Penempelan stiker di mobil yang menggunakan BBM bersubsidi (Analisadaily/Muhammad Saman)
Analisadaily.com, Banda Aceh - Penempelan stiker untuk mobil pemakai bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang dilakukan Pemerintah Aceh dan BPH Migas terus memunculkan pro kontra di tengah masyarakat.
Kepala Ombudsman RI Perwakilan Aceh, Taqwaddin Husin, ikut memberikan tanggapan atas kebijakan tersebut.
Menurutnya kebijakan penempelan stiker itu tepat, tetapi kalimat yang tertera dalam stiker tersebut tidak bijak.
Menurut Taqwaddin, kata-kata itu kasar dan tidak sopan bagi kalangan yang selama ini benar-benar membutuhkan BBM bersubsidi.
"Misalnya, mobil suzuki pick-up milik Bang Zainon yang sehari-harinya digunakan untuk menjual dan mengantarkan air isi ulang ke pelanggannya. Kan tidak pantas ditulis begitu. Saya lihat tadi beliau kecewa dan malu dengan kata-kata seperti itu," kata Taqwaddin, Sabtu (22/8).
Taqwaddin menyebut, dipasangnya stiker tersebut mengandung dua maksud. Pertama untuk memfilter mobil-mobil yang patut mengisi premium.
"Mobil yang patut tersebut menurut saya adalah mobil-mobil tua dengan cc kecil," jelasnya.
"Sedangkan mobil-mobil baru dan tahun tinggi, apalagi yang ber-cc di atas 1500, menurut saya tidak sepatutnya mengisi BBM bersubsidi," terangnya.
Kedua, pemasangan stiker tersebut untuk mempermalukan pemilik mobil agar tidak mengisi BBM Bersubsidi.
"Saya kira ini cara yang melukai hati warga yang tidak patut," sebutnya.
"Hemat saya, sebaiknya jika pemerintah memang sudah tak mampu lagi memberi subsidi premium kepada rakyatnya, maka dihapuskan saja. Hal ini lebih bijaksana, ketimbang mempermalukan rakyatnya dengan cara menuliskan kata-kata yang tidak patut dalam stiker tersebut," jelasnya.
Untuk menutupi kelangkaan BBM, Taqwaddin menyarankan agar di Aceh diperbanyak SPBU mini di berbagai kecamatan sehingga BBM, baik Partalite maupun Pertamax selalu tersedia dengan jumlah memadai dengan harga patokan pemerintah.
Selama ini harga premium di gampong-gampong yang jauh dari ibukota provinsi dan ibukota kabupaten faktanya mencapai Rp 9.000 - Rp 12.000. Padahal harga Partalite di SPBU hanya Rp 7.450.
"Menurut saya, seandainya di setiap ibukota kecamatan atau bahkan di desa-desa ada SPBU Mini, maka sekalipun tak ada lagi subsidi, asalkan barangnya ada, saya kira tak akan ada masalah," katanya.
Terkait usulan ini, Taqwaddin mengharapkan Pemerintah memberikan kemudahan perizinan bagi usahawan atau Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) untuk membuka usaha SPBU mini di kecamatan-kecamatan.
(MHD/EAL)