Seruan AJI Indonesia Kepada Perusahaan Media

Seruan AJI Indonesia Kepada Perusahaan Media
Tangkapan layar saat Koordinator Bidang Ketenagakerjaan AJI Indonesia, Wawan Abk, memaparkan catatan akhir tahun 2020 mengenai potret buram ketenagakerjaan 28 Desember 2020. (Analisadaily/Istimewa)

Analisadaily.com, Jakarta – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia memantau perkembangan ketenagakerjaan di industri media selama pandemi Covid-19. Karena alasan ekonomi yang akibat pandemi sejumlah perusahaan media melakukan pemutusan hubungan kerja.

Selain pemutusan hubungan kerja, perusahaan media juga melakukan pemangkasan hak-hak karyawan, mulai dari penundaan gaji, penundaan tunjangan hari raya (THR), pemotongan honor, hingga pemangkasan gaji karyawan. Praktik ini masih terus berlangsung hingga kini.

Koordinator Bidang Ketenagakerjaan AJI Indonesia, Wawan Abk, menilai kebijakan pemutusan hubungan kerja ini terus berlanjut di tahun 2021 ini. Dalam pantauan AJI, sejumlah media merumahkan karyawannya dan PHK.

“Berdasarkan data terbaru yang masuk ke AJI, ada kasus PHK di The Jakarta Post dan Harian Suara Pembaruan, serta tindakan merumahkan karyawan di Viva.co.id,” kata Wawan dalam siaran persnya, Rabu (20/1).

Kata dia, dari beberapa kasus PHK di perusahaan media, AJI mengidentifikasi adanya praktik-praktik PHK sepihak. Prosesnya dilakukan dengan menghubungi langsung karyawan secara personal, sehingga prosesnya kurang terpantau dan karyawan terpaksa harus berjuang sendiri.

Selain itu, ia menyampaikan, AJI menduga ada indikasi pemberangusan serikat pekerja dalam proses PHK tersebut. Sebab, yang di-PHK adalah pekerja media yang aktif dalam serikat pekerja atau aktif menyuarakan hak karyawan.

“Dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, pemecatan terhadap pengurus serkat pekerja adalah tindak pidana,” tegas Wawan.

Karena itu, dia lanjut menjelaskan, AJI Indonesia menyerukan dan mendesak perusahaan-perusahaan media untuk terbuka kepada pekerjanya atas situasi atau krisis yang dihadapinya.

“Transparansi dan dialog diharapkan dapat membuat pekerja memahami masalah yang dihadapi perusahaan dan mencari solusi yang sama-sama menguntungkan atau lebih kurang merugikan bagi dua pihak,” paparnya.

Kemudian, masih kata Wawan, PHK hendaknya menjadi jalan terakhir yang harus diambil perusahaan untuk menghadapi krisis ini. Tentu saja harus ada alasan kuat dari perusahaan media dalam mengambil keputusan ini, misalnya dengan secara transparan menyampaikan situasi keuangannya.

Jika memang harus menempuh langkah PHK, maka perusahaan wajib memenuhi hak-hak karyawan sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Karena perusahaan masih menerapkan Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB) sesuai dengan Undang Undang Ketenagakerjaan, maka sesuai pasal 151 ayat (2).

Dia menjelaskan, maksud PHK wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja atau dengan pekerja apabila yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja.

Apabila perundingan gagal, maka pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial (ayat 3).

Hingga saat ini, Peraturan Pemerintah yang menjadi aturan turunan dari UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja masih dalam proses penyusunan sehingga penyelesaian kasus-kasus ketenagakerjaan tetap menggunakan UU Ketenagakerjaan.

“Kita juga mengingatkan perusahaan media untuk tidak melakukan pemberangusan serikat pekerja atau perwakilan karyawan. Jika yang dirumahkan atau di-PHK adalah aktivis-aktivis serikat pekerja atau perwakilan karyawan, itu merupakan indikasi kuat sebagai praktik pemberangusan serikat atau union busting,” kata Wawan.

Pemberangusan serikat pekerja melanggar pasal 43 Undang Undang Serikat Pekerja, yang ancaman pidananya sampai 5 tahun penjara dan denda maksimal Rp 500 juta.

Wawan menambahkan, kepada jurnalis dan pekerja media yang menghadapi masalah ketenagakerjaan, apalagi di-PHK secara sewenang-wenang oleh perusahaan medianya, untuk mengadukan ke organisasi wartawan atau lembaga yang punya kepedulian soal ini seperti AJI dan LBH Pers.

“Pengaduan juga bisa disampaikan ke Dinas Ketenagakerjaan di daerah masing-masing agar kasus ketenagakerjaan itu diselesaikan sesuai undang-undang,” tambahnya.

(CSP)

Baca Juga

Rekomendasi