Festival Kebudayaan menampilkan Sigale-gale diacara 1000 tenda di tepi Danau Toba di Paropo, Dairi. (Analisadaily/Christison Sondang Pane)
Analisadaily.com, Medan – Berwisata kini menjadi salah satu aktivitas yang banyak dilakukan orang-orang, apalagi destinasi-destinasi yang dikunjungi tersebut memiliki segudang keistimewaan, yang tidak tersedia di tempat lain.
Keistimewaan merupakan sesuatu yang penting harus ada di tempat-tempat wisata, karena ini tentu menjadi daya tarik bagi wisatawan untuk berkunjung. Tanpa itu, pariwisata diyakini tidak dapat berkembang atau tidak banyak didatangi turis lokal maupun internasional.
Lena Simanjutak-Mertes, penulis naskah ‘Perempuan di Pinggir Danau’ yang di pentaskan di Opera Batak pada 2013, menceritakan, lokasi pariwisata itu harus memiliki keistimewaan, dan potensi itu harus terus digali.
“Misalnya, potensi wisata Danau Toba harus digali, dan tidak lagi harus bergantung pada hotel-hotel mewah dan sebagai tempat untuk bersenang-senang,” kata Lena dalam diskusi Festival ke Danau Toba yang dilaksanakan Forum Diskusi Terbatas (Forditas) di Aula Badan Arkeologi Sumatera Utara, Jumat (13/3) kemarin.
Karena itu, lanjut Lena, pemangku kepentingan harus membaca kebutuhan wisatawan di dunia. Ia kemudian bercerita saat mengunjungi Oktober Fest di Munchen, Jerman, Kata dia, festival itu festival rakyat, pertemuan-pertemuan rakyat dari seluruh dunia, termasuk dengan mambawa kebudayaannya masing-masing, karya-karyanya, seperti film atau tari-tarian.
“Jad di sana, festival itu terlihat keistimewaannya. Ada jutaan orang setiap tahun berkumpul untuk menikmati festival tersebut,” ucap Lena menyampaikan pengalamannya di hadapan puluhan peserta diskusi, termasuk akademisi yang juga Kepala Pusat Pengkajian Batak Universitas HKBP Nommensen, Manguji Nababan, dan Antropolog Universitas Sumatera Utara, Yance Panggabean.
“Kita harus membaca kebutuhan pariwisata saat ini. Soft tourism, misalnya, tidak lagi bergantung pada hotel-hotel. Sudah saatnya, menampilkan kesederhanaan yang berbasis alam, dekat dengan alam dan dekat dengan penduduk. Dengan kata lain, tempat wisata itu harus menampikan identitasnya, bukan lagi tentang kemewahaan, tapi keistimewaan,” tambah Lena.
Memperkuat apa yang diutarakan Lena, Manguji Nababan mengatakan, bicara soal festival, ini merupakan sebuah kegiatan yang besar dan untuk membautnya berkualitas tentu harus ditangani oleh orang-orang professional.
Tidak hany itu, ia juga menyampaikan, konsep kepariwisataan harus berbasis pemberdayaan masyakarat setempat. Karena menerut dia, itu bisa menjadi daya tarik yang besar, apalagi tidak hanya difokuskan pada satu tempat.
“Pesta itu juga bukan sekedar bicara keuntungan, tapi harus menarget sesuatu yang lebih besar, misalnya menanamkan atau pun menyampaikan nilai-nilai kebudayaan itu kepada para pengunjung dan bukan itu saja, semangat gotong royong masyarakat juga perlu diketahui,” kata Manguji Nababan.
Di samping itu, Yance Panggabean, menjelaskan tentang apa yang sebenarnya dicari para wisatawan, khususnya di Danau Toba. Menurut Yance, yang juga Kepala Ekskavasi Perkampungan Raja Batak, ada tiga hal yang tidak boleh diabaikan dari perhatian jika ingin mengembangkan wisata Danau Toba.
“Wisatawan itu ingin mencari tahun soal bentangan alam, secara fisik yang ada di Danau Toba itu. Misalnya, setelah letusan gunung Toba sehingga membuat bumi ini tertutup dari matahari selama enam tahun. Itu yang harus dikenalkan kepada pengunjung, sehingga mereka mengetahui historis Danau Toba,” kata Yance.
“Kemudian biodiversity atau keanekaragaman hayati. Seperti Andaliman. Jenis tanaman ini hanya ada di Toba dan tidak dimiliki oleh negara lain. Lalu yang terkahir adalah diversity atau keragaman budaya. Jadi yang saya lihat saat ini, konsep pengembangan wisata itu harus dimiliki para pemangku kepentingan, jangan sampai miskin konsep,” tuturnya.
Editor: Christison Sondang Pane