Anugerah Sastra untuk Tsi Taura

anugerah-sastra-untuk-tsi-taura

Oleh: Ris Pasha

Balai Bahasa Sumatera Uta­ra (BBSU) menyerahkan anu­gerah sastra untuk kesekian kalinya. Tahun ini, tepatnya 29 Agustus, ada tiga nomine, Idris Siregar, Koko H Lubis, dan Tsi Taura.

BBSU beserta tim penilainya, menya­ta­kan anu­gerah sastra itu diberikan kepada Tsi Taura. Ten­tu dengan berbagai penelitian dan pertimbangan yang matang. Ke­putusan yang diberikan, tentu sa­ja tak boleh diganggu gugat, ka­rena itu adalah hak mutlak me­reka.

Siapa sebenarnya Tsi Taura? Memang banyak yang tak me­ngetahui debutnya selama ini, karena dia sempat pontang-pan­ting melaksanakan tugas­nya selaku abdi hukum.

Tsi Taura adalah nama pena yang sudah dikenal sejak dia ma­sih remaja. Nama Lengkapnya, Dr. Tengku Suhaimi Idris, SH, M.Hum. Lahir di Medan 5 Mei 1960, anak kedua dari sem­bilan bersau­dara. Ayahnya ber­na­ma Mohamad Idris (alm) dan ibu­nya, Sjafiah binti Sjahbud­din (alm).

Saya bertemu dengannya, ke­tika masih remaja berusia 16-17 tahun, dia sudah me­nulis cerpen dan puisi. Dia me­mulai menulis di Minguan Do­brak sejak 1978. Juga me­nulis di Harian Sinar Pemba­ngunan, di BSF. Ruang sas­tra di BSF ketika itu diasuh Shafwan Hadi Umry. Masih dicetak letter press, belum offset. Setelah ma­­­­­lang melin­tang di sana, dia me­­­­nulis ke Ma­jalah Dunia Wa­nita Medan.

Dari sana pula dia merambah tulisan­nya ke ruang remaja Ha­rian Analisa, sejenak. Dia kem­bali ke Dobrak dan Sinar Pem­bangunan.

Saya sempat memperkenal­kan­nya bertemu dengan penga­suh rubrik Remaja Harian Ana­lisa, Dhalika Tadaus (almar­hum). Dhalika memberi­nya dorongan, agar terus menulis pada media apa saja yang ada di tanah air.

Pada 1981, Tsi Taura men­da­pat peng­har­gaan dari Dewan Kesenian Medan (DKM), sebagai penu­lis kreatif. DKM ketika itu dipimpin Ke­tua AS Rangkuti dan Sekretaris Suba­nin­­diyo Hadiluwih. DKM wilayahnya adalah Su­­matera Utara, karena ketika itu belum ada dewan kesenian di daerah.

Keputusan DKM ketika itu, memang penghargaan diserah­kan kepada para remaja. Yudhi Harsoyo, selaku ketua Him­pu­n­an Penulis Muda (HPM), ikut sumbang saran pada DKM, agar meng­utama­kan orang muda. Ga­yung pun bersambut dan pilihan jatuh pada Tengku Su­haimi Idris.

Tsi Taura adalah singkatan dari Tengku Suhaimi Idris yang berbintang Taurus. Nama Tsi Taura pun terus dia pakai sebagai nama pena. Nama itu pun mulai dikenal. Ia seangkatan dengan Foeza March Esha yang kini le­bih dikenal dengan nama aslinya Foeza Hutabarat, Kuntara DM, Ikhwan AR yang kini dikenal de­­­ngan nama Ikhwan Azhary, ju­ga Bahman Signal. Dengan Bahman Signal hanya sejenak ka­tanya, namun dia juga akrab de­ngan Karahayon Suminar (Yon Suminar).

Tiba-tiba setelah Tsi Taura me­nyelesaikan studinya di Fa­kultas Hukum UISU, dia meng­hi­lang. Ada beberapa temannya mengatakan diterima menjadi jaksa. Sejak itu, kami tak pernah ketemu. Aku yakin, nasihat Dhalika Tadaus dan na­si­hatku, akan dipegangnya, “Jangan pernah ber­henti menulis.”

Sekian tahun berpisah, aku me­­lihat­nya berkeliaran di Penga­dilan Negeri Medan. Dia salah se­orang yang ikut bertangung­jawab atas penuntutan Ah­mad Suraji yang dikenal sebagai Du­kun AS – seorang jagal untuk 48 pe­rempuan di Kecamatan Sung­gal, Deli­ser­dang yang dimakamkan di kebuh tebu PTPN2 –pada 1997, requisitiaor-nya, mati.

Kepu­tu­san hakim sejalan dengan requisitoar jaksa. Hanya ketemu seben­tar dan tak sempat bicara, karena dilanda kesibukan. Ke­mudian Tsi Taura menghi­lang lagi. Belakangan baru dapat ka­bar kalau dia sudah malang me­lintang ke mana-mana, kemu­dian singgah sebagai Kepala Kejak­saan Tinggi Jambi.

Di Jambi, ia benar-be­nar mengikuti nasihat yang pernah dia terima. Dia me­nulis cerpen dan puisi pada media lokal. Sulit dideteksi, karena dia memakai beberapa nama pena, di setiap daerah tempatnya sing­gah bertugas.

Tan Bima, Tan Husein, Gib­ran Idris, Tsi Taura, dan Zahra So­fi. Tentu muncul pertanyaan, kenapa dia harus memakai nama pena silih berganti? Aku dapat mengerti kemudian. Seorang jak­sa, seorang intel yang tak ha­rus dikenal publik. Mengkritik  me­lalui cerpen, tak mudah bagi­nya. Dia masih terikat pada pe­kerjaannya sebagai abdi negara, abdi hukum.

Begitu juga ketika pindah menjadi Kepala Kejaksaaan Tinggi Bengkulu, dia terus me­­­nulis dan menulis di media lo­kal. Memang dia tak pernah me­ngambil honornya dari menu­lis. Selalu dia kasi kuasa kepada orang lain untuk mengam­bil honornya. Sampai dia pindah dari Jambi dan dari Bengkulu, pe­ngasuh ruang sastra tak me­nge­nalnya.

Demikian juga, ketika dia men­jadi Kepala Kejaksaan Ting­gi Palembang. Dia menu­lis di koran lokal, termasuk Sriwijaya Pos. Juga ho­nornya tak pernah diambil.

Ketika itu, teman saya, Bob Hutabarat (almarhum) jadi pem­pinan redaksinya. Dalam curiculum vitae dia menulis ber­asal dari Medan dan menulis di Dobrak, Sinar Pembangunan, dan berbagai koran lainnya, bah­kan di Analisa, Bob Hu­tabarat menghubungiku.

Dia memakai nama Tsi Taura. Dari sanalah aku mengetahui Tsi Taura sudah berada di Palem­bang. Beberapa teman di Kejak­saan Tinggi Sumut kutanya, ter­nyata dia sudah jadi Kepala Ke­jaksaan Tinggi  Palembang.

Kukatakan pada Bob Hutaba­rat, benar dia anak Medan se­orang penulis yang pernah men­dapat penghargaan dari DKM sebagai penulis kreatif.

Tak lama, dia pun dipindahtu­gas­kan. Dia bersama Tito Kar­navian (kini Kapolri) di Badan Nasional Pe­nanggu­lang­an Teroris (BNPT). Di sini, saya kehilangan jejaknya. Sebe­nar­nya sejak dia lulus jadi sarjana hukum, saya sudah kehilangan je­jak dan susah bertemu. Saya te­tap yakin, dia takkan pernah ber­henti menulis cerpen dan pui­si.

Dua tahun lalu, Ikhwan Az­hary mengejutkanku. Katanya dia telah menemukan si anak hi­lang. Siapa? Aku bertanya pada Ikhwan. “Nanti tahu sendiri,” begitu Ikhwan menjawab.

Keesokan harinya, Ikhwan mengutus mahasiswinya mene­muiku dan memba­wa­kan se­gumpal kertas, berisikan puisi-puisi. Sebelum membaca nama­nya, aku langsung dapat mener­ka, ini adalah Tengku Suhaimi Id­ris alias Tsi Taura. Kubalik-balik gumpalan kertas itu. Benar.

Ikhwan Azhari pun menele­ponku. Katanya, “Mana tahu ada puisi itu bisa dimuat.” Kujawab, “Kubaca dan kupela­jari dulu.” Se­telah 6 bulan, tiga puisi dari se­gumpal puisi yang memang ba­gus, dimuat. Ikhwan Azhari pun kembali menelepon.

“Kau muat juga akhirnya,” ka­tanya. Ada beberapa yang me­mang pantas untuk dimuat, ja­wabku. Ikhwan tahu, urusan muat atau tidak, saya tak bisa diinter­vensi siapa pun.

Sebulan kemudian saya ber­temu dengan Tsi Taura yang me­ngundangku via telepon. Ka­mi bertemu di Restoran Tiptop. Ma­kan nasi goreng dan masing-ma­sing segelas kopi hitam. tak lama, hanya setengah jam, kudesak dia agar memerlihatkan tulisan-tulisannya sela­ma menghilang. Dia hanya terse­nyum dan kami pun berpisah.

Sebulan kemudian dia menele­ponku lagi untuk bertemu di tempat sama. Saya menolak. Kalau mau ketemu datanglah, kusebut­kan sebuah tempat kaki lima untuk tempat bertemu. Dua puluh me­nit kemudian saya ditelepon dan dia sudah menungu di warung kaki lima itu. Benar dia menung­gu dan memesan dua gelas kopi dan dua piring mi aceh goreng.

Kutuntut tulisannya selama menghi­lang. Semua bun­delan arsipnya dia bawa. Banyak sekali. Banyak yang su­dah ter­makan rayap, tapi banyak yang sudah dilaminasi rapi. Dia memang seorang doku­men­tator yang baik.

Tulisan di Jambi, di Maluku Utara (Ternate), di Jawa, di Lam­pung, Bengku­lu, Palem­bang, dan di berbagai daerah la­innya. Bahkan di ruang remaja 10 ta­hun sebelum kami ketemu de­ngan nama Tan Bima. Cerpen­nya yang dimuat, ilustrasinya dibuatkan oleh Wirja Taufan. Saya ter­tawa, karena saya mera­sa keco­longan.

Melihat aktivitasnya dan kon­ti­nuitasnya menulis cerpen dan puisi, walau puisi jauh lebih di­intensifkannya, saya salut.  Sebenarnya dua tahun lalu, dia juga ingin menulis di balik tirai. Tak usah dikenal orang. Saya dan Ikhwan Azhari yang me­maksanya sudah harus terbu­ka.

Kuminta Ikhwan Azhari mem­bawa­nya kepada Porman Wilson yang kebetu­lan membu­ka Komunitas Kata-kata. Komu­­nitas yang setiap bulan menye­leng­­garakan baca puisi di TBSU. Akhir­nya, kami berdua pun baca puisi juga di pentas, bergantian.

Pekan lalu, aku menemui po­lemik tentang BBSU membe­ri­kan anugerah sastra kepada ti­ga orang, salah seorang adalah Tsi Taura. Saya tak mau terlibat. Saya diam saja dalam perbinca­ng­an di FB itu. Hatiku tetap ber­kata, Tsi Taura pantas untuk men­dapatkannya.

“Bang..., Abang datang ke Po­lo­nia Hotel dalam penyerahan Anu­­gerah Sastra BBSU itu,” Tsi Taura mengirim­kan WA padaku. “Lho..., saya kan tak diundang sa­ma sekali. Saya kan orang yang tak diperhitungkan dalam khaza­nah sastra di Sumut,” batinku. Saya ­hubungi Suyadi San dan la­in-lain, memang aku tak diun­dang.

Akhirnya aku datang juga di­am-diam, persis saat anugerah itu akan diserahkan. Kulihat Tsi Taura tersenyum, saat meli­hatku datang. “Doakan aku yang dapat,” katanya melalui WA. Aku tak men­­­ja­wab WA-nya, karena me­nu­­rutku dia memang pantas un­tuk mendapatkan­nya.

()

Baca Juga

Rekomendasi