Kasus Salah Obat, Terdakwa: Kami Disuruh Mengaku

Kasus Salah Obat, Terdakwa: Kami Disuruh Mengaku
Persidangan kasus salah obat di Pengadilan Negeri Medan, Selasa (17/11) (Analisadaily/Eka Azwin Lubis)

Analisadaily.com, Medan - Persidangan kasus salah obat yang mengakibatkan korban mengalami kelumpuhan kembali digelar di Pengadilan Negeri Medan, Selasa (17/11).

Dalam agenda sidang kali ini hakim mendengarkan keterangan kedua terdakwa, SR dan OR.

Ketika ditanya hakim Sri Wahyuni, SR menyebut bahwa semua karyawan di apotek tempatnya bekerja bebas meracik dan melayani pembelian obat tanpa harus konsultasi ke apoteker.

Menurutnya jika resep yang diberikan konsumen sulit dibaca, mereka berkonsultasi dengan karyawan yang lebih senior. Sebab apoteker tidak pernah datang ke apotek kecuali saat mengambil gaji.

"Biasa kalau ragu saya kasih ke yang lebih senior, karyawan lama yang sudah bekerja di sana. Karena apoteker tidak pernah datang, kecuali pas ambil gaji aja untuk tanda tangan," ujarnya.

Namun menurutnya saat kejadian bukan dirinya yang melayani pembelian obat korban. Bahkan SR mengungkapkan bahwa terdakwa OR belum bekerja pada saat itu.

"Semua karyawan di Apotek Istana bebas meracik obat, melayani obat tanpa konfirmasi ke apoteker. Tapi pada tanggal 13 Desember bukan saya yang melayani pembelian obat tersebut. Saat kejadian Oktarina tidak ada, yang ada saya, Adel, Dani, Endang. Okta masuk tanggal 17 Desember," ujar SR.

Kemudian saat datang panggilan polisi, SR mengatakan seluruh karyawan dikumpulkan pemilik apotek, termasuk OR yang saat itu sudah bekerja.

"Saya (baru) lihat resep saat malam dikumpulkan (oleh pemilik apotek). Semua karyawan dikumpulkan, apoteker, pemilik apotek untuk membahas panggilan polisi. Pemilik bilang, ini ada panggilan polisi, nanti saat diperiksa bilang ini (yang ada dalam resep) memang amaryl," ungkapnya.

Sementara ketika ditanya mengapa dirinya dan SR yang harus memberikan keterangan kepada polisi, OR yang saat itu baru beberapa hari bekerja mengatakan karena mereka berdua yang memiliki surat tanda registrasi (STR) sebagai asisten apoteker.

"Saya disuruh mengakui bahwa kami yang memberi obat karena kami yang punya STR agar urusan lebih mudah. Saya mau karena baru masuk kerja, cari kerja susah, jadi saya takut kehilangan pekerjaan. Lagi pula pemilik bilang ini cuma ngasih keterangan saja, kalau sampai dipenjara, saya siap keluar biaya berapa saja untuk urus kalian," ungkapnya.

Menyikapi keterangan kedua terdakwa, kuasa hukum korban, Iqbal Sinaga, mengatakan ada peran dari pemilik apotek untuk mengaburkan tindak kejahatan dan menutupi kejahatan yang dilakukannya.

"Sudah selayaknya majelis hakim memerintahkan JPU untuk menahan dan menuntut pemilik apotek serta apoteker yang telah melecehkan persidangan dengan memberikan keterangan palsu di muka persidangan," tegas Iqbal, Rabu (18/11).

Lebih jauh Iqbal memaparkan saksi yang memberikan keterangan palsu dalam persidangan diatur dalam Pasal 242 ayat (1) KUHP dengan ancaman penjara 7 tahun.

"Berdasarkan Pasal 242 ayat (2) KUHP menyebutkan hukumannya naik menjadi 9 tahun jika keterangan palsu di atas sumpah diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa," paparnya.

"Harapan kami mewakili korban dan keluarga sebagai pencari keadilan agar kiranya majelis hakim yang mulia memerintahkan JPU dan penyidik Satreskrim Polrestabes Medan untuk membuka kembali penyidikan terhadap kasus ini agar dapat secara terang benderang ditemukan pelaku yang harus bertanggung jawab," tukas Iqbal.

Seperti diketahui, Fitri Octavia Pulungan Noya membuat laporan ke Polresrabes Medan tanggal 21 Desember 2018 dengan Nomor: STTLP/2817/K/XII/YAN: 2.5/2018/SPKT Restabes Medan.

Dia melaporkan sebuah apotek yang berada di Jalan Iskandar Muda, Medan, karena salah memberikan obat yang mengakibatkan ibunya, Hj. Yusmaniar, mengalami kelumpuhan dan tidak bisa bicara.

Hingga kini kondisi Yusmaniar sangat memprihatinkan. Dia kerap mengalami kejang dan tak sadarkan diri.

(EAL)

Baca Juga

Rekomendasi