Menggali Potensi Kemaritiman yang Terpendam

menggali-potensi-kemaritiman-yang-terpendam

DUA pertiga luas Indonesia berada di sisi laut. Itu berarti Indonesia memiliki potensi kemaritiman yang sangat besar. Sayangnya potensi besar tersebut belum dikelola secara maksimal.

Sejak dilantik sebagai presiden, Joko Widodo bercita-cita mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Ada lima pilar yang dicanangkan pre­siden.

Pertama, membangunan kembali budaya maritim Indonesia. Kedua, berkomitmen menjaga dan mengelola sumber daya laut dengan fokus membangun kedaulatan pangan laut melalui pengembangan industri perikanan dan menempatkan nelayan sebagai pilar utama.

Ketiga, berkomitmen mendorong pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim dengan membangun tol laut, pelabuhan laut, logistik, dan industri perkapalan, serta pariwisata maritim. Keempat, diplomasi maritim yang mengajak semua mitra Indonesia untuk bekerja sama pada bidang kelautan, dan kelima, membangun kekuatan pertahanan maritim.

Keinginan besar tersebut tidak terlepas dari potensi besar yang dimiliki Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Dengan poros maritim dunia, Indonesia menjadi negara maritim yang besar, kuat, dan makmur melalui pengembalian identitas Indonesia sebagai bangsa maritim, pengamanan kepentingan dan keamanan maritim, memberdayakan potensi maritim untuk mewujudkan pemerataan eko­nomi Indonesia.

Belum Maksimal

Upaya menggali potensi kemaritiman masih belum maksimal. Menteri Koordinator Bidang Kemariti­man, ­Luhut Binsar Panjaitan, mengungkapkan kekayaan laut Indonesia sangat besar. Bahkan, potensi maritimnya mencapai triliunan dollar AS dalam se­tahun.

Luhut mengungkapkan, baru sekitar 7 persen potensi laut yang berhasil dimanfaatkan. Padahal, sektor perikanan merupakan salah satu penyumbang pendapatan tertinggi negara, sekaligus penopang ekonomi masyarakat.

Data United Nations Development Programme (UNDP) menunjukkan nilai sumber daya dan jasa laut Indonesia mencapai USD 2,5 triliun per tahun. Sebanyak 25,14 persen dari total penduduk miskin nasional pun menggantungkan hidup dari laut.

Pemanfaatan potensi yang tidak optimal ini juga diungkap peneliti Oseanologi Ekologi Lingkungan LIPI, Puji Rahmadi. “Kekayaan laut Indonesia sekitar Rp1.768 triliun atau sekitar 95 persen dari APBN 2018,” ujarnya.

Puji menghitung jumlah tersebut berdasarkan metode peneliti pendahulunya, sambil merampungkan perhitungan versinya di wilayah Sabang dan Papua. Perhitungan ini mencakup seluruh sektor dari perikanan, pariwisata, terumbu karang, hutan mangrove, dan sebagainya.

Di satu sisi, The State of World Fisheries and Aquaculture (FAO, 2018) menyatakan, Indonesia konsisten sebagai penghasil utama perikanan tangkap dan budi daya dunia yang terus memperkuat produksi di berbagai sektor selama dua dekade terakhir.

Pada 2016, FAO mencatat Indonesia bukan hanya menghasilkan 23,5 juta ton untuk gabungan perikanan tangkap laut dan perairan umum maupun budi daya, tapi juga menyumbang 7,4 persen dari total 81,6 juta ton perikanan tangkap dunia. Bahkan secara global, Indonesia menduduki peringkat kedua setelah Tiongkok dalam menghasilkan 6 juta ton tangkapan laut.

Komoditas utama yang paling banyak menyumbang devisa negara, yaitu udang, termasuk lobster, disusul tuna, cakalang, dan tongkol, pun rumput laut sebagai salah satu komoditas terberat meski nilai jual tak setinggi udang.

Walau potensi kemaritiman belum dikelola secara maksimal, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengungkapkan, potensi sumber daya ikan di Indonesia terus meningkat tahun 1997 dan mencapai 12,5 juta ton pada 2017.

Sekretaris Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim Kemenkomaritim, Dedy Miharja, menjelaskan minimnya pemanfaatan potensi laut lantaran nelayan Indonesia belum didukung teknologi untuk menemukan lokasi keberadaan ikan secara akurat, cepat, dan murah.

Menurutnya, nelayan sulit mendapat sinyal komunikasi di laut dan tak memiliki sarana komunikasi yang tepat. Bahkan, mayoritas nelayan belum melek teknologi.

Keterbatasan teknologi ini, lanjutnya, karena mayoritas nelayan Indonesia berada dalam ambang batas garis kemiskinan. Menyumbang 25 persen angka kemiskinan nasional. Kemiskinan tersebut terutama disebabkan minimnya penghasilan yang didapat.

Kendala nelayan diperburuk akses permodalan dan transaksi penjualan yang masih sulit. “Ikan hasil tangkapan nelayan cepat membusuk dan harga jual ikan di kalangan tengkulak murah,” terangnya.

Penyebab lain, besarnya risiko saat melaut ditambah semakin sulitnya nelayan kecil mendapat ikan di laut. Kesulitan itu akibat maraknya illegal fishing yang mengeksploitasi hasil laut menggunakan kapal lebih besar dan teknologi lebih canggih.

Salah satu upaya memaksimalkan potensi kemaritiman dengan memberantas illegal fishing. Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjias­tuti, me­nyebutkan upaya menghalau pencurian ikan telah berhasil menggenjot produksi ikan di dalam negeri. 

Pemberantasan illegal, unreported, and unregulated (IUU) fishing atau pencurian ikan yang digenjot beberapa tahun belakangan ini, terbukti telah berdampak positif pada stok ikan nasional.  “Berdasarkan hasil kajian Komisi Nasional Pengkajian Stok Ikan (Kajiskan), Maximum Sustainable Yield (MSY) perikanan Indonesia menunjukkan peningkatan yang sangat signifikan,” ucapnya.

Sebagai gambaran, stok ikan nasional pada 2015 sebanyak 7,3 juta ton dan naik menjadi 12,54 juta ton pada 2017 atau meningkat 71,78 persen.

Tren ekspor produk perikanan Indonesia meningkat 45,9 persen, yaitu dari 654,95 ribu ton senilai USD 3,87 miliar setara Rp 53,9 triliun pada 2015 menjadi 955,88 ribu ton senilai USD 5,17 miliar atau Rp 72 triliun pada 2018. (fahrin malau)

()

Baca Juga

Rekomendasi