Oleh: Hidayat Banjar
SAAT yang lalu tepatnya 6 Juli 2019, Kementerian Agama RI melepasakan dhuyurr furahman (tamu-tamu Allah Swt). Untuk menunaikan ibadah haji ke Baitullauh, menyempurnakan rukun Islam.
Pelajaran apa dapat kita petik dari peristiwa haji? Sejatinya, banyak hal dapat dipetik lewat simbol-simbol yang ditampilkan peristiwa akbar ini. Dr Ali Sariyati dalam bukunya Makna Haji (Cetakan Kedua, 2002) mengemukakan, pertama-tama sebaiknya kita bertanya tentang apa arti haji. Pada hakikatnya, ibadah haji adalah evolusi manusia menuju Allah. Ibadah haji merupakan sebuah demonstrasi simbolis dari falsafah penciptaan Adam.
Gambaran selanjutnya, pelaksanaan ibadah haji dapat dikatakan sebagai suatu pertunjukkan banyak hal secara serempak. Ibadah haji adalah sebuah pertunjukkan tentang ‘penciptaan’, ‘sejarah’, ‘keesaan’, ‘ideologi Islam’, dan ‘ummah’.
Pertunjukan dimaksud meliputi beberpa kondisi. Allah (Tuhan) adalah sutradaranya. Tema yang dibawakan adalah perbuatan orang-orang yang terlibat, dan para tokoh utamanya meliputi Adam, Ibrahim, Hajar, dan setan. Lokasi pertunjukkanya adalah Masjid al-Haram, daerah Haram, Mas’a, Arafah, Masy’ar dan Mina. Simbol-simbol yang penting adalah Ka’bah, Shafa, Marwah, siang, malam, matahari terbit, matahri tenggelam, berhala dan upacara kurban. Pakaian dan make-up-nya adalah ihram, Halgh dan Tagshir. Yang terakhir, aktor dan peran-peran dalam ‘pertunjukkan’ ini adalah hanya seorang, yakni diri sendiri.
Pertujukkan dengan simbol-simbol penuh misteri itu dilokoni jutaan – sedikitnya tiga juta – kaum muslimin yang berada di kota suci Mekah pada tanggal 9 Dzulhijjah 1440 Hijriah atau bertepatan dengan 11 Agustua 2019. Himpunan manusia sebanyak itu tumpah ruah di atas “permadani” Arafah yang luasnya nyaris sejauh mata memandang.
Jutaan manusia itu bergerak, beringsut, berpindah dari tempat satu ke tempat lain, yang telah ditentukan secara syariat. Mereka bergerak serempak penuh dinamis dalam rukun dan wajib haji, yang kesemuanya serba simbolik penuh misteri dan makna keilahian. Mereka tak ubahnya pemain-pemain drama yang sedang melaksanakan peran sesuai skenario yang ditulis oleh Sang Sutradara Agung.
Salah satu ensensi dari ibadah kolosal ini adalah, Allah hendak mempertontonkan sebuah “drama egalitarianisme” dalam Islam. Dengan ibadah haji orang boleh datang dengan seribu satu perbedaan: baik status, ras, fasilitas, dan pangkat maupun kedudukan yang berbeda, tetapi begitu rukun haji pertama, ihram dimulai, tiada lagi perbedaan di anatara mereka. Dimensi persamaan yang berimplikasi persatuan ini, ditunjukkan secara eksoteris pada pakaian ihram yang seragam putih-putih tanpa dijahit itu. Tiada lagi perbedaan di antara mereka. Semua adalah sama. Semua adalah satu dan satu adalah semua.
Semangat Persatuan
Dalam suasana yang penuh semangat persatuan, persamaanm, dan persaudaraan itu, kondisi kontak antarjemaah sangat dimungkinkan. Fazlurrahman dalam magnum opus-nya, Islam (1984: 42) mengatakan, lembaga haji telah menjadi sarana yang sangat ampuh untuk menunjukkan persaudaraan (persatuan) Islam dan menyebarkan semangat Pan-Islam di kalangan kaum muslimin dari berbagai ras dan latar belakang budaya. Lebih dari itu, sebagaimana yang ditegaskan oleh Prof Hasbi Ash-shiddieqy dalam bukunya Al-Islam (jilid 2) haji adalah “kongres dunia”.
Dalam “kongres dunia” tersebut mereka mestinya saling mengenal, menyampaikan pandangan, mengadakan perundingan, dan mengambil keputusan-keputusan penting untuk menghadapi ketamakan penjajah dan imperialisme global. Kata Prof Hasby, di sanalah mereka mengadakan perjanjinan untuk saling menolong dalam suatu kerja sama, dalam usaha menyelesaikan berbagai macam persoalan yang dihadapinya. Dengan demikian, persaudaraan Islam akan benar-benar mewujud (manifest) dan bukan hanya sekadar slogan kosong tanpa pernah menjadi kenyataan.
Haji semacam inilah yang dulunya sangat ditakuti penjajah Belanda di Indonesia dan juga imperialisme Barat lainnya di hampir seluruh Dunia Islam. Maka tidak mengherankan manakala pemerintah kolonial Belanda, seperti yang ditulis Harry J Benda dalam The Crescent and the Rising Sun (1958), membatasi secara sangat ketat menuju Mekah untuk menunaikan ibadah haji, yang dianggap Belanda sebagai biang keladi meletusnya pemberontakan melawan penjajahan. Mereka yang pulang dari sanalah senantiasa menyebarkan agitasi dan biang keonaran.
Dalam perspektif yang semacam itu, tidak berlebihan manakala dikatakan, bahwa ibadah haji adalah ibadah, pertemuan, dan kongres religio-politik. Betapa benarnya hal ini terutama pada masa-masa sampai sekitar Perang Dunia Kedua. Pada masa sebelum PD-II tantangan dan ancaman politik yang dihadapi Dunia Islam – apa pun arti yang ditunjuk oleh istilah ini – sungguh amat kongkret dan nyata, yaitu penjahan Barat di hampir semua negeri muslim. Imperialisme yang bercokol di negeri-negeri muslim itu sangat jelas. Mereka menjajah dan mengeksploitasi kekayaan tanah jajahan serta menghambat perkembangan Islam dalam segala aspeknya, dan kalau perlu menghancurkannya.
Selanjutnya peristiwa kurban – yang merupakan rangkaian haji – dalam perspektif sosial, sesungguhnya tak sekadar makna esoteris, juga eksoteris. Lewat peritiwa kurban, makna pertama yang didapatkan merupakan kesanggupan umat Islam ‘mengurbankan’ kekayaannya untuk orang lain.
Artinya, jika seorang toke benar-benar menghayati Islam secara holistik, ia tak kan mungkin menggaji karyawannya jauh di bawah standar kebutuhan hidup. Keuntungan yang didapat, seyogianya sebahagiannya ‘dikurbankan’ untuk kesejahteraan karyawan (ummat). Karenanya, seiring kemajuan perusahaan, kesejahteraan karyawan (ummat) pun meningkat pula.
Makna kurban yang berikutnya, adalah kesanggupan umat Islam membunuh unsur kebinatangan yang ada di dalam dirinya. Ketika leher Nabi Ismail disembelih oleh Nabi Ibrahim, atas kuasa Allah, diubah jadi kibas (kambing). Simbol menyembelih kambing dalam peristiwa ritual kurban ini, dimaksudkan Allah agar kita (manusia) sanggup ‘membunuh’ unsur kebinatangan yang ada dalam diri.
Jadilah manusia sebenar manusia, bukan binatang. Kalau kita dapat peran pelaku ekonomi, janganlah terjebak berperilaku sebagai binatang ekonomi. Kalau kita dapat peran politikus, janganlah sampai terjebak sebagai binatang politik. Begitu pula peran-peran yang lain. Jadilah manusia yang paripurna, demikian Allah berpesan lewat simbol-simbol itu.
Hanya Ibadah
Demikianlah, setelah PD-II usai, banyak negeri muslim berhasil merebut kemerdekaannya. Bersamaan dengan itu pula muncullah paham nasionalisme di negara-negara baru tersebut. Konsep “umat” yaitu jalinan masyarakat dengan prinsip-prinsip solidaritas internal (sebagaimana yang disimbolkan peristiwa kurban), menjadi semakin tersisih dan sulit untuk diterapkan di Dunia Islam. Kepentingan nasional (bahkan pribadi) masing-masing menjadi sangat berbeda dan beragam. Tantangan yang dihadapi tidak seperti dulu lagi, kini kian tidak jelas sosoknya. Dulu tantangan Dunia Islam sama, yaitu mengusir penjajah.
Malah lebih dari itu, apa yang disebut dengan “Dunia Islam” sejak PD II secara aktual tidak pernah ada, baik secara politik, ekonomi, sosial maupun kebudayaan. Fazlurrahman bahkan mengatakan bahwa dalam kenyataan sejauh menyangkut realitas aktual sekarang ini. “Dunia Islam” belum pernah demikian tidak ada seperti sekarang ini, di mana yang ada hanyalah bangsa-bangsa dan negara-negara yang berdaulat saja.
Konsep haji (berikut kurbannya) sebagai pertemuan religio-politik dan sosial kini sudah bergeser. Haji kini dilihat sebagai suatu pertemuan akbar yang sifatnya ibadah semata-mata, yang harus dipisahkan dari tujuan-tujuan dan kepentingan politik dan sosial. Haji hanyalah sebuah ritus yang terlalu suci untuk dicampuradukkan dengan politik, yang katanya kotor itu. Maka yang penting dalam menunaikan ibadah haji adalah “beribadah” membersihkan jiwa, dan mendekatkan diri kepada-Nya. mencampuradukkan urusan ibadah dengan politik dan sosial bukan hanya tidak benar, melainkan juga berbahaya, paling tidak akan mengurangi kekhusukkan dan suasana kesyahduan yang kontemplatif.
Beginilah kira-kira pendirian dan paham mayoritas negeri-negeri Islam dewasa ini, baik resmi pemerintahnya maupun para ulamanya. Pengurus Arab Saudi sendiri, yang mengklaim dua kota suci Mekah dan Madinah sebagai wilayah politik dan teritorialnya, jelas tidak akan mentolerir berbagai bentuk kegiatan poltik dan sosial yang bisa mengganggu stabilitas nasionalnya. Untuk itu maka bisa dipahami, apabila Pemerintah Arab Saudi yang kaya minyak dan moderat itu dengan legitimasi dan justifikasi dari para ulamnya – memelopori paham, bahwa haji adalah semata-mata ibadah. Tidak ada “kongres-kongres”-an segala macam di sana, termasuk kongres agama (Islam), apalagi kongres politik.
Dalam perspektif ini, klaim bahwa ibadah haji merupakan kongres religio-politik sudah sangat rapuh adanya. Pendapat sementara pihak, bahwa haji merupakan muktamar abadi Pan-Islamisme hanya benar pada masa-masa sebelum PD-II. Kondisi dan situasi politik masing-masing negera asal jemaah jelas tidak akan memberikan iklim untuk terlaksananya idealitas itu. Para jemaah haji tidak banyak lagi yang berpikir dalam kerangka politik maupun sosial. Mereka pergi dengan niat ikhlas keagamaan, meningkatkan kesalihan, dan aspek-aspek lain yang sifatnya spritual serta esoteris. Wallahu Alam Bissawab. ***
Peminat Masalah Sosial dan Budaya dan Agama Bermukim di Medan