pernah mengingatkan sampai tiga kali: “Takutlah kalian pada al-Uzba, yakni bangga dan kagum pada diri sendiri”. Saat Rasulullah menyampaikan sabda tersebut, para sahabatnya (yang saleh-saleh dan penghafal Alquran) hadir di hadapan Beliau. Mungkin Beliau sedang mengingatkan mereka agar jangan berbangga diri dengan kesalehan yang ada pada diri mereka. Ya, karena memang sifat bangga diri ini sangat berbahaya bagi para manusia. Dosa ujub boleh jadi menjadi semacam jebakan dan jerat yang sangat halus, tapi mematikan bagi pelakunya, yang kebanyakan dari kalangan orang-orang hebat. Dosa ujub ini lebih halus dari langkah semut.

Mungkin di antara kita pernah melihat seorang kiai atau gus (panggilan terhadap putra kiai) yang selalu dengan gerak cepat menarik tangannya saat ada orang yang mengajak berjabat tangan dan hendak mencium punggung telapak tangannya. Berdasarkan pengamatan saya, kemungkinan kiai atau gus tersebut melakukan hal itu karena tak ingin terlalu diperlakukan secara berlebihan oleh orang lain. Mungkin mereka sedang berusaha menghindari sifat ujub yang kerap datang secara tiba-tiba dan begitu halus sampai-sampai kerap tak disadarinya. Memang benar apa kata Muhammad Arifin Ilham, bahwa ujub itu lebih halus dari langkah semut.             

Ada sebuah maqalah (semacam pepatah bijak) menarik yang saya temukan di laman NU Online (11/08/2016), “Asyarofu bil adab, laa binnasab.” Artinya kemuliaan itu disebabkan budi pekerti, bukan keturunan. Sebuah maqalah yang sarat perenungan dan mudah-mudahan dapat kita jadikan sebagai “tameng bagi” diri saat suatu hari jiwa kita disusupi oleh perasaan ujub.***   

Penulis adalah pemerhati sosial, alumnus STAINU Kebumen.

()

Baca Juga

Rekomendasi