
Oleh: Toba Sastrawan Manik SPd.
“Betapa rentannya Pancasila untuk kemudian ditinggalkan atau bukan tidak mungkin akan dipertanyakan kembali oleh kalangan yang sebelumnya menyimpan keraguan terhadap Pancasila itu sendiri"
Pancasila memiliki kedudukan yang sakral dan fundamental dalam kehidupan bangsa Indonesia. Setidaknya sampai hari ini masih dianggap seperti itu. Pancasila masih dianggap sejauh ini sebagai pemersatu dan perekat segenap heterogenitas dan pluratitas bangsa Indonesia, sekaligus menjadi pemandu atau dalam bahasa Soekarno Leitsar kemana bangsa ini akan dibawa. Sampai di sini ada keyakinan penuh dalam bentuk pengakuan kekultusan terhadap Pancasila.
Namun dalam pengakuan atau pengkultusan tersebut tepatnya harus dibarengi kesadaran bahwa Pancasila itu bukanlah sesuatu yang sempurna. Pancasila sebagai hasil pergulatan pemikiran manusia juga memiliki kekurangan dan kelemahan yang mendasar. Kekurangan ini bisa dilihat dari dua arah, yakni dari segi substansi (muatan) dan dari segi eksistensinya dalam konteks kenegaraan kita.
Dari segi substansi, Pancasila bukanlah kitab suci yang mengandung kebenaran universal. Memang harus diakui bahwa Pancasila memiliki nilai,sila atau dasar yang cukup komprehensif dan fundamental bahkan visioner yang telah teruji. Hal inilah yang mendasari Yudi Latif dalam Buku: Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila (2011) dengan yakin menyimpulkan bahwa Indonesia memiliki dan memenuhi syarat menjadi negara paripurna, yakni Pancasila.
Sekalipun demikian secara substansi Pancasila harus tetap dikaji dan dikembangkan untuk memenuhi zaman, namun dengan syarat tidak meninggalkan nilai aslinya. Pancasila harus dikonkretisasi dan diujikan dengan problematika kontemporer, sehingga Pancasila benar-benar menjadi jawaban atas gejolak globalisasi saat ini. Hal ini hanya bisa dilakukan sepanjang posisi Pancasila sebagai ideologi terbuka dioperasionalkan baik dalam kehidupan politik, pendidikan dan sosial-budaya masyarakat.
Hal ini menjadi conditio sine qua non agar keyakinan terhadap Pancasila tidak menempatkan kita sebagai bangsa yang terbelakang dan lemah. Sehingga menjadikan kita mudah terprovokasi menuduh sebangsa sebagai anti Pancasila karena kesempitan dan kelemahan menafsirkan Pancasila itu. Hal ini mengharuskan kita bangsa Indonesia selaku pemilik Pancasila itu sendiri untuk senantiasa membaca dan membaca karya agung bangsa kita tersebut.
Hal ini penting sebab Pancasila rentan untuk ditinggalkan oleh kita hari ini. Kegagapan dan kelemahan kita untuk membaca Pancasila menimbulkan skeptis terhadap Pancasila itu, sehingga beralih kepada ideologi lain yang menawarkan pemuasaan pencarian serba instan. Sebuah fakta yang harus kita akui hari ini seperti ditegaskan Yudi Latif seperti mencari “Kunci di luar sedangkan kunci hilang di dalam rumah. Kenapa dicari di luar karena di dalam gelap”.
Maka pendidikan Pancasila khususnya terhadap generasi muda harus digalakkan dalam institusi-insitusi pendidikan. Pendidikan Pancasila tidak bisa dijadikan sebagai pembelajaran komplementer belaka, tidak boleh dipelajari sambil lalu oleh generasi muda. Namun bukan berarti lewat indoktrinasi ketat melainkan dalam suasana akademik dan ilmiah yang terbuka dan konstruktif.
Fakta hari ini semakin mengharuskan ke arah hal tersebut. Arus teknologi dan informasi lewat gelombang demokrasi sungguh menghadirkan tantangan luar biasa dalam kehidupan kita. Mengurusi media sosial misalnya kita nyaris kelabakan dengan masifnya ujaran kebencian dan berita hoaks-hoaks. Hasil penelitian Badan Intelijen Negara merilis bahwa 60% konten media sosial adalah informasi hoaks. Sederhanya hal ini disebabkan nilai-nilai Pancasila belum hidup dan diterima secara parsial belaka.
Dari segi eksistensi sesungguhnya Pancasila menyimpan kerentanan yang amat dalam. Jika merunut eksistensi Pancasila, maka kita mesti melihat bagaimana formulasi atau perumusan Pancasila itu sendiri. Jika kita mau berbicara secara jujur, kehadiran Pancasila tidaklah berdasarkan penerimaan penuh oleh para pendiri bangsa. Justru Pancasila dilahirkan lewat perdebatan-perdebatan panjang yang keputusannya harus melalui “paksaan” keputusan politik.
Pancasila sedari awal yakni sejak dari sidang BPUPKI menimbulkan perselisihan khususnya terhadap sila Pertama Pancasila. Namun karena tidak berujung dengan penerimaan mufakat, PPKI 18 Agustus 1945 akhirnya mengganti sila pertama tersebut diikuti dengan perubahan beberapa pasal dalam tubuh UUD 1945. Ada sedikit pergolakan dan taktik dalam sidang tersebut. Namun masalah tersebut kembali mengemuka dalam sidang-sidang Majelis Konstituante yang dibentuk untuk merumuskan dan menyusun UUD baru. Akibat perdebatan yang tidak berbeda jauh dengan BPUPKI, yakni mengenai dasar negara, Soekarno terpaksa mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 yang isinya membubarkan Majelis Konstituante, Mengembalikan dasar negara kepada UUD 1945, membentuk MPR dan DPA Sementara (Maarif, 2006).
Hal ini harus kita pahami bersama bahwa Pancasila menyimpan sejarah yang belum tuntas hingga hari ini. Menurut Syafii Maarif (2006:154) “suatu tafsir yang mendalam dan tuntas tentang Pancasila belum dilakukan, sekalipun sebagai dasar negara, maka UUD 1945 adalah tafsirannya. Dengan demikian Pancasila masih terbuka bagi bermacam-macam tafsiran filosofis”.
Maka sudah menjadi kewajiban kita menuntaskan tugas sejarah tersebut. Tuntas dalam hal ini harus dimaknai secara substansi, yakni dengan menghidupkan, menafsirkan dan membuka terhadap kajian terbaru tanpa meninggalkan nilai aslinya dan tuntas dalam arti sepenuhnya diterima dan diamini serta dipegang teguh oleh segenap bangsa Indonesia.
Penutup
Betapa rentannya Pancasila untuk kemudian ditinggalkan atau bukan tidak mungkin akan dipertanyakan kembali oleh kalangan yang sebelumnya menyimpan keraguan terhadap Pancasila itu sendiri. Tidak ada cara lain selain Pancasila itu harus benar-benar dihidupkan dan diteguhkan kembali demi eksistensi Indonesia memandang terhadap internal maupun terhadap cobaan secara eksternal.
Upaya untuk menghadapi dan mengantisipasi kerentanan tersebut, upaya penguatan mesti dilakukan atau istilah kekinian upaya radikalisasi Pancasila seperti diketengahkan oleh Kuntowijoyo. Langkah-langkah upaya dalam radikalisasi tersebut menurut Yudi Latif (2011:48) adalah : mengembalikan Pancasila sebagai ideologi, mengembangkannya sebagai ilmu, mengupayakan konsistensi dengan perundangan, koherensi antarsila, koresponden dengan realitas sosial, beroperasi secara vertikal dan horizontal dan sebagai sumber kritik negara.
Tentu kewajiban yang berat dan sulit untuk kita sebagai generasi penerus bangsa. Tapi, kita tidak bisa menghindar begitu saja. Semua orang memiliki tugas dan kewajiban yang sama. Dimulai dari lingkungan dan peran lebih kecil niscaya akan membesar.
Kamu harus menjadi apa yang ingin kamu lihat di dunia, pesan Mahatma Gandhi. Hanya ada satu tanah air yang bernama Tanah Airku. Ia makmur karena usaha dan usaha itu adalah usahaku, pesan Mohammad Hatta. ***
Penulis mahasiswa Pascasarjana Pendidikan Pancasila Kewarganegaraan (PPKn) Universitas Negeri Yogyakarta, Awardee LPDP 2017& penulis Buku Narasi Dalam Nalar Demokrasi (2018).