Absurditas Razia Buku

absurditas-razia-buku

Oleh: Deddy Kristian Aritonang.

Razia buku oleh TNI, Kejaksaan dan Polri kembali terjadi. Pertama di dua toko buku berlokasi di Ki Ageng, Ke­diri, Desember 2018 silam. Saat itu TNI menyita buku-buku yang di­ang­­gap berhaluan kiri, yaitu (1) Empat Karya Filsafat, (2) Menempuh Jalan Rakyat (karya DN. Aidit), (3) Ma­nifesto Partai Komunis (karya Karl Marx dan Fredrich Angels), (4) Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan (karya Soe Hok Gie), (5) Ben­tu­ran NU PKI 1948-1965, (6) Gera­kan 30 September 1965 Kesak­sian Let­kol PNB. Heru Atmojo, (7) Na­sio­na­lisme, Islamisme, Marxisme, (8) Oposisi Rakyat, (9) Gerakan 30 Sep­tember 1965, (10) Catatan Perjua­ngan 1946-1948, (11) Kontradiksi MAO-Tse-Tsung, (12) Negara Ma­di­­un, (13) Islam Sontoloyo (karya Soe­­­­karno), (14) Sukarno, Orang Kiri, Re­­­­volusi, & G30S1965 (karya Ong Hok Ham) dan (15) Komunisme ala Aidit.

Selang sebulan kemudian, di Pa­dang, sebuah toko buku menga­lami nasib serupa karena menjual buku-buku berjudul Kronik 65, Jas Merah dan Mengincar Bung Besar. Lalu akhir Juli 2019 lalu, dua orang pegiat literasi terpaksa berurusan dengan polisi karena membawa empat buku, yakni (1) Aidit Dua Wajah Dipa Nu­san­tara, (2) Sukarno, Marxisme dan Leninis­me: Akar Pemikiran Kiri dan Re­volusi Indonesia, (3) Menem­puh Ja­lan Rakyat, dan (4) D.N Aidit Se­buah Biografi Ringkas. Disusul ke­mu­dian pada 04 Agustus 2019, razia buku di toko buku Gramedia Trans Mall Makassar dilakukan oleh seke­lompok orang yang menga­tasna­ma­kan Briga­de Muslim Indonesia. Unik­nya, selain bukan dilakukan oleh apa­rat, salah satu buku berjudul Pemi­ki­ran Karl Max: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme karya Franz Magnis-Suseno yang dirazia sekelompok orang itu justru meru­pakan kritik terhadap Marxisme. De­ngan kata lain, mereka merazia buku-buku itu secara sembrono karena ti­dak memahami isinya sama sekali.

Tindakan penyitaan maupun razia buku-buku beraliran kiri dan diang­gap berseberangan dengan ideologi Pancasila merupakan sebuah kemun­du­ran. Bisa kemunduran berpikir. Bisa juga kemunduran menyikapi pera­daban yang sudah jauh lebih maju. Boleh jadi niatnya memang baik: agar masyarakat tidak terpapar ideologi komunis. Tapi, di tengah-tengah gencarnya kampanye literasi yang dikumandangkan berbagai lembaga pendidikan kita, tindakan razia apalagi sampai menyita dan mela­rang akses terhadap buku-buku itu jelas merupa­kan cara yang salah kaprah.

Indeks Minat Baca

Sangat aneh apabila buku-buku yang dianggap berhaluan kiri mem­buat masyarakat resah. Seharusnya yang menjadi keresahan kita adalah pencapaian literasi bangsa ini yang be­gitu buruk berdasarkan kajian-kajian lembaga internasional. Sebut saja UNESCO pada tahun 2012. Ba­dan PBB itu memperlihatkan indeks minat baca bangsa kita yang cuma 0,001%. Ini berarti dari 1000 pen­duduk Indonesia, hanya satu orang yang suka membaca.

Kemudian pada tahun 2015, penelitan PISA (Programme for International Student Assessment), rilis oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), melaporkan peringkat literasi Indonesia yang cuma duduk di urutan ke-62 dari 70 negara. Lalu setahun kemudian, Central Con­necti­cut State University (CCSU) dalam laporan yang berjudul “The World’s Most Literate Nation” menempatkan peringkat literasi kita di posisi ke-60 dari total 61 negara, atau satu tingkat lebih baik dari Botswana, negara di Afrika bagian selatan.

Merazia buku sama saja dengan mengkebiri hak-hak manusia untuk mendapatkan ilmu pengetahuan sec­ara luas. Ya, pada konteks ini paham komunisme harus dipandang sebagai ilmu pengetahuan terlepas dari eksis­tensi­nya yang tidak sesuai dengan ideologi kita, Pancasila. Sebab, untuk mendapatkan pemaha­man secara komprehensif atas alasan me­ngapa ko­­munisme bertentangan de­ngan Pan­casila, harus dengan cara me­ma­hami se­cara utuh apa dan bagai­mana pa­ham komunisme itu se­sung­guh­nya me­lalui membaca. Bukan de­ngan mo­dal diceritakan secara turun temurun seperti dongeng pengantar tidur.

Melarang akses bacaan terhadap buku-buku berhaluan kiri hanya akan memberikan kesan kuat bahwa ko­mu­nis­me dan sejarah kelamnya di negeri ini seperti mitos dan kisah fiktif be­laka. Generasi muda yang lahir jauh sesudah peristiwa pem­berontakan PKI tahun 1948 dan 1965 tidak pernah me­nyaksikan itu semua. Maka mereka harus dibekali dengan pengetahuan sejarah yang komplit. Dan caranya tentu de­ngan mem­beri­kan kajian terhadap lite­ratur yang relevan dengan itu. Tujuannya adalah agar mereka tahu betul bagaimana upaya-upaya keji yang pernah dilakukan para pemberontak itu untuk merongrong Pancasila.

Membaca buku-buku berhaluan kiri tidak dapat dijustifikasi secara se­pihak bahwa pembacanya akan se­cara otomatis mengusung ideologi itu. Pada konteks yang berbeda, kita bisa melihat kehidupan sehari-hari. Kita disuguh­kan rambu dan peraturan lalu lintas. Kita membaca aturan-aturan itu setiap hari. Tapi ternyata setelah membaca­nya kita tidak serta merta menjadi individu yang benar-benar taat akan aturan lalu lintas. Sebagai ma­nusia yang beragama, kita juga relatif rajin membaca kitab suci agama yang kita anut. Tapi ternyata setelah memba­canya kita juga tidak secara oto­matis menjadi penganut agama yang taat.

Vonis Sepihak

Dengan memberikan akses baca­an, sekalipun itu tentang ideologi-ideologi kiri, sesungguhnya kita sedang membuka ruang bagi ketaja­man berpikir dan kemampuan untuk mengolah informasi dengan nalar yang kritis. Larangan membaca buku-buku itu malah secara tidak langsung memvonis intelektualitas generasi muda kita. Artinya, secara sepihak, para generasi muda telah ditempat­kan pada posisi yang rentan terpapar komunisme. Mereka sedang diberi label sebagai generasi yang tidak memiliki kecakapan bernalar. Me­nya­kitkan bukan?

Kita harus membangun optimisme bahwa Pancasila adalah ideologi final. Dan komunisme, terutama di In­do­nesia, hanya sebatas sejarah. Pem­­berian kesempatan melahap buku-buku aliran komunis, apalagi lewat dis­kusi akademis dan forum-forum il­miah akan mengekspos sisi-sisi le­mah ideologi itu sehingga akan se­ma­kin menguatkan kesadaran ma­sya­rakat bahwa Pancasila tidak perlu di­utak-atik lagi. Dengan demikian buku-buku yang dilarang itu seha­rus­nya dianggap sebagai referensi va­rian saja atau untuk tujuan mem­perkaya literasi semata. Tidak lebih dari itu.

Lagipula, sejak 13 Oktober 2010, UU No. 4/PNPS/1963 yang melarang bu­ku-buku tertentu sudah dicabut oleh Mah­kamah Konstitusi. Sehing­ga ka­lau pun aparat, atau ormas tertentu ke­be­ratan dan ingin mem­be­rangus bu­ku-buku yang dianggap ‘mem­ba­ha­ya­kan’ atau ‘meresahkan’, caranya ada­lah lewat mekanisme pembuktian di pengadilan. Merazia, melarang atau me­nyita buku tanpa proses peradilan su­dah dikategorikan sebagai per­bua­tan yang sewenang-wenang. Lebih dari itu, cara-cara tersebut sangat identik dengan warisan Orde Baru.

Masih ingatkah kita dengan penulis hebat, almarhum Pramoedya Ananta Toer? Novel Tetralogi Buru miliknya yang tersohor itu sempat membuatnya menjadi pesakitan. Dia dijebloskan ke penjara tanpa proses peradilan selama belasan tahun terutama pada masa Orde Baru karena dianggap mengusung ideologi komunis. Tak hanya itu, orang-orang yang ketahuan memiliki dan membaca novel-novel itu juga akan mengalami takdir serupa. Padahal hingga saat ini, belum ada bukti-bukti konkrit yang menyatakan Pram sebagai komunis. Ironisnya, novel itu pernah mengantarkan beliau menjadi no­minator peraih Nobel Prize.

Kalau pun buku-buku itu dilarang beredar hanya karena alasan mencegah kebangkitan komunis, masayarakat tetap bisa dengan mudah mencari informasi lewat akses internet. Di era digital sekarang ini, buku-buku dalam format e-book banyak tersedia dan bisa diperoleh dengan sangat mudah.

Pada akhirnya, kita tidak boleh ge­gabah dan terlalu phobia begitu melihat buku-buku bernuansa ko­munis. Apa­lagi negara-negara dengan ideologi itu justru sekarang tidak lagi sefanatik dulu. Tiongkok misalnya. Negeri itu dikenal sebagai penganut komunis tulen dari dulu hingga sekarang. Tapi belakangan arah dan kebijakan eko­nomi mereka justru berkiblat pada sistem liberal dan kapitalistik. Kini mereka menjadi salah satu negara yang sangat berpengaruh di dunia. Jangan sampai kita terperangkap dalam ke­rangka berpikir sempit yang mem­buat kita sulit bergerak menuju kemajuan. ***

Penulis adalah kolumnis lepas, guru SMP/SMA Sutomo 2 Medan dan dosen PTS.

()

Baca Juga

Rekomendasi