KPK ‘Dikebiri’

kpk-dikebiri

Senangkah orang dengan keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)? Jelas jawabannya ada yang senang, ada yang tidak. Yang senang adalah mereka pengiat anti korupsi. Karena lembaga ini dinilai mampu meminimalisasi pergerakan kasus-kasus korupsi di tanah air. Sementara mereka yang tidak senang adalah mereka yang dulunya tidak pernah ‘tersentuh’ dengan keberadaan komisi ini. Mereka yang tidak senang dengan keberadaan KPK akan berusaha mengkebiri kerja komisi ini, dengan harapan kinerja KPK tidak lagi bertaji. Bahkan ada keinginan agar komisi ini dihapuskan karena dinilai sangat super. Kalau komisi ini dihapuskan atau mi­nimal dikebiri kerjanya maka yang bertepuk tangan tentunya para koruptor yang selama ini dibayang-ba­yangi ‘ketakutan’, mengingat komisi ini sangat in­tens memantau pergerakan korupsi di tanah air.

Bukan hari ini saja, wacana penghapusan maupun pengkebirian KPK terjadi? Paling tidak Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat setidaknya ada sem­bilan manuver yang dilakukan DPR untuk me­lemahkan kerja pemberantasan korupsi. Pertama, Pe­nolakan anggaran KPK, yang terjadi pada 2008, di mana DPR sempat menolak untuk memberikan ang­garan kepada KPK yang ingin membangun gedung baru. Padahal gedung KPK sudah melewati kapasitas ya­ng membuat kerja mereka tidak lagi efektif. Pe­nolakan ini akhirnya mendorong gerakan "Saweran untuk KPK". Kedua, Rapat konsultasi antara DPR, Pol­ri, Kejaksaan, dan KPK pada 2011 sempat meng­hasilkan wacana untuk membubarkan lembaga an­tirasuah ini. Dasarnya adalah pandangan Fahri Hamzah yang menganggap KPK tidak maksimal dalam menangani korupsi.

Upaya ketiga dalam hal pelemahan KPK adalah saat Ketua DPR Marzuki Alie pada 2011 menyatakan KPK sebagai lembaga adhoc atau bersifat sementara. Hal ini dimaknai jika kejaksaan dan kepolisian sudah dinilai efektif, maka KPK tidak perlu ada. Pelemahan KPK yang keempat melalui proses legislasi. Sejumlah partai politik di DPR mengusulkan dan membahas revisi undang-undang KPK sudah dimulai sejak 2011. Sejumlah naskah revisi yang selama ini beredar hampir dipastikan akan mendelegitimasi KPK. Mulai dari aturan KPK berhak menerbitkan SP3, membatasi perekrutan penyidik independen, penyadapan harus melalui izin Dewan Pengawas, sampai membatasi usia KPK hanya 12 tahun.

Kelima, adanya intervensi dalam proses penyidikan dan penuntutan. Pada 2011, Wakil Ketua KPK Moc­ham­mad Jasin mengakui pimpinan lembaga antirasuah kerap mendapatkan intervensi dari anggota DPR saat menangani sejumlah kasus korupsi. Intervensi itu kadang dilancarkan melalui telepon atau rapat dengar pendapat. Keenam, Menyandera pro­ses seleksi calon pimpinan KPK di DPR. DPR per­nah menunda pemilihan satu dari dua nama calon pimpinan KPK hingga pertengahan Januari 2015. Kedua calon itu telah menjalani uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III DPR untuk menggantikan Busyro Muqoddas sebagai wakil Ketua KPK yang berakhir pada 8 Desember 2014. Pada akhir 2015, Ko­misi III DPR juga pernah menolak usulan 8 ko­misioner KPK yang telah dipilih panitia seleksi dengan alasan tak ada satu pun calon dari kejaksaan yang lolos seleksi.

Upaya pelemahan KPK yang ke tujuh adalah: Pengajuan keberatan terhadap proses pencegahan pimpinan DPR. Nama Setya Novanto muncul dalam dakwaan dua tersangka korupsi e-KTP. Ia disebut-sebut turut menikmati aliran dana korupsi. KPK pun menetapkan status cegah pada Setya. Namun, penetapan status ini tidak bisa diterima oleh DPR. Beberapa anggota Dewan sempat berwacana untuk mengirim surat keberatan kepada Presiden Joko Widodo, ke delapan, yaitu pengajuan hak angket. ICW menilai pembentukan panitia hak angket terhadap KPK adalah bola liar yang berujung pada pelemahan bahkan pembubaran KPK. Sebab, sejak awal pembentukan panitia ini didasari atas motif politik, cacat prosedur, bertentangan dengan undang-undang, dan kental nuansa balas dendam. Angket ini dilatarbelakangi penolakan KPK membuka rekaman pemeriksaan Miryam S Haryani, saksi korupsi e-KTP, yang mengatakan diancam oleh anggota DPR agar tidak mengatakan yang sebenarnya.

Dan sekarang yang ke sembilan muncul revisi UU KPK yang mencoba membatasi ruang gerak KPK. Ji­ka ditanya, maka para anggota dewan pasti akan me­ngatakan bahwa pada dasarnya mereka tidak ingin KPK dilemahkan, bahkan perlu diperkuat de­ngan payung hukum yang ada. Karena itulah revisi UU KPK dibuat untuk memberikan legitimasi yang kuat terhadap kinerja KPK. Lalu pertanyaannya, be­narkah? Mari kita bertanya kepada rumput yang bergoyang.

()

Baca Juga

Rekomendasi