Yoe Kim Lay, Kapitan Tionghoa Pertama di Tarutung - Bagian Kedua

Kuburan Tionghoa Pertama di Tarutung Tanahnya Dibeli dari Raja Frederik Lumbantobing

Kuburan Tionghoa Pertama di Tarutung Tanahnya Dibeli dari Raja Frederik Lumbantobing
Yoe Sim Boen, cucu tertua Kapitan Yoe Kim Lay (Analisadaily/Istimewa)

Analisadaily.com, Medan - Kapitan Yie Kim Lay yang menikah dengan Lie Seng Lian Nio dikaruniai 10 anak, 5 laki-laki, 5 perempuan. Tahun 1901, adik perempuan dari isteri Kim Lay, yang menikah dengan Tan Toe Sae, seorang pedagang kemenyan di Sibolga, jatuh sakit dan meninggal di Tarutung. Saat itu, adik iparnya dirawat di RS Tarutung milik lembaga Zending Kristen Jerman (RMG).

Persoalan muncul dan membuat Kim Lay bingung. Saat itu belum ada areal pekuburan untuk orang Tionghoa di Tarutung. Maklum awal tahun 1900-an belum banyak orang Tionghoa di Tarutung. Namun kebetulan Kim Lay berteman baik dengan Raja Frederik Lumbantobing. Raja huta di Simaung-maung itu lalu mengusulkan untuk menguburkan adik iparnya, di tanah kebun ubi miliknya. Kebun itu berada di belakang Kampung Simaung-maung Dolok. Letaknya dekat jurang. Akhirnya adik ipar Kim Lay dikubur di tempat itu. Ada cerita, malam hari setelah dikubur, kuburan itu dikorek orang. Dan menurut cerita juga, orang yang mengorek kuburan itu meninggal akibat kena racun ular tersebut.

Agar tak dibongkar orang lagi, Yoe Kim Lay akhirnya menyemen kuburan itu. Tahun 1904 meninggal anak lelaki Kim Lay yang kedua. Namanya Yoe Tek Ho, umurnya 6 tahun. Tek Ho meninggal karena sakit. Seiring itu, jumlah orang Tionghoa terus berdatangan ke Tarutung, terlebih setelah selesainya pembangunan jalan Sibolga - Tarutung.

Tanah pekuburan milik Raja Frederick Lumbantobing itu akhirnya diganti rugi Yoe Kim Lay sebesar 25 "ringgit maryam" dan diregistrasi ke Asisten Residen di Tarutung.

Tahun 1932 dimakamkan disitu Mary Yoe, anak perempuan ketiga Kim Lay. Mary Yoe, seorang bidan berdiploma. Ia tinggal di Medan. Saat meninggal ia berusia 20 tahun. Tahun 1951, ayah Yoe Sim Boen, Yoe Tek Hie meninggal di Adian Koting, lalu dikubur juga di Pekuburan Maung-maung Dolok.

Digantikan Yoe Kang

Yoe Kim Lay diangkat pada 29 Juli 1916 menjadi sebagai Wijkmeester der Chineesen (kepala wek orang Tionghoa dan lazim disebut Kapitan) pada 29 Juli 1916. Jabatan ini dijabat sampai 4 Januari 1933 dan digantikan oleh Yoe Kang, seorang pedagang kemenyan, pembuat sepatu, selop kulit dan usaha angkutan. Kim Lay berhenti menjadi kapitan karena ingin fokus mengurus usaha kebun karetnya di Parsingkaman.

Pada Agustus 1948, Yoe Kim Lay meninggal dunia dalam usia 87 tahun. Menurut cucunya, Sim Boen, kakeknya meninggal bukan karena sakit.

"Seminggu sebelum meninggal, kakek sudah tahu, kakek lalu datang ke rumah saya. Ia mau meninggal di rumah cucu laki-laki tertuanya," tutur Sim Boen. Saat itu Sim Boen sudah menikah dan tinggal di Sibolga. Jenazah Yoe Kim Lay karenanya tidak dikubur di Pekuburan Maung-maung Dolok, Tarutung, melainkan dimakamkan di Sibolga. Sedang Kapitan Tarutung ke 2, Yoe Kang, saat meninggal tahun 1976, jenazahnya dimakamkan di Tarutung.

Tahun 1947 Buka Galon Minyak

Saat tinggal di Parsingkaman bersama ayah dan kakeknya, Siem Boen selain membantu administrasi usaha kebun karet kakeknya,ia juga disuruh membantu menjaga toko dan galon minyak yang mulai diusahakan tahun 1947 oleh ayahnya.

"Ayahku, walau nggak sekolah, otaknya jalan. Ayah berpikir, ini rumah kita di tengah jalan, pasti laku jualan bensin," kisah Sim Boen. Untuk buka galon dulu harus ada uang jaminan sebanyak 2.000 gulden. Uang jaminan itu disetor ke Perusahaan Tambang Minyak di Pangkalan Brandan. Uang sebanyak itu menurut Sim Boen sudah bisa untuk membeli mobil sedan baru yang harganya saat itu sekitar 1.800 gulden.

"Kami agen pertama dari Perusahaan Tambang Minyak di Pangkalan Brandan," tutur Sim Boen. Usaha galon mereka sempat dicurigai orang Belanda. Menurut Sim Boen saat itu memang marak perdagangan minyak gelap. Maklum jaman perang.

Untung dari Penjualan Kopi dan Limun

Untung dari usaha berjualan bensin menurut Sim Boen tak banyak. Bensin masa itu dibeli dengan harga 24 sen per 1 liter dan dijual 24,5 sen. Hanya untung 0,5 sen. Sedikit sekali untungnya. Tapi menurut Sim Boen, itu semua rupanya hanya taktik ayahnya. Dengan memasang harga murah, banyak armada angkutan umum yang dalam perjalanan Medan - Bukit Tinggi, mengisi bensin di galon mereka di Parsingkaman.

Ayah Sim Boen saat itu tak hanya membuka usaha galon minyak, tapi juga rumah makan sederhana dan toko serba ada, mulai dari berjualan paku, seng, semen sampai sepatu. Saat bus mengisi bensin, banyak penumpang turun untuk minum kopi, membeli limun atau kebutuhan lain.

"Satu botol limun, untungnya 1 sen. Jadi kalau dulu Sibual-buali isi bensin, 20 orang itu minum limun, sudah untung 20 sen," ujar Sim Boen. Itu belum lagi jika penumpang membeli rokok atau madu hutan yang saat itu banyak dicari orang.

Karena ikut membantu menjaga usaha galon minyak, Sim Boen menjadi hapal nama-nama armada bus tahun 1940-an. Selain Sibual-buali tadi, ada armada bus Martimbang. Jumlah armadanya berkisar 100 bus. Pemiliknya seorang pedagang tembakau kaya di Tarutung, namanya St. Tiopilius Lumbantobing. Namun bus yang bernaung di bawah nama Martimbang itu bukan semua milik St. Tiopilius Lumbantobing, melainkan banyak juga dimilik sejumlah pengusaha bus dari Silindung, Balige dan Laguboti. Trayek angkutan itu melayani penumpang dari Bukit Tinggi - Medan.

Lalu ada juga Kakak beradik Lim Hong Lak, pemilik angkutan Adelim. Armadanya juga sekitar 100 buah. Baik bus besar maupun kecil. Bus-bus besar melayani trayek Medan - Bukit Tinggi. Sedang bus yang kecil melayani trayek Siantar – Sibolga. Adelim bukan usaha kongsi, melainkan milik usaha keluarga. Ada juga armada bus Trio dan Agam, tapi jumlah armadanya tak banyak.

"Tahun 1950-an praktis seluruh armada angkutan itu habis masa kejayaan mereka," tutur Sim Boen. (Bersambung)

Penulis:  J Anto
Editor:  J Anto

Baca Juga

Rekomendasi