“Surat Martumba” untuk Gubernur Edy Rahmayadi

surat-martumba-untuk-gubernur-edy-rahmayadi

Oleh: Bersihar Lubis.

Sepulang Presiden Joko Widodo dan rombongan dalam kunjungannya ke kawasan Danau Toba sejak 29 hingga 31 Juli 2019, saya tiba-tiba ingin menulis sehelai surat untuk Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi.

Pak Gubernur. Saya terkenang lirik lagu “Tumba Do” karya Nahum Situmorang, komponis Batak yang termashur itu. Sangat imajinatif dan romantis.

"Aha ma da meam-meam ni da halak kita na tinggal di huta da. Adong do sada meam-meam molo poltak bulan martumba do.”

Kira-kira, maksudnya, “inilah sebuah pengisi masa luang di kampung-kampung. Yakni, tarian “Martumba Do” yang lazim dimainkan ketika bulan bersinar  di langit .malam.

Nahum menulis, “tumba do di pasar malam martumba do. Urdot ni tumba tung asing do tahe. Ingkon marhutur daging i sude. gonting na pe ingkon dauk gale. Doge doge tarsongoni do hape.”

Gerakan martumba memang khas. Harus bergoyang sekujur tubuh, liuk pinggang pun harus lembut gemulai. Aduhai, begitulah kira-kira.

Saya pun terbayang goyangan tarian”Samba” dari Brazil yang termashur itu. Saya riset dari berbagai sumber, karnaval Rio de Janeiro terkenal paling bergengsi di du­nia. Selain karena goyang samba dan kostum-kostum unik, karnaval ini punya sejarah yang panjang.

Karnaval ini sudah berlangsung sejak abad ke-18 ketika bangsa Portugis datang ke Brazil. mereka membawa kebu­dayaan khas Eropa berupa parade yang diperuntukan untuk menghibur kaum bangsawan.

Lalu sejak abad ke 20, pemerintah Brazil mengemas karnaval tersebut sebagai atraksi wisata. Karnaval yang diadakan di sepanjang jalan kota Rio de Janeiro, Brazil, ini bisa menyedot hingga 900.000 turis dalam tiap penye­lenggaraannya.

Syahdan,  ada peningkatan kegiatan ekonomi yang sig­nifikan saat festival diadakan. Hunian hotel meningkat hingga 90% dan festival ini memberikan 250.000 lapangan pekerjaan tambahan. Pada 2012, festival Rio menyum­bangkan pendapatan sebesar 628 juta dollar pada ekonomi Brazil. Juga menciptakan image bagus bagi Rio de Janeiro yang sebelumnya terkenal sebagai kota dengan tingkat kriminalitas tinggi (OSAC, 2012)

Kawasan Sambadrome Marques de Sapucai yang jadi rute parade utama sudah dipadati oleh turis. Dari sekitar pukul 17.00 sampai 23.00 waktu setempat, puluhan sekolah samba menghibur dan memadati Sambadrome Marques de Sapucai sampai ke jalanan.

Mereka tampil dengan kostum yang unik dan beraneka warna. Luar biasa. Satu sekolah samba bisa berisikan sampai 100 orang. Turis dan masyarakat setempat berbaur sambil ikut bergoyang.

Kalau sebelumnya hanya untuk hiburan saja, kemudian diubah jadi suatu kompetisi. Sekolah samba alias sebutan bagi tempat pelatihan tari samba dan budaya Brazil saling diadu agar menjadi yang terbaik. Tiap tahun, karnaval Rio de Janeiro rata-rata kedatangan 1 juta turis.

**

Saya kira jika tarian “Martumba Do” dijadikan menu utama Festival Danau Toba (FDT) pada Desember 2019, akan meriah juga. Saya ingat ketika masih remaja di Sibolga, saya kerap menonton tarian “Martumba” di be­berapa desa di Tapanuli Tengah. Berbeda dengan tortor (tarian) diiringi oleh Gondang Bolon, yang pola geraknya rada kaku dan sudah baku.

Gerakan tubuh dan tatapan mata penari tortor lebih hikmat, sopan santun dan tidak bebas. Maklum, tortor dii­ringi Gondang Bolon adalah cara orang Batak menyapa Tuhan Mulajadi Nabolon. Ada semacam komunikasi vertikal antara bumi dan langit.

Bebeda dengan “Martumba” yang diiringi oleh gondang Uning-uningan adalah sebuah seni pertunjukan  yang estetis dan gerakannya lebih leluasa dan relaks. Bahkan sangat terbuka kemungkinan ditata dengan kreatifitas koreografi. Bahkan, kostum dan tata rias penari lebih bebas. Bisa lebih modern dan milenial

Dengan kata lain, martumba lebih “sekuler.” Tak ada beban spritualis. Bahkan saya kira terbuka kemungkinan dipadukan dengan gerakan musik dangdut , musik reggae atau musik rock, walau rasanya belum pernah dilakukan.

Martumba yang konvensional lebih merupakan perpa­duan antara gerakan tari seraya bernyanyi dengan iringan godang Uning-uningan. Mungkin, tidak ada salahnya jika dikolaborasikan dengan keyboard dan  drum. Atau malah saxophone.

Adapun lagu-lagunya juga bisa dikolaborasikan dengan lagu rap, pop, dangdut dan rock.

Tiba masanya gerak martumba diperkaya dengan ko­reografi modern. Tak lagi sekedar menepuk kedua belah tangan di depan dada sambil salah satu kakinya melompat ke kanan dan kekiri. kemudian menepuk pinggulnya. Apa­lagi ada gerakan  melompat lompat yang mengekspre­sikan kegembiraan.

Tak hanya pada gerak kaki dan tangan, tapi luapan emosi kegembiraan juga terpencar dalam ekspresi dan mimik wajah para penari.

Apalagi jika diwarnai dengan gerak-gerak erotis, tapi tidak vulgar dan murahan, akan semakin memanjakan mata penonton. Namun khusus gerakan yang rada erotis ini harus digarap dengan ekstra hati-hati. Jangan sampai menimbulkan kesan yang tidak senonoh, yang tentu saja beertentangan dengan keluhuran kebudayaan Batak yang menghormati tata kesusilaan.

***

Saya kira jika event “Martumba” menjadi salah satu menu FDTakan merupakan tontonan yang menghibur. Saya terbayang akan dipertunjukkan di pentas-pentas terbuka. Bila perlu juga di beberapa ruas jalan yang lebar.

Kelebihan “Martumba” dia  melibatkan banyak penari. Satu grup bisa melibatkan 100 orang. Misalkan, pesertanya diambil dari kalangan SMA di kawasan Danau Toba , ba­rangkali pesertanya akan ribuan orang. Jika perlu juga diikuti oleh kelompok Naposo-Nauli Bulung – muda-mudi di seantero kawasan Danau Toba yang meliputi tujuh kabupaten.

Agar pertunjukan penuh gelora dan antusiasme, Panitia FDT menyelenggarakannya dalam bentuk Festival Lomba. Kelompok terbaik akan meraih hadiah. Tak hanya berupa trofi dan piagam, tetapi juga sejumlah uang yang lumayan besarnya.

Bisakah Panitia FDT mempersiapkan event ini selama tiga bulan sebelum Desembet 2019 tiba? Sebab, perlu so­sialisasi, selain juga persiapan membentuk gup Mar­tumba di kalangan SMA maupun grup Naposo-Nauli Bulung di kawasan Danau Toba.

Semoga Gubernur Sumut dan tujuh Bupati di kawasan Danau Toba tertarik menangkap gagasan ini. Lalu, bergerak sistimatis, terstruktur dan massif. ***

** Penulis adalah Jurnalis di Medan.

()

Baca Juga

Rekomendasi