Sidang Rakyat: Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Sidang Rakyat: Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Unjuk rasa mendesak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (Analisadaily/Istimewa)

Analisadaily.com, Jakarta - Sidang Rakyat mendesak pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) berlangsung di Jakarta, Jumat (2/10).

Desakan itu disampaikan pada pembukaan sidang rakyat yang dihadiri narasumber seperti Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Asfinawati, Komisioner Komnas Perempuan, Andi Yendriani dan Guru Besar Universitas Indonesia, Prof Yulistyowati Irianto.

Ada juga Aktivis Purple Code, Dhyta Caturani, Ketua Departemen Buruh Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Dian Septi, Solidaritas Perempuan, Dinda Nur Annisa serta dari Sentra Advokasi Perempuan Difabel dan Anak (SAPDA), Nurul Saadah.

Ketua YLBH Indonesia, Asfinawati mengatakan, kekerasan seksual terjadi di mana-mana mulai dari rumah tangga, tempat kerja, rumah ibadah, institusi pendidikan, institusi politik dan pemerintahan, perkebunan dan pertambangan, institusi penegak hukum, masyarakat adat dan segala lini kehidupan manusia.

"Di Indonesia, korban kekerasan seksual bukan dilindungi, malah menjadi korban pelanggaran HAM yang terenggut hak atas hidup, hak atas pendidikan, hak atas pekerjaan, hak atas kesehatan dan hak-hak lainnya," kata Asfinawati yang hadir sebagai narasumber.

Komisioner Komnas Perempuan, Andi Yendriani, menilai RUU P-KS berbasis dari pengalaman korban kekerasan seksual.

Kata dia, perancangan ini sudah dimulai sejak 2010 dan masuk dalam proses legislasi di DPR RI tahun 2016.

Grafik tipologi bentuk kekerasan
"RUU ini mengusung sembilan jenis kekerasan seksual dan memberikan perlindungan lebih kepada korban kekerasan seksual," tutur Andi.

Sehingga, lanjutnya menjelaskan, penundaan pengesahan RUU P-KS telah mengabaikan pemulihan dan keadilan bagi korban kekerasan seksual.

Lebih dalam lagi, Prof. Sulistyowati mengatakan, kejahatan seksual adalah kejahatan kemanusiaan (crimes againts humanity).

"Kejahatan yang paling keji dalam sejarah bangsa bahkan sebelum kemerdekaan yang dialami oleh perempuan dan anak-anak," ucap Sulityowati.

Menurut dia, tidak ada hukum yang cukup untuk melindungi korban kekerasan seksual di Indonesia. Kejahatan seksual harus dihentikan karena itu menyebabkan hilangnya nyawa korban dan trauma hingga akhir hidup.

Makanya, kata dia, negara wajib hadir untuk melindungi korban dengan melahirkan hukum negara yang memberikan keadilan dan pemulihan bagi korban kekerasan seksual untuk mengatasi kedaruratan saat ini.

"RUU P-KS mesti mereformasi hukum pidana yang selama ini tidak mampu memberikan keadilan bagi korban," tambahnya.

Hal lainnya diutarakan Dhyta Caturani. Dia mengatakan, kekerasan berbasis gender online (KBGO) berkelindan dengan kekerasan berbasis gender offline.

Grafik kategori korban berdasarkan usia
KBGO bentuk kekerasan seksual baru dengan menggunakan perkembangan zaman saat ini. Saat ini, kasus KBGO sulit diproses hukum dengan alasan ketiadaan undang-undang dan menyalahkan korban.

Oleh karenanya, keberadaan RUU ini jadi salah satu upaya mengatasi KBGO. Saat ini, RUU P-KS tersingkir dari proses legislasi, namun RUU Ketahanan Keluarga mendapatkan jalan mulus di proses legislasi.

"Padahal RUU Ketahanan Keluarga berisi aturan yang mendiskriminasi gender dan melanggengkan patriariki. Sudah saatnya negara sahkan RUU P-KS sekarang juga bukan jargon belaka," ujar Dhyta.

Dian Septi mengatakan, pekerja perempuan seringkali menjadi korban kekerasan seksual secara massal di tempat kerja.

Zona kerja dibayangi dengan pelecehan seksual namun hanya dipaksa damai oleh kepolisian. Hukum selalu saja tidak berpihak pada korban.

Langgengnya kekerasan seksual di tempat kerja akibat relasi kuasa yang timpang antara korban sebagai bawahan dan pelaku sebagai atasan serta relasi antar rekan kerja yang dibarengi tempat kerja yang tidak layak.

"Kami kalangan pekerja ingin merdeka dari kekerasan seksual di tempat kerja," tegas Dian.

Dinda Nur Annisa dari Solidaritas Perempuan menyampaikan, kekerasan seksual seringkali dipertanyakan dan dianggap bukan sebagai kejahatan.

Kejahatan seksual merupakan bentuk penindasan. Dalam konteks perlindungan sumber daya alam, kekerasan seksual dijadikan sebagai alat membungkam perjuangan rakyat.

"Keberadaan RUU P-KS akan menjamin ruang aman tanpa kekerasan seksual, termasuk dalam ruang-ruang perlindungan sumber daya alam di Indonesia," ujar Dinda.

Nurul menyampaikan, perempuan difabel seringkali menjadi korban kekerasan seksual.

Persoalan seksualitas dijauhkan dari perempuan difabel yang diangggap sebagai aseksual. Perempuan difabel seringkali menjadi korban kekerasan seksual dari keluarga sendiri mulai dari ayah kandung, kakak kandung dan adik kandung serta seringkali mengalami situasi kehamilan yang tidak dinginkan.

Karena itu, keberadaan RUU P-KS tentunya akan melindungi siapapun dari kekerasan seksual, termasuk perempuan difabel.

"Kami menyimpulkan situasi dan kondisi Indonesia saat ini berada dalam kondisi darurat kekerasan seksual. Korban terus menurus berjatuhan. RUU P-KS merupakan upaya negara untuk segera melindungi dan memulihkan korban kekerasan seksual," ucap Nurul.

"Pengesahan RUU P-KS kami mimpikan untuk melawan impunitas pelaku kekerasan seksual yang selama ini terjadi, pemulihan korban, jaminan HAM korban dan kewajiban negara sebagaimana diatur dalam Konstitusi dan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (CEDAW). DPR RI, RUU P-KS harus jadi Prolegnas Prioritas 2021 dan sahkan," tegas Nurul.

(CSP/EAL)

Baca Juga

Rekomendasi