Protokol Kesehatan: Kebiasaan Menjadi Kebudayaan

Protokol Kesehatan: Kebiasaan Menjadi Kebudayaan
Sejumlah murid mencuci tangan sebelum masuk hari pertama sekolah di SDN 11 Marunggi Pariaman, Sumatera Barat, Senin (13/7). (ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra/wsj)

Analisadaily.com, Jakarta - Pandemi virus Corona menuntut masyarakat untuk menciptakan kebiasaan baru di tengah-tengah kehidupannya. Kebiasaan baru ini tercipta agar terhindar dari wabah Covid-19 dan tetap bisa beraktivitas sehari-hari dengan normal.

Tim Pakar Sosial Budaya Satuan Tugas Covid-19, Meutia Hatta mengatakan, kebiasaan adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok orang, yang kemudian menjadi dibiasakan.

“Kebiasaan itu berawal dari kegiatan yang memiliki manfaat bagi orang-orang yang melakukannya, kemudian kegiatan ini dilakukan secara berkala menjadi kebiasaan. Namun untuk menjadi kebudayaan, dia memerlukan waktu yang tidak singkat,” kata Meutia, Selasa (4/8).

Contoh kebiasaan yang menjadi budaya, cuci kaki sebelum masuk ke rumah. Awalnya kebiasaan ini dipraktekan di rumah panggung, di Lampung, Sulawesi atau Palembang. Di atas rumah diberikan sebuah gentong berisi air untuk kita mencuci kaki sebelum masuk rumah.

Manfaat dari kebiasaan ini adalah masuk ke rumah dengan keadaan kaki yang sudah bersih. Lama-kelamaan kebiasaan ini akhirnya menjadi budaya. Meutia juga mencontohkan kebiasaan yang lama-lama jadi kebudayaan.

“Makanan sayur tadinya bukan budaya dari orang Minang. Namun karena tau manfaatnya, akhirnya sayur bagian dari kebudayaan orang Minang,” tutur Meutia.

Lebih lanjut ia juga menjelaskan kertekaitan antara kebiasaan dengan budaya pada masa pandemi saat ini.

“Di pandemi ini kita ada kewajiban untuk menggunakan masker, menjaga jarak, menghindari kerumunan, harus cuci tangan. Ini suatu kebiasaan yang ada manfaatnya, karena tanpa itu ada bahaya Corona. Ini yang diusahakan menjadi kebudayaan,” ucap Meutia.

Terkait protokol kesehatan yang ingin dijadikan sebagai kebudayaan baru, Meutia berpendapat bahwa ini memerlukan waktu.

“Kita ingin secepatnya bisa diterima, begitu ya. Tapi memang butuh waktu. Kita harus mampu menyampaikan kepada masyarakat bahwa ini adalah hal yang penting, ditunjukkan dengan data,” jelas Meutia dilansir dari BNPB.go.id.

Masih kata Meutia, orang Indonesia itu memiliki sifat yang tidak mudah takut akan pantanganan, terutama dalam hal risiko kesehatan. Jadi ini merupakan suatu pekerjaan rumah yang harus kita lakukan untuk memberikan edukasi yang tepat bagi masyarakat.

Saat ini ia sedang melaksanakan sebuah penelitian yang mempelajari tentang sikap masyarakat Indonesia mengenai kepatuhan.

Agar kebiasaan ini dapat lebih cepat menjadi kebudayaan, Meutia berpendapat, hukuman bukanlah jalan pintas agar suatu kebiasaan dapat menjadi kebudayaan.

“Hukuman itu kadang-kadang tidak mempan ya, tapi selain hukuman, yang penting itu masyarakat memahami,” jelas Meutia.

Ia berpendapat, masyarakat harus mampu memahami, mereka tidak saja mampu menularkan, tetapi juga berisiko untuk tertular. Meutia berpesan, tetap menghindari kerumuman.

(CSP)

Baca Juga

Rekomendasi