Yoe Kim Lay, Kapitan Tionghoa Pertama di Tarutung (Tulisan 1)

Yoe Kim Lay, Kapitan Tionghoa Pertama di Tarutung (Tulisan 1)
Buku Kesastraan Melayu Tionghoa yang memuat 4 cerita Kapitan Tionghoa di Indonesia (J Anto)

Analisadaily.com, Medan - Yoe Kim Lay adalah Kapitan Tionghoa pertama (1916 - 1933) di Tarutung, saat kota itu masih bagian dari Keresidenan Tapanuli. Selain dikenal sebagai pengusaha kebun karet, dia juga merupakan pengusaha yang dipercaya Residen Tapanuli, memimpin pembangunan jalan Sibolga - Tarutung tahun 1911 - 1915.

Pada tanggal 4 Januari 1933, jabatan Kim Lay sebagai kapitan Tarutung digantikan oleh Yoe Kang, yang sukses sebagai pengusaha kemenyan dan transportasi. Pergantian itu dilakukan karena Kim Lay pindah dan tinggal di Parsingkaman, mengurus kebun karetnya bersama putra sulungnya Yoe Tek Hie.

Kapitan merupakan gelar untuk pemimpin golongan masyarakat Tionghoa yang diberikan oleh pemerintahan kolonial. Institusi ini mulai muncul sejak abad XVI. Tugas utama kapitan adalah mengurus keamanan dan masalah-masalah yang muncul diantara sesama orang Tionghoa.

Institusi Kapitan Tionghoa di Hindia Belanda memiliki tiga pangkat, yaitu Majoor, Kapitein dan Luitenant der Chinezen - yang secara keseluruhan dipanggil Chinese Officieren atau Opsir Tionghoa.

Siapa Yoe Kim Lay?

Pembangunan Jalan Sibolga Tarutung 1911-1915

Yoe Kim Lay lahir di Padangsidempuan 2 Januari 1861, anak sulung dari Yoe Hap (kelahiran Tiongkok) yang kawin dengan Adong br. Suti (Nasution). Saat muda, ia pergi merantau ke Tarutung dari Sibolga. Tanggal 31 Desember 1887 ia tiba di Tarutung.

"Kata kakek, dulu waktu pertama datang ke Tarutung, rambutnya masih dikuncir panjang," tutur cucu laki-laki tertuanya, Yoe Sim Boen. Wawancara dengan Yoe Sim Boen dilakukan tahun 2001 sebagai bagian dari program sejarah lisan yang diadakan Yayasan Lontar Jakarta. Penulis ikut sebagai salah seorang peneliti. Setelah selesai program itu, persahabatan penulis dengan Yoe Sim Boen berlanjut hingga beliau meninggal. Dalam berbagai kesempatan penulis telah berkali melakukan wawancara.

Sejak tanggal 1 Januari 1891, oleh Penguasa militer Belanda di Tarutung, Kim Lay ditunjuk sebagai Aannemer transport (pengurus angkutan). Tugasnya memenuhi kebutuhan dapur untuk tangsi tentara Belanda. Waktu itu ada 2 tangsi militer pembantu, satu berada di Laguboti, satu lagi di Pangururan.

Kim Lay memanfaatkan kuda beban, sarana transportasi yang umum digunakan penduduk awal abad 19.

"Tugas kakek melakukan koordinasi pengiriman barang seperti garam, susu, atau ikan asin yang didatangkan dari Sri Lanka lewat Sibolga," tutur Sim Boen. Barang-barang kebutuhan itu didatangkan dari Sibolga dan dibawa ke Tarutung.

Tahun 1895 Kim Lay kawin dengan Lie Seng Lian Nio, perempuan kelahiran Batang Toru, Tapanuli Selatan. Mertua Kim Lay (kelahiran Tiongkok), bekerja sebagai tukang bangunan yang pernah bertugas membangun jembatan Sungai Batang Toru, dan isterinya perempuan Batak, br. Hasibuan.

Saat agresi militer NICA II, akhir tahun 1948, jembatan Sungai Batang Toru yang pertama kali dibangun itu diruntuhkan oleh pasukan Brigade, Pimpinan Mayor Bejo, menggunakan bom-bom sisa peninggalan tentara Jepang.

Parantaian Bugis dan Madura

Menurut Sim Boen, tahun 1911, kakeknya ditunjuk Residen Vorstman, yang berkedudukan di Sibolga untuk membangun proyek jalan Sibolga - Tarutung. Dalam buku Lance Castle, Kehidupan Politik Suatu Karesidenan di Tapanuli 1915 - 1940 (2001), disebut Vorstman baru menjabat pada Maret 1915. Residen Tapanuli periode 1911-1915 adalah J.P.J. Barth. Mungkin pengerjaan proyek itu dilakukan masa J.P.J. Barth, dan diserahterimakan saat Vorstman menjabat Maret 1915.

Proyek pembangunan jalan Sibolga - Tarutung selesai dikerjakan Kim Lay tahun 1915. Untuk kepentingan pembuatan jalan itu, Residen Tapanuli mendatangkan para tawanan perang Belanda. Mereka orang-orang Bugis dan Madura. Orang-orang Batak menyebut mereka "parantaian" atau orang-orang yang dirantai. Dan menurut cerita yang didengar Sim Boen dari kakeknya, saat bekerja, tangan mereka masih dirantai. Para tawanan itu didatangkan lewat Pelabuhan Sibolga.

Pembangunan jalan Sibolga Tarutung berlangsung selama 4 tahun. Yoe Tek Hie putra tertua Yoe Kim Lay dilibatkan sebagai kepala urusan dapur. Yoe Tek Hie tak lain adalah ayah dari Sim Boen. Karena dianggap kerjanya bagus, terutama karena bisa menghemat anggaran, Yoe Kim Lay diberi bonus oleh Residen Vorstman.

Dijanjikan Tanaman Berbuah Emas

Bonusnya berupa tanah yang diusahakan sebagai areal perkebunan. Kim Lay diberi kebebasan untuk memilih sendiri lahan itu. Akhirnya pilihan jatuh di Parsingkaman. Letaknya pertengahan antara Sibolga Tarutung. Luas tanah itu terhampar mulai Bonan Dolok hingga desa tempat misionaris Munson terbunuh, dekat Kota Tarutung.

"Kata kakek Residen akan mengajarinya menanam tanaman yang bisa berbuah emas," tutur Sim Boen. Ternyata yang dimaksud adalah bibit tanaman karet yang langsung didatangkan dari Bogor. Untuk mengajari cara budidaya tanaman karet itu, Residen bahkan langsung mendatangkan menteri pertanian ke Tapanuli.

Jadilah Kim Lay dikenal sebagai salah satu pengusaha kebun karet di Tapanuli pada tahun 1900-an. Tahun 1937, saat Sim Boen berusia 13 tahun, Kim Lay meminta cucunya itu untuk membantu administrasi pembukuan perusahaan kebun karet itu.

Saat itu Sim Boen baru saja lulus dari Batakland English School yang berada di Nahung, Tarutung. Sekolah swasta Gereja Methodis Hari ke-7 itu milik Theo D Manullang, adik dari Mangaraja Hezkiel Manullang, pendiri Hatopan Christen Batak, dan Pemimpin Redaksi Soara Batak. (Bersambung)

Penulis:  J Anto
Editor:  J Anto

Baca Juga

Rekomendasi