Tradisi Cio Ko Harus Dipertahankan

tradisi-cio-ko-harus-dipertahankan

Medan, (Analisa). Menghormati orangtua, leluhur, termasuk para arwah terlantar yang tidak lagi memiliki sanak keluarga di dunia, sudah lama menjadi tradisi masyarakat Tionghoa.

Bentuk penghormatan itu dilakukan melalui sembahyang dan memberikan sesaji (cio ko) berupa makanan, kue, buah-buahan, (replika) uang, pakaian sampai barang-barang kesayangan leluhur saat masih hidup. Dengan ritual pemberian sesaji tersebut diharapkan leluhur dapat menikmati kehidupan lebih tenang dan tentram di alam yang mereka huni setelah kematian.

Saat agama Buddha masuk ke Tiong­kok, tradisi tersebut diadopsi ke da­lam agama Buddha lewat sembah­yang Ulambana.

"Selama 30 hari, sehari 1 jam, umat Buddhis membacakan Kitab Buddha," ujar Karim Kosim, yang bergabung dengan Majelis Buddhayana Sumut. Pada masa itu umat Buddhis juga melakukan derma makanan untuk para bhikku.

Soalnya pada pertengahan bulan ketujuh, di mana sembahyang Ulam­bana diadakan, menandai berakhirnya masa vasa atau masa berdiam dan mela­tih diri (meditasi) para bhiku di vihara. Masa vasa berlangsung selama tiga bulan, yaitu bulan ke lima, keenam dan ketujuh. Pertengahan bulan ketujuh adalah masa berakhirnya masa vasa. Masa dimana para bhiku keluar dari vihara dan mendapat derma makanan dari umat.

Namun ritual cio ko vihara biasanya dilakukan sore hari setelah selesai sem­bahyang Ulambana yang dilakukan, pagi dan siang hari.

"Pada sembahyang Ulambana hanya dibacakan Kitab Buddha dan doa-doa dari bhikku yang intinya menyerahkan para leluhur agar dalam lindungan Buddha," ujar Karim Kosim.

Dipimpin Bhikku Y.M Dharma Virya Mahastavira Sembahyang Ulam­bana dilakukan di Vihara Bodhi Citta, Kompleks Taman Bodhi Asri, Deliser­dang pada Minggu, 4 Agustus, pagi, siang dan sore hari dipimpin Bhikku Y.M Dharma Virya Mahastavira Vihara Buddhaloka, Sibolangit. Sore hari dilakukan ritual cio ko.

Sembahyang diikuti seluruh anggota panti jompo, ratusan umat Buddhis dari Lovely Family Charity Group dan sejumlah pengurus vihara dan Yayasan Bodhi Asri. Terlihat antara lain Bibie Kentjana Salim, Tony Harsono, Solihin Tjandra, Amir Kusno (Abok) dan Alfian Salim.

Menurut Solihin Chandra, ritual cio ko dilakukan agar leluhur mendapat kehi­dupan yang lebih baik di alam mereka.

"Dan jika mereka bereinkarnasi, kita berharap mereka, endapat kehodupan yang lebih baik, tidak masuk panti jompo lagi," ujar Solihin Chandra, Ketua Bidang Agama Vihara Bodhdhi Citta yang diresmikan pada tahun 2012 itu.

Usai melakukan sembahyang, umat lalu beramai-ramai membakar replika uang, pakaian dan berbagai benda kesa­yangan semasa leluhur masih hidup. Ada sebanyak 22 karung replika uang emas dan perak yang dibakar. Terma­suk replika pakaian orang dewasa dan anak-anak.

"Ritual cio ko di sini memsng tidak sebesar seperti di klenteng atau vihara lain, tapi yang penting bisa berlangsung hikmat," ujar Alfian Salim, Sekretaris Yayasan Bodhi Asri.

Sesaji harus terus bertambah

Karim Kosim menambahkan bahwa ritual cio ko bukan hanya ditujukan untuk anggota dan orangtua dari peng­huni panti jompo dan orangtua mereka yang sudah meninggal, jumlah mereka kurang lebih 400 orang, tapi juga para arwah terlantar yang tak lagi memiliki sanak saudara di muka bumi. Mereka juga tidak boleh ditelantarkan.

"Tiap tahun, jumlah sajian yang kita bakar harus terus bertambah, tidak boleh berkurang," katanya. Tinggi asap dari hasil pembakaran replika uang dan pakaian menurutnya juga dipercaya sebagai penanda bahwa para arwah melihat bahwa di vihara tengah ada undangan untuk berbagi makanan, terutama bagi arwah yang terlantar.

Di depan berbagai aneka hidangan ma­kanan, minuman kue, beras, dan buah-buahan yang diletakkan di tangga vihara, dipasang gambar Dewa Tai Shu atau Dewa Hantu yang memegang pe­ran­­an penting ritual cio ko. Dewa Tai Shu dalam ritual cio ko berperan untuk mengawasai agar arwah yang kela­paran itu tidak berbuat sesukanya mem­perebutkan makanan atau sajian yang ada.

Menurut Bibie Kentjana Salim sem­bahyang cio ko sudah diadakan sejak tahun 2010 seiring terbangunnya Panti Jompo Bodhi Asri. Bagi Bibie, tradisi masyarakat Tionghoa itu harus bisa dijaga keberadaannya.

"Cio Ko mengajarkan pentingnya nilai bakti dari yang muda terhadap orang yang lebih tua serta menum­buhkan sikap empati kepada mereka yang papa dan terlantar di alam nyata, bukan hanya di alam arwah," kata Bibie, yang dikenal sebagai aktivis kemanu­siaan itu. (ja)

()

Baca Juga

Rekomendasi