Menangislah, Sebelum Dilarang

menangislah-sebelum-dilarang

SETIAP manusia pasti punya masalah. Ada yang bisa melalui masalah tersebut tetapi banyak juga yang ‘jatuh’ dalam masalahnya, artinya ia tidak mampu mengambil solusi dari masalahnya tersebut. Ia hanya mampu menjawabnya dengan tangisan. Apakah masalah selesai. Tidak! Masalah tidak akan selesai kalau hanya menangis. Masalah harus dihadapi karena belum tentu jika kita lari dari masalah maka masalah lain tidak akan datang. Boleh jadi masalah yang dihadapi kini menjadi lebih berat dari sebelumnya.

Contoh keseharian yang bisa kita lihat yaitu saat ada yang kehilangan hartanya karena dicuri, lalu ia menangis. Apakah yang dilaku­kannya itu tidak akan menyelesaikan masalah, tentu tidak. Bahkan akan membuat masalah baru, karena hati akan terasa kecewa karena benda yang disayangi, dibeli dengan harga mahal akhirnya hilang dicuri. Kedong­kolan, perasaan tertekan karena mengingat usaha keras untuk men­dapatkan uang untuk membeli barang tersebut dilakukan secara maksimal, namun akhirnya benda tersebut dicuri.

Begitu juga jika ada salah satu anggota keluarga yang meninggal dunia. Perasaan orang yang ditinggalkan pasti akan sedih. Bahkan tidak jarang ada yang meraung-raung. Tapi apakah perasaan sedih dan kelakuan meraung-raung tersebut akan membuat masa­lah terselesaikan. Tidak !

Perasaan sedih akan muncul jika ‘sesuatu’ harapan tidak menjadi kenyataan. Namun bukan berarti kita harus ‘kalah’ dengan pera­saan sedih itu, karena itulah hidup ada yang bisa dicapai dan ada yang tidak.

Lalu tidak bolehkan kita menangis atau sedih? Kalau pertanyaan tersebut ditujukan pada kasus-kasus di atas tentu jawabannya tidak boleh, kalaupun dibolehkan hanya seka­darnya saja, jangan berlebihan. Namun dalam konteks tulisan ini, saya memang menyarankan kita bersama untuk menangis ‘dihadapan’ Allah Swt.

Banyak orang yang selama hidupnya sering menangis, tetapi bukan karena menangis karena Allah, mereka menangis karena merasa Allah tidak adil, atau mereka menangis karena tidak mempunyai harta, atau menangis karena harga diri mereka diinjak-injak.

Hanya segelintir orang yang menangis karena Allah. Padahal Rasulullah bersabda, “Api neraka tidak akan menyentuh seseorang yang menangis karena takut Allah”.

Menangis dan mengeluarkan air mata bukanlah tidak baik, bahkan dalam beberapa riwayat dijelaskan bahwa banyak para ahli surga yang menangis karena Allah.

Rasulullah bersabda, “Ada dua bola mata (manusia) yang tidak akan tersentuh api neraka, yaitu mata yang menangis di waktu malam hari karena takut kepada Allah SWT dan bola mata yang menjaga pasukan (harits) fi sabilillah di malam hari.”

Jadi memang, persoalan menangis bukan hanya membicarakan tataran duniawi saja tetapi juga bisa menjadi lebih ‘sehat’ bila dilakukan untuk mencari keridhoan Allah.

“Hai orang-orang yang beriman, peliha­ralah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintah­kan. Hai orang-orang kafir, janganlah kamu mengemukakan uzur pada hari ini. Sesungguh­nya kamu hanya diberi balasan menurut apa yang kamu kerjakan.Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-muda­han Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghina­kan Nabi dan orang-orang yang beriman bersama dengan dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: "Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu".(QS At Tahrrim :6-8)

Sebagai orang yang beriman kita disuruh untuk memelihara diri kita sendiri dan keluarga dari api neraka. Ini sebuah peringatan dari Allah, bahwa ada yang namanya reward (hadiah) yang kita sebut surga dan ada namanya funisment (hukuman) yang kita sebut neraka. Siapa yang tidak menangis, jika ajal sudah sampai sementara amalan tidak ada. Atau boleh jadi kita beramal, tetapi siapa yang bisa melegitimasi bahwa amalan-amalan yang kita kerjakan diterima Allah seluruhnya. Tidak ada yang bisa menjamin itu.

Suatu saat Dzul Qarnain melewati sebuah kaum yang tidak mempunyai kekayaan duniawi sedikitpun. Mereka menggali kubur di depan rumah mereka. Setiap hari mereka mengun­jungi dan mem­bersihkan­nya. Mereka senantiasi beribadah kepada Allah dan makanan mereka hanyalah rerumputan dan hasil dari tanaman mereka.

Suatu kali, Dzul Qarnai mengirim seorang utusan, untuk menemui raja kaum tersebut.”Apa urusanku dengan Dzul Qarnain.” Itulah jawaban yang dilontarkan oleh raja kaum tersebut.

Mendengar hal tersebut, akhirnya Dzul Qarnain sendirilah yang mengunjungi rasa itu.

“Bagaimana keadaanmu ? Aku lihat engkau tidak memiliki sedikitpun emas ataupun perak dan juga tidak sedikitpun kenikmatan-kenikmatan dunia yang kamu punya.”

Raja tersebut berkata, “Kenikmatan dunia tidak akan dapat memuaskan siapapun.”

“Lalu mengapa kalian menggali kubur di depan pintu rumah ?” tanya Dzul Qarnain.

“Agar kami selalu mengingat kematian se­panjang kami memandang, sehingga hilanglah rasa cinta kami kepada dunia, tidak disibukkan dengan urusan dunia sehingga mengabaikan ibadah kepada Rabb kami.”

“Dan mengapa kalian memakan rumput ?”

“Kami tidak menginginkan perut kami menjadi kuburan binatang kelezatan makanan tidak sampai di tenggorokan.”

Kemudian sang raja mengelurakan seong­gok tengkorak manusia dan meletakkannya di atas ke dua tangannya,”Wahai Dzul Qurnain, tahukah engkau milik siapa tengkorak ini ? Inilah milik seorang raja diraja. Namun ia menzhalimi rakyatnya. Ia menghabiskan waktunya untuk mengumpulkan barang-barang yang tak bermanfaat. Maka Allah mencabut nyawanya dan memasukkannya ke dalam neraka.”

Kemudian ia mengambil lagi seonggok tengkorak yang lain, lalu berkata, “Tengkorak ini adalah milik seorang raja yang adil, mengasihi rakyatnya dan mencintai pada penduduk yang tinggal di negaranya. Maka Allah mencabut nyawanya dan ditempatkan di surga. Tahukah engkau termasuk kepala manakah kepalamu di antara dua kepala ini.”

Mendengar hal itu, Dzul Qarnain yang merupakan raja diraja itu menangis tersengguk-sengguk, karena ia begitu memahami makna dari kisah yang diceritakan raja tersebut.

Tangisannya merupakan tangisan yang tulus, tangisan yang memang memahami bahwa hidup bukan untuk selama. Hidup adalah sementara, maka mengapa kita harus sering tertawa, sementara nasib setelah kita wafat tidak kita ketahui. Oleh karena itu mari perbanyak tangisan karena takut kepada Allah, dan semoga tangisan itu membawa kita kepada keridhoaan Allah.

()

Baca Juga

Rekomendasi