Menghancurkan Buku, Menghancurkan Peradaban

menghancurkan-buku-menghancurkan-peradaban

Oleh: Hodland JT Hutapea.

Kita sangat menyayangkan, razia dan penyitaan buku kembali terjadi di ne­­geri ini. Yang paling terakhir dila­ku­kan oleh sekelompok orang yang me­­­­ngatasnamakan Brigade Muslim In­­­­d­o­­­nesia (BMI) di Makassar, Sula­wesi Selatan. Kabar ini tersiar di jagad du­­nia maya lewat sebuah video yang di­­ung­gah oleh akun Instagram Media Ta­nah Merdeka dan langsung menjadi vi­ral. Razia buku dilakukan di jaringan to­ko buku dan penerbit terbesar di In­­donesia, Gramedia, di Trans Mall Ma­­kassar pada Sabtu 3 Agustus 2019 lalu.

Dalam video tersebut memper­lihat­kan aksi penyitaan buku dan pernya­taan sikap mereka sembari memegang be­berapa buku yang disita, dan kata­nya akan dikembalikan kepada pener­bit­nya. Ada beberapa buku yang me­reka perlihatkan seperti karya Franz Ma­gnis Suseno, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Per­se­lisihan Revisionisme, Dalam Ba­yang-Ba­yang Lenin: Enam Pemi­kiran Mar­xis­me dari Lenin sampai Tan Malaka, serta beberapa buku lain­nya yang mereka anggap “berpaham komunis dan kiri”.

Mengutip beberapa sumber media online, ketua BMI Sulawesi Selatan, Muhammad Zulkifli menyampaikan alasan di balik aksi mereka, bahwa aksi razia buku tersebut sudah sesuai dengan TAP MPRS Nomor XXV tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, dan juga pelarangan ajaran atau doktrin bermuatan Komunisme, Marxixme, dan Leninisme. Mereka me­ng­anggap bahwa salah satu cara pe­nyebaran ketiga paham tersebut adalah dengan penjualan buku. Mereka juga mengatakan akan terus melakukan razia ke beberapa toko buku lainnya, setelah sebelumnya mendatangi dan merazia toko buku di Jalan Metro Tanjung Bunga dan Mall Panak­kukang, Kota Makassar.

Banyak pihak yang mengecam ke­ras tindakan razia dan penyitaan buku tersebut, termasuk penulis sendiri. Sebab, belum ada informasi akurat, misal­nya kedua buku yang ditulis oleh Franz Magnis Seuseno tersebut telah dilarang oleh pemerintah untuk diterbitkan. Bahkan ketika penulis me­nge­cek ke beberapa situs penjualan bu­ku online, buku-buku tersebut ma­suk dalam jajaran best seller. Jadi, adalah aneh apabila buah pemikiran se­orang profesor, pastur, guru besar filsa­fat dan buku-bukunya menjadi bu­ku wajib bagi para mahasiswa filsa­fat Sekolah Tinggi Filsafat di Indo­nesia “dituduh” sebagai buku terla­rang. Franz Magnis Suseno sendiri pernah dianugerahi Bintang Maha­putra Utama pada 13 Agustus 2015 (berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 83/TK/ Tahun 2015 tanggal 7 Agustus 2015) oleh Pemerintah RI atas jasa-jasa beliau di bidang kebudayaan dan filsafat.

Hal itu menunjukkan kelompok ma­­sya­­­rakat tersebut telah melakukan tin­­dakan gegabah serta tidak mema­ha­mi isi buku yang mereka razia. Bah­kan sebagian pihak menganggap tin­­da­­kan razia buku tersebut adalah se­ba­gai pelanggaran hak asasi ma­nusia (HAM), sangat merugikan ke­penti­ngan penulis, dan bertentangan dengan prin­­sip demokrasi. Dua judul buku karya Franz Magnis Suseno yang sudah di­sebut di atas itu justru se­benarnya me­ngeritik keras ajaran Ko­munisme, Marx­isme, dan Leninis­me. Razia dan pe­nyitaan buku tersebut terkesan dija­dikan arena pertarungan politik dan idiologi.

Tindakan razia dan penyitaan buku di Indonesia memang sudah kerap ter­jadi, baik terhadap toko buku kecil mau­pun toko buku besar. Kita menya­rankan kepada pemerintah beserta aparatnya untuk menghentikan tinda­kan semena-mena tersebut. Apalagi bila tindakan itu dilakukan oleh ke­lom­­pok masyarakat yang tidak me­miliki hak apa pun untuk mela­ku­kannya dan berdasarkan pemahaman sem­pit belaka. Melakukan razia sen­diri adalah tindakan melawan hukum dan kepolisian tidak boleh melakukan pembiaran atas hal ini, agar peran ke­polisian sebagai pengayom dan pelin­dung masyarakat dapat terus terjaga. 

Kita mengingatkan jajaran kepo­lisian untuk mengambil langkah hukum tegas atas aksi-aksi semacam ini. Melarang penerbitan ataupun peredaran buku hanya dapat dilakukan melalui putusan pengadilan. Bahkan Mahkamah Konstitusi pada 13 Oktober 2010 telah mencabut Un­dang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 yang mem­berikan kewenangan ke­pada Kejak­saan Agung untuk me­larang buku. Razia buku atau penga­manan barang-barang cetakan secara sepihak, tak lagi diperbolehkan sejak keluarnya putusan MK tersebut. Jika ada pihak yang keberatan terhadap kon­ten dan pereda­ran suatu buku, da­pat melaporkan kepada kepolisian, dan selanjutnya hu­kumlah yang be­kerja hingga berujung pada putusan mengikat pengadilan.

Menghancurkan Peradaban

Kita harus memahami bersama bah­wa setiap tindakan razia buku, apa pun alasannya, sangatlah bertentangan de­ngan upaya peningkatan budaya baca dan literasi masyarakat yang jus­tru sela­ma ini didorong oleh pe­me­rintah. Buda­ya baca dapat men­cipta­kan kemajuan pera­daban sebuah bang­sa. Timbul teng­gelam­nya suatu pera­da­ban sangat tergan­tung dari buah pe­­mi­kiran para il­muan dan cen­dikia­wan yang dituang­kan dalam buku. Jika buah pemikiran dibungkam, buku disita, apalagi sampai di­musnahkan, maka akan menjadi sa­ngat sulit untuk membangun peradaban sebuah bang­sa. Sebab, setiap peradaban dibangun dari tumpukan buku.

Pada masa lalu, bangsa Mesir memiliki pusat peradaban yang terdata se­cara lengkap di perpustakaan Alex­andria. Namun ketika terjadi perang, perpustaan itu hancur dan dibakar. Hingga kini Mesir tak sanggup lagi bangkit sebagai sebuah negara maju. Begitu pula ketika peradaban pindah ke Bagdad, Irak, di mana buku menjadi sumber rujukan utama. Namun ketika Bagdad diserbu bangsa Mongol yang memporak-porandakan dan meng­han­cur­kan buku di perpustakaan dengan cara membakar dan membuangnya ke sungai, kini Bagdad menjadi bagian dari peradaban yang nyaris gagal.

Peradaban itu kemudian berpindah ke barat, ke Amerika dan Eropa. Me­reka berhasil menimba ilmu dari buku-buku khasanah timur dan Yunani. Lewat buku mereka bangkit, mengem­bang­kan ilmu pengetahuan, dan de­ngan buku pula mereka mencapai pera­daban yang mumpuni dan hingga saat ini menjadi bangsa yang disegani. Siapa pun yang menghancurkan buku, maka hal tersebut adalah upaya me­ng­hancurkan peradaban sebuah bang­sa.

Kita perlu meneladani bagaimana ca­ra bangsa Jepang yang sangat men­­­cin­­­tai buku, menjadikannya seba­gai ba­gian dari membudayakan ak­ti­vi­tas mem­baca di setiap saat. Jepang telah ter­bukti menjadi bangsa yang maju pera­da­bannya, menjadi bangsa yang dise­gani di dunia. Demikian juga bangsa Chi­na dan Korea, buku telah menjadi urat nadi kehidupan mereka, menja­di­kan kedua bangsa ini maju dan sejajar de­ngan bangsa-bangsa maju lainnya. Pera­daban suatu bangsa tidak akan pernah bisa lepas dengan bagai­mana bangsa tersebut mencintai buku.

Sekali lagi, kita berharap, di masa yang akan datang, tidak ada lagi upaya-upaya pembungkaman buah pikiran penulis melalui karya bukunya, tidak ada lagi razia maupun penyitaan buku tanpa alasan yang jelas dan tanpa melalui proses hukum yang seharus­nya. Buku adalah sendi utama pera­daban dan ilmu pengetahuan. Kita tidak akan pernah mengenal ilmuwan seperti Ibnu Sina, Isac Newton, Albert Einstein, dan lain-lain yang telah mening­gal berabad lampau jika mereka tidak mentrans­formasikan ilmunya dalam bahasa tulis atau buku. Seorang penyair masyhur asal Inggris bernama TS Elliot mengatakan: “Sulit membangun peradaban tanpa budaya tulis dan baca”. ***

Penulis adalah, pemerhati masalah sosial

()

Baca Juga

Rekomendasi