Menyusuri Objek Wisata

Pantai Barat Madina

pantai-barat-madina

Oleh : James P. Pardede

Perjalanan menuju kawasan wisata Pantai Barat Mandailing Natal ada dua jalur pilihan, bisa lewat Kota Panyabungan lalu menuju Natal atau lewat jalur Batangtoru-Kebun Hapesong-melewati Danau Siais dan langsung ke Natal. Pilihan jalan kedua waktu tempuhnya lebih cepat dan kondisi jalan lumayan bagus. Hanya saja, jalur ini belum banyak diketahui masyarakat karena ada anggapan lebih jauh, padahal dari uji coba yang kami lakukan, perjalanan dari Medan menuju Natal bisa lebih cepat dua sampai tiga jam dari jalur biasanya.

Selama diperjalanan menuju Madina dari kebun Hapesong, kendaran yang melin­tas sangat jarang, mungkin karena suasana Ramadan dan hari libur sekolah. Kalau pun ada kendaraan yang melintas dan bertemu di jalan, jaraknya sangat jauh. Kondisi jalan tidak semuanya mulus, masih ada beberapa ruas jalan yang rusak pasca banjir bandang kemarin dan akibat dari seringnya jalan terendam air.

Kami memilih jalan pagi dari Medan, ma­suk jalan Tol Amplas - Tebing Tinggi dan sampai di Batangtoru sudah senja, pukul 18.00 WIB. Jalur cepat yang kami lalui ada­lah jalan memotong dari Sipirok ke Maran­car dan sampai ke Batangtoru. Kalau me­lalui jalur biasa lewat kota Padangsi­dimpuan dan dilanjutkan ke Batangtoru, mungkin kami baru sampai sekitar jam 20.00 WIB atau jam 21.00 WIB.

Setelah menempuh perjalanan lebih dari lima jam, kami akhirnya sampai di Natal dan langsung merebahkan tubuh di salah satu rumah penduduk yang sengaja kami pilih untuk hari pertama. Tujuan utama me­ngunjungi Pantai Barat Mandailing Na­tal ini adalah untuk melihat keberadaan hu­tan bakau (mangrove) seluas 100 hektar, mi­lik salah seorang pengusaha di Medan, Sugian­to Makmur. Hutan bakau ini pada awal dibeli sudah dalam kondisi rusak dan habitat yang ada di hutan ini terancam untuk berpindah ke tempat lain yang lebih lestari.

Pagi-pagi sekali, saya bangun dan meli­hat aktivitas masyarakat disana mencari kepiting (mengangkat bubu-jaring) yang sudah dipasang sore hari sebelumnya. Dari ba­nyaknya perangkap yang dipasang de­ngan umpan ikan yang dipotong kecil, ada saja kepiting yang terperangkap dan ukuran­nya bervariasi. Setelah terkumpul semua dan capitnya diikat dengan tali plastik, lalu dijual ke penampung yang kebetulan pe­nampungnya adalah tempat kami mengi­nap.

Kepiting dengan ukuran tertentu har­ganya lebih mahal dan biasanya kepiting yang dikumpulkan dari masyarakat dikirim ke Medan dengan menggunakan transpor­tasi mobil travel, ada juga yang dikirim ke Jambi dan kota lainnya sesuai dengan per­min­taan pelanggan yang sudah terjalin dengan baik selama ini.

Sarapan pagi, kami disuguhi udang go­reng dan sop kepiting, rasanya sangat nik­mat karena udang dan kepitingnya masih sa­ngat segar. Tempat kami menginap di hari pertama sekaligus tempat kami makan pa­gi, siang dan malam selama 3 hari di Na­tal. Rumah sekaligus kedai ini sebenar­nya bisa jadi pilihan tempat makan bagi wisatawan yang datang ke Kun Kun, Natal. Hanya saja tempatnya perlu ditata lebih baik lagi.

Kak Ros yang akrab disapa dengan Kak Pesek adalah penampung kepiting sekaligus koki kami selama di Natal. Masakannya sangat enak, masakan  khas kampung tanpa bahan MSG. Karena masakannya serba bahan sea food, bagi yang punya riwayat penyakit kolesterol, alergi atau penyakit lainnya harus menahan diri untuk tidak ’rakus’ dengan bahan makanan sea food segar masakan Kak Pesek.

Hari kedua kami menuju Natal, sebagai ibukota Kecamatan Batang Natal. Di pasar tradisional kami berkesempatan membeli ikan segar dan menikmati pemandangan kapal nelayan yang sandar setelah melaut. Ada juga kapal sandar yang rusak dan se­dang diperbaiki.Kami juga mencoba sara­na transportasi perahu untuk menyeberangi sungai Batang Natal dan melihat langsung nelayan yang sedang menjemur ikan teri.

Siang harinya, kami menyusuri sungai Kun Kun untuk melihat hamparan hutan bakau yang sudah tumbuh kembali dengan ke­tinggian yang seragam. Sugianto Mak­mur selaku pemilik lahan melakukan kon­ser­vasi mandiri 100 hektar lahan bakau milik­nya. Jika dibandingkan dengan hutan bakau di seberangnya, sudah banyak juga yang beralih fungsi menjadi kebun sawit. Malam harinya, kami kembali menyusuri sungai Kun Kun untuk melihat aktivitas buaya yang hidup di sana.

Hari ketiga, kami mengunjungi beberapa pantai yang ada di sepanjang Pantai Barat Madina. Objek wisata pantai yang kami kun­jungi belum dikelola maksimal. Pada­hal, kawasan wisata pantai ini sangat berpo­tensi untuk menarik minat wisatawan da­tang diluar hari-hari besar seperti libur Le­baran, Natal atau Tahun Baru. Pantai ini juga sering dikunjungi wisatawan lokal pada hari-hari libur sekolah dan hari Minggu.

Sangat Berpotensi untuk Dikembangkan

Saat menikmati pemandangan alam di Pantai Kurnia yang kebetulan berada di be­lakang hotel Pantai Kurnia Natal, om­baknya tidak terlalu besar. Pasir putih yang terhampar luas di kawasan pantai ini sangat menarik, hanya saja kesan pantai ini masih belum lepas dari kesan kotor karena sampah yang berserakan.

Sepanjang Pantai Barat Mandailing Na­tal ada banyak pantai yang sangat indah pe­mandangannya. Mulai dari Pantai Sing­kuang, Pantai Karo Sundutan Tigo, Pantai Kur­nia dan Pantai Batu Ruso di Desa Tabu­yung Kecamatan Muara Batang Gadis ter­masuk pantai yang sangat sering dikunjungi wisatawan. Ombak di kawasan pantai Batu Ruso misalnya tidak terlalu besar membuat masyarakat dan pengunjung betah untuk mandi di pantai ini. Pantai Batu Ruso men­dapat perhatian dari pemerintah dengan pe­masangan papan nama dan pondok tem­pat duduk wisatawan. Hanya saja tidak dirawat dan terkesan dipaksakan.

Beberapa hotel yang ada di kawasan ini sudah memiliki pelanggannya masing-ma­sing. Akan tetapi, fasilitas pendukung lain­nya masih sangat minim. Misalnya, kalau pengunjung ingin mandi, pengelola dan pemerintah setempat tidak menyiapkan toi­let atau kamar mandi untuk berganti pakai­an. Kalau untuk hotel, pengunjung yang da­tang Pantai Barat Madina ini bisa me­milih. Restoran atau rumah makan juga belum sesuai harapan.

Seperti disampaikan pemilik Hotel Pantai Kurnia Edi Kurniawan Tanjung, har­ga kamar AC ada dikisaran Rp 225 per ma­lam, non AC Rp 150 ribu per malam dan ka­mar paling murah non AC Rp 100 ribu per malam. Hotel ini memiliki fasilitas yang lumayan dengan view pantai di bela­kang restorannya.

”Untuk restoran, kita menyediakan makan­an seafood seperti ikan laut segar. Hanya saja penyajiannya butuh proses dan harus dipesan terlebih dahulu agar bisa dimasak dan disajikan saat tamunya datang untuk makan,” katanya.

Jumlah wisatawan yang datang dan menginap, menurut Edi hanya dua hari dan paling lama 3 hari. Dan kebanyakan dari kalangan sales yang datang memasarkan pro­duknya ke kawasan Natal. Dari beberapa wisa­tawan yang datang ke Pantai Barat Ma­dina, masih mengeluhkan masalah sarana transportasi termasuk infrastruktur ja­lan lintas yang di Simpang Gambir sangat berpengaruh bagi wisatawan yang datang dari Panyabungan dan Sumatera Barat.

”Sementara kalau wisatawan dari Medan, Sibolga dan Padangsidimpuan bisa me­milih lintas Barat melewati Danau Siais. Wak­tu tempuhnya juga lebih cepat dari jalur lintas Panyabungan,” tandas Edi Kur­niawan Tanjung.***

()

Baca Juga

Rekomendasi