UU Cipta Kerja Dinilai Seimbangkan Kepentingan Berbagai Pihak

UU Cipta Kerja Dinilai Seimbangkan Kepentingan Berbagai Pihak
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto (kanan) bersama Menkumham Yasonna Laoly (tengah) dan Menteri Keuangan Sri Mulyani (kiri) menghadiri pembahasan tingkat II RUU Cipta Kerja pada Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (5/10/2020). (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

Analisadaily.com, Jakarta - Undang-Undang (UU) Cipta Kerja dinilai sudah menyeimbangkan kepentingan berbagai pihak, termasuk pengusaha, buruh, dan UMKM. Hal ini disampaikan Wakil Ketua Umum (Waketum) Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Shinta Widjaja Kamdani.

Shinta menyayangkan apabila masih ada resistensi terhadap regulasi tersebut, karena UU Cipta Kerja dapat membuat Indonesia bersaing secara ekonomi di tingkat dunia.

"Kami menyatakan sangat menyayangkan banyak pihak-pihak yang benar-benar tidak tahu secara substansi UU ini sehingga banyak salah persepsi. Dan ini menimbulkan mindset yang tidak bisa diubah," katanya dalam pernyataan di Jakarta, dilansir dari Antara, Rabu (14/10).

Shinta mengatakan, semua pihak membutuhkan Omnibus Law karena selama ini permasalahan utama dalam proses berusaha adalah aspek struktural sehingga membutuhkan reformasi menyeluruh.

"Indonesia mau menjadi negara maju, ekonomi lima besar dunia, kita harus perhatikan agar keluar dari middle income trap, pertumbuhan PDB 7,4 triliun Dolar AS. Cita-cita ini sangat indah, tetapi kita harus tahu bagaimana mencapai ini," sebutnya.

Menurut dia, situasi saat ini juga tidak menguntungkan karena sebagian besar usaha di berbagai sektor ekonomi terdampak Covid-19 dan menyebabkan tingginya angka pengangguran.

Di sisi lain, Indonesia masih belum memiliki daya saing yang dibutuhkan untuk mentas di tingkat global, karena investor asing, lokal, maupun UMKM belum percaya dengan kondisi berusaha di dalam negeri.

"Sekarang ini penyerapan investasi per Rp1 triliun itu hanya menyerap 1.200 pekerja. Jadi ini masalah yang harus diperhatikan. Kita harus investasi yang berkualitas," sebutnya.

Ia mengharapkan regulasi terbaru ini bisa menyelesaikan persoalan tumpang tindih perizinan di pusat dan daerah serta biaya tinggi yang mengganggu ekosistem investasi Indonesia.

Salah satunya terkait kebijakan kenaikan upah Indonesia yang saat ini merupakan yang tertinggi di ASEAN yaitu mencapai 9,7 persen, bandingkan dengan Thailand 1,7 persen, Malaysia 5,5 persen dan Vietnam 7 persen.

"Tidak hanya pesangon, upah minimum kita juga paling tinggi sedunia. Bandingkan saja dengan upah minimum negara-negara ASEAN. Contoh di Vietnam 192 Dolar AS, Thailand 245 Dolar AS, Malaysia 294 Dolar AS, Indonesia 313 Dolar AS pada 2020," tandasnya.

(RZD)

Baca Juga

Rekomendasi