Setop Rasisme pada Papua!

setop-rasisme-pada-papua

Oleh: Jonathan Manullang. Kegiatan demo tahunan Aliansi Ma­hasis­wa Papua de­ngan Front Rakyat In­do­nesia untuk West Pa­pua terkait New York Agreement 1962 pada 15 Agustus silam berujung rusuh di Malang. Peris­tiwa tersebut seakan men­­jadi katalisator bagi rententan keja­dian lain. Keesokan hari­nya, ber­mula dari kabar perusakan tiang penyangga ben­dera merah putih di ling­kungan asrama mahasiswa Papua, Ja­lan Kalasan, Surabaya, sedikitnya 43 ma­hasiswa asal Papua mengalami tinda­kan persekusi dan teriakan rasis hingga digelandang ke Ma­­pol­restabes Surabaya dan baru dile­pas­­kan menjelang tengah malam tanggal 17 Agustus. Sehari berselang, sebuah span­duk misterius yang memuat kalimat prov­okatif terpa­jang di depan asrama ma­hasiswa Papua di Semarang. Isi span­duk mengklaim warga setempat menolak keberadaan organisasi mahasiswa di area as­rama yang menyerukan wacana di­sintegrasi.

Aksi represif disertai seruan-seruan rasis terhadap mahasiswa asal Papua lantas menjalar ke beberapa daerah lain, seperti Ternate serta Ambon. Tak heran muncul respon balasan berupa pem­ba­karan gedung DPRD Papua Barat hingga perusakan fasilitas umum di Manokwari, invasi massa ke bandara yang meng­akibatkan penerbangan lumpuh dan pembakaran gedung penjara di Sorong, serta long march ratusan warga Jayapura sepanjang 18 km dari Kotaraja menuju kantor gubernur di Dok 2 Jayapura tanggal 19 Agustus kemarin.

Saya sendiri tak asing dengan kasus-ka­sus rasialis yang menyasar warga asal Pa­pua, khususnya mahasiswa yang tengah menuntut ilmu di Pulau Jawa. Awal bulan Juli 2018, salah satu kolega saya bernama Anindya Shabrina menjadi korban pelecehan seksual oleh oknum aparat keamanan ketika ia bersama teman aktivisnya beserta seorang penga­cara publik dari LBH Surabaya be­rini­siatif mendatangi TKP asrama maha­siswa Papua Surabaya yang tengah dikepung ormas tertentu guna berne­go­siasi dengan pihak pengepung dan ke­polisian. Saat itu beragam ujaran ke­ben­cian mengalir deras dari bibir para ok­num yang mengintimidasi segenap peng­huni asrama, tak jauh berbeda dari perilaku oknum-oknum penyerbu pada 16 Agustus lalu.

Anindya lantas diundang Najwa Shi­hab sebagai salah seorang nara­sumber dalam program Mata Najwa guna mema­parkan kronologi peristiwa pelecehan seksual atas dirinya hingga dugaan kriminalisasi pengenaan UU ITE yang muncul tak lama berselang. Dalam episode bertajuk ‘Hukuman Salah Alamat’ yang tayang tanggal 21 November 2018 itu, Anindya bersanding dengan Baiq Nuril, perempuan korban kriminalisasi yang baru-baru ini menerima amnesti dari Presiden Joko Widodo.

Siklus Rasisme

Dalam kurun waktu tiga tahun ter­akhir, kebiasaan diskriminatif terhadap orang Papua di Pulau Jawa menunjukkan eskalasi yang sangat mengkhawatirkan. Tahun 2016, sekelompok mahasiswa Papua di Yogyakarta yang berkumpul da­lam wadah Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Papua Barat berorasi di ruang publik soal rencana bergabungnya United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) ke Melanesia Spearhead Group, organ internasional beri­sikan negara-negara tetangga Papua yang memperjuangkan nasib politik bangsa Melanesia. Aksi damai itu banjir ujaran kebencian bernada rasialis dari oknum-oknum simpatisan ormas tertentu sebe­lum berakhir dengan aksi pengepungan atas asrama mahasiswa Papua di Yogya­karta. Keistimewaan Kota Yogyakarta yang selama ini dekat dengan nilai-nilai pluralitas kontan tercoreng kala itu. Peris­tiwa 6 Juli 2018 serta rentetan ben­trokan di Malang, Surabaya, Sema­rang, dan beberapa kota lain sepanjang medio 15-18 Agustus hanya melanggengkan siklus rasisme tersebut.

Saya mengapresiasi sikap tanggap Kapolri yang bergegas turun ke Surabaya de­mi meninjau situasi, permohonan maaf Bu Khofifah Indar Parawansa selaku Gubernur Jawa Timur dan Bu Tri Rismaharini sebagai Walikota Surabaya terkait ulah segelintir pihak di wilayah mereka yang telah berlaku rasis serta me­nolak bertanggung jawab. Ke depan ada baiknya para pemimpin daerah du­duk bersama segenap pemangku kepen­ti­ngan masyarakat guna meru­mus­kan cara-cara terbaik demi menanamkan nilai kema­nusiaan yang adil dan beradab (tidak menganggap suku Papua lebih ren­dah sehingga boleh dihina sesuka hati) seraya kembali menumbuh­kem­bang­­kan rasa saling percaya berbasis to­leransi, baik dari masyarakat di Pulau Jawa atau daerah lainnya terhadap warga asal Papua maupun sebaliknya dari pen­duduk asli tanah Papua terhadap pen­datang/migran, khususnya asal Pulau Jawa.

Politik Rasialis?

Kita telah menjalani tahun 2019 selama delapan bulan, dan sepanjang itu pula berita-berita mengenai aksi keke­rasan di tanah Papua nyaris tak pernah berhenti mengisi kolom-kolom media cetak/elektronik. Hal ini sungguh ironis mengingat tanggal 21 Desember 2018, pemerintah melalui PT Inalum (Persero) baru saja merayakan momentum ber­sejarah berupa divestasi 51% saham PT Freeport Indonesia.

Merujuk data Tim Kemanusiaan Kabupaten Nduga, Papua, tercatat sedikitnya 182 orang menjadi korban kekerasan pasca operasi keamanan di sana. Diantara ratusan korban me­ninggal tersebut terdapat 14 balita perempuan, 12 balita laki-laki, 17 bayi laki-laki, serta 8 bayi perempuan. Selain itu ada pula 4.276 pengungsi di Distrik Mapenduma, 4.369 orang di Distrik Mugi, 5.056 orang di Distrik Jigi, 5.021 di Distrik Yal, 3.775 orang di Distrik Mbulmu Yalma, 4.238 orang di Distrik Kagayem, 2.982 orang di Distrik Nirkuri, 4.001 orang di Distrik Inikgal, 2.021 orang di Distrik Mbua, serta 1.704 orang di Distrik Dal.

Di sisi lain, per Agustus 2019 seba­nyak 8 prajurit TNI gugur saat menja­lankan tugas di seluruh area Papua, termasuk tiga yang tewas bersamaan dalam rentetan kontak senjata di Kabu­paten Nduga. Jumlah ini meningkat dari tahun 2018 tatkala enam personel TNI serta seorang polisi meregang nyawa.

Pendekatan militeristik yang sering diterapkan dalam menangani berbagai konflik horizontal di tanah Papua sejujurnya tidak membawa hasil meng­gembirakan. Justru benih-benih dendam dan kebencian penduduk kian terasah dari waktu ke waktu, menunggu pemicu yang tepat untuk meledak ke permukaan sebagaimana rangkaian peristiwa be­berapa hari belakangan ini. Di sisi lain kebebasan berserikat, berkumpul, dan berpendapat milik mahasiswa Papua di berbagai tempat pun kerap terberangus tanpa alasan kuat, padahal undang-undang dasar jelas melindungi hak politik mereka. Maka wajar bila muncul tudingan bahwa pemerintah pusat masih mempraktikkan politik rasialis kepada warga asli Papua.

Dalam situasi begini, pendekatan em­patik tentu sangat perlu dike­depan­kan. Kita wajib mengasihi mereka se­perti kita mengasihi diri kita sendiri. Untuk itu kita butuh mengembangkan paradigma kesetaraan, baik sebagai sesama manusia maupun sebagai sesama warga negara. Tidak ada suku/ras yang berstatus lebih rendah sehingga layak menerima perun­dungan/persekusi. Nilai kemanusiaan yang adil dan beradab wajib kembali kita serukan, sebab upaya memanusiakan manusia Papua meru­pakan kunci utama mendobrak lingkaran kebencian yang telah tersemai selama puluhan tahun.

Suatu hari nanti mungkin mereka akan meminta secara resmi untuk menentukan masa depannya sendiri, namun hingga saat itu tiba, anak-anak Papua tetaplah saudara kita sebangsa dan setanah air.***

Anggota Jaringan GUSDURian.

()

Baca Juga

Rekomendasi