
Oleh: Islahuddin Panggabean, S.Pd
BARANGSIAPA berhijrah dijalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. Barangsiapa yang keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS An-Nisa : 100)
Terkait ayat di atas, terdapat riwayat dari Ibnu Abbas tentang kisah Damrah bin Jundab yang ikut berhijrah ke Madinah. Sebelum sampai di Madinah, di tengah jalan, ia wafat. Sebagai orang yang telah mendedikasikan hidupnya di jalan kepatuhan pada Tuhan, ia tetap memperoleh pahala dari sisi Allah, atas dasar niatnya tersebut. Dengan demikian, berhijrah bukan sekadar gerakan berpindah dari satu tempat ke tempat lain, tetapi juga niat yang mendasarinya semata-mata sebagai bentuk kepatuhan kepada Allah. Inilah hakikat hijrah yang menurut Rasyid Ridha dalan Al-Manar yakni tindakan mencari keridaan Allah dalam rangka menegakkan kebenaran dan agama, serta menolong kaum Muslim yang ditindas oleh kaum kafir.
Azhari Akmal Tarigan dalam Di Bawah Naungan Al-Quran (2015) mengungkapkan, ayat 100 surah an-Nisa ditinjau dari sisi bahasa terdapat dua kata hijrah yang dirangkai dengan huruf jar yang berbeda. Konsekuensinya, makna yang dikandung juga berbeda. Pertama, kalimat waman yuhajir fi sabilillah. Kedua, kalimat waman yakhruj min baitihi muhajiran ila Allah.
Kata hijrah yang dirangkai dengan huruf "fi" bermakna hijrah dalam arti perubahan yang membutuhkan action, tindakan nyata atau perilaku konkrit. Sedangkan kata hijrah yang kedua dirangkai dengan kata "ila" adalah perubahan internal yang bersifat ruhaniyah.
Hijrah jenis pertama tentu saja membutuhkan pengorbanan, dalam bahasa al-Quran disebut jihad baik dengan jiwa (al-nafs) ataupun harta (al-amwal) sebagaimana dalam QS At-Taubah ayat 20. "Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan."
Sedangkan hijrah dalam pengertian kedua adalah usaha untuk menjadikan hidup kita lebih baik. Dalam konteks hijrah kedua, perjuangan mengacu pada dua bentuk yakni jihad dengan akal dengan puncaknya ijtihad dan jihad melawan hawa nafsu yang disebut dengan mujahadah. Dengan kata lain, hijrah yang harus memiliki dan meningkatkan intelektual serta spiritualitas.
Pada permulaan Islam sendiri, hijrah disyariatkan karena beberapa alasan, yang berkenaan dengan keselamatan diri dan perkembangan agama Islam. Dalam QS 2: 218 setiap orang mengira bahwa di negerinya dilarang menegakkan agama, wajib berhijrah. Begitujuga, bahwa kaum muslimin wajib punya satu negara yang kuat untuk menyebarkan dakwah, menegakkan hukum Islam dan melindungi kaum muslimin.
Dari situ terlihat bahwa perubahan tidak bisa ditunggu dari langit. Umat Islam harus memulai kebangkitan Islam. Dimulai dari diri sendiri. Perubahan yang dilakukan untuk kebaikan umat pastilah Allah akan ridhai dan mudahkan. Dalam sejarah, Nabi dalam peristiwa hijrah Madinah pun melakukan langkah-langkah perubahan. Mulai dari menyatukan visi dengan simbolik merubah nama Yastrib jadi Madinah. Kemudian mempersaudarakan Muhajirin dan Anshar, membangun Masjid serta membuat langkah Politik dengan Piagam Madinah.
Dalam waktu tidak lama, Madinah berubah dari jahiliyah menjadi damai dan sejahtera. Kota Makkah pun akhirnya tak berkutik saat ditaklukkan di program Futuh Makkah. Makna hijrah secara fisik pun, oleh Nabi sendiri dalam sebuah hadis, pada hari Fathu Makkah dianggap selesai. Di sinilah indikasi bahwa hakikat hijrah bukanlah fisik semata. Bahkan dalam hadist Ibnu Hibban dari Abu Dzar tatkala bertanya, "Apakah hijrah yang paling utama?" Maka Nabi menjawab, "Hijrah yang paling utama adalah meninggalkan banyak perbuatan dosa."
Di zaman sekarang, tren anak muda 'hijrah' marak dimulai pada sekitar 2016. Penggunaan kata ‘hijrah’ semakin marak dengan disandingkan lewat sosial media. Kata hijrah semakin menjadi primadona, dipakai di mana-mana.
‘Hijrah’ ala generasi milenial ini tak mengharuskan Anda untuk meninggalkan suatu tempat. Generasi milineal yang berhijrah terlihat dengan perubahan cara berpakaian menjadi lebih syar’i, wanita dengan kerudung panjang dan lebar, bahkan bercadar. Laki-laki cenderung menumbuhkan jenggot.
Konten-konten yang mereka bagi di media sosial berisi ceramah singkat ustaz-ustaz yang terkenal. Konten lainnya berupa kata-kata motivasi untuk memperbaiki diri agar jodohnya dipercepat dan menjauhkan diri dari pacaran. Fenomena tren "hijrah" tentunya harus disambut positif untuk kemudian diperlukan langkah selanjutnya, jangan berhenti di pintu gerbang saja, yakni euforia simbolik belaka.
Distrian Rihlatus Sholihah dalam Trend Berhijrah di Kalangan Milenial (2019), mengungkapkan hijrah di kalangan milenial lebih identik ke perubahan fisik yaitu tata cara berbusana. Oleh karena itu, makna hijrah harus dikembalikan pada asalnya bukan hanya pada aspek eksistensinya saja. Tapi harus mencakup hijrah i'tiqadiyah (keyakinan), fikriyah (pemikiran), syu'uriyah (kesenangan), dan sulukiyah (akhlak).
Ada sebuah sentilan berharga dari ulama NU, Gus Muwafiq, “Taubat ala-ala kiai dan santri menjadi kurang menarik lagi hari ini dikarenakan bungkusnya sesederhana rajin beristighfar dan memperbanyak amal saleh belaka. Ini berbeda dengan fenomena hijrah yang membingkai taubat melalui perayaan-perayaan entertaining, dari pakaian-pakaiannya hingga aktivitas-aktivitas kesehariannya yang diwartakan meriah melalui setidaknya sosial media.”
Oleh karena itu, sentilan di atas wajib dijawab dengan adanya upaya tanpa henti untuk mengawal proses hijrah kaum milenial ini menuju perubahan serta menuju kebangkitan. Sebab sejatinya taubat (istilah lama) atau hijrah (istilah milenial) adalah tahapan awal menuju Allah Swt.
Penutup
Momentum peringatan peristiwa hijrah mengajak kita untuk memahami makna hijrah. Perayaan Tahun Baru Hijriyah dan Tren Gelombang Pemuda hijrah tentu baik sebagai syi'ar yang menjaga spirit keberagamaan kita. Tapi umat tetap tidak boleh abai terhadap rencana jangka panjang. Hijrah harus diikuti dengan jihad baik itu harta, jiwa maupun upaya peningkatan intelektualitas dan spiritualitas. Wallahu'alam.