Bencana banjir (Analisadaily/Istimewa)
Analisadaily.com, Jakarta - Bencana hidrometeorologi berupa banjir dan tanah longsor yang melanda sejumlah wilayah di Indonesia sejak awal tahun 2021 hingga hari ini tercatat ada 168 kejadian. Bencana terjadi di Sumedang, Bojonegoro, Tuban, Manado, Aceh Tamiang, Gayo, dan yang terbesar di Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel).
Hingga 21 Januari 2021, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan, akibat dari bencana banjir dan longsor di Kalsel ada 21 orang meninggal dunia, 483.324 jiwa terdampak bencana, dengan total kerusakan kerugian sebesar Rp 1,127 triliun. Kejadiaan bencana di Kalsel dan di daerah lainnya merupakan potret fakta bencana hidrometeorologi yang terus berulang dan menghantui rakyat Indonesia.
Pendapat banyak pihak menyatakan, bencana hidrometeorogis yang terjadi disebabkan kegiatan ekstraktif manusia yang terus mengurangi kemampuan terhadap daya dukung dan daya tampung lingkungan, sehingga sesungguhnya bencana ini sebuah keadaan yang mampu untuk dicegah para pengurus negara melalui kebijakan ruang dan pembangunan yang berpihak pada keselamatan sosial ekologi.
Namun faktanya, hingga hari ini apa yang digaungkan pemerintah tentang corrective action, terutama dari sisi tanggung jawab negara untuk upaya melindungi dan mencegah kerugian kerusakan dampak bencana masih menjadi hanya sekadar lipservice. Jika pun ada upaya, namun masih sangat lambat dan sangat normatif.
Manajer Tata Ruang dan GIS Walhi Nasional, Ach Rozani mengatakan, yang harus dipahami oleh pengelola negara hari ini bahwa kejadian becana yang terus berulang dan diikuti dengan kecenderungan kerugian kerusakan yang terus membesar, tentu tidak dapat dilepaskan.
"Ini merupakan hasil dari produk Politik Ekologi Sosial yang telah dibuat negara melalui instrumen kebijakan, dan aturan yang masih proinvestasi, dan terus mengorbankan infrastruktur sosial ekologi yang ada, bahkan ini diperparah lagi ada motif komodifikasi terhadap bencana yang selama ini terjadi," sebutnya, Selasa (26/1).
Kepala Divisi Advokasi Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif, Imam Hanafi mengatakan, sesuai dengan tujuannya, keberadaan kebijakan satu peta (onemap policy) bisa menjadi rujukan awal dalam pengelolaan ruang yang berwawasan lingkungan.
Selain sebagai dasar bagi proses penyelesaian konflik ruang melalui proses sinkronisasinya, saat ini kebijakan satu peta yang sudah sampai pada tahap singkronisasi IGT (Informasi Geospasial Tematik) dan menetapkan Peta Indikatif Tumpang Tindih IGT (PITTI) yang ada di 17 provinsi (Riau, Sulawesi Selatan, Lampung, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara,Bali, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, dan Papua Barat) yang dalam pelaksanaanya hanya sekadar untuk menfasilitasi kompromi tumpang tindih sektor IGT yang ada di kementerian dan lembaga.
"Ketiadaan peta partispatif yang dibuat oleh masyarakat menjadi entry point timbulnya bencana ekologi dan sosial akibat lemahnya peran serta masyarakat untuk terlibat dalam mengontrol ruang dan lingkungan sekitarnya, khususnya jika berhadapan dengan klaim negara atau perizinan," ucapnya.
Imam menambahkan, soal Perpres Kebijakan Satu Peta berikutnya harus dapat menjawab beberapa permasalahan seperti mengakomodir data spasial masyarakat yang tertuang dalam peta partisipatif, serta megintegrasikanya dalam kebijakan satu peta, sehingga dapat menjadi salah satu data rujukan dalam proses sinkronisasi spasial dalam rangka penyelesaian konflik tumpang tindih ruang dan penegasan sratus ruang.
"Permaslahan berikutnya adalah mengembalikan keberadaan dan fungsi walidata bagi masyarakat adat bagi proses pengakuan, perlindungan, dan pemberdayaan masyarakat adat di Indonesia," terangnya.
Terkait hal tersebut, Walhi dan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif mendesak dan menuntut pemerintah untuk merevisi Perpres Nomor 9 Tahun 2016, substansi dan targetnya harus mampu menerima produk geospasial yang dibuat oleh rakyat.
Kemudian peta partisipatif harus menjadi dasar dalam melakukan proses verifikasi dalam tahapan sinkronisasi dan penyelesaian tumpang tindih IGT yang dibuat oleh walidata (kementerian dan lembaga) terhadap wilayah kelola masyarakat (adat/lokal).
Selanjutnya data dan informasi atas status peta HGU, HPL, HGB, Peta Izin Pemanfaatan Kawasan Hutan dalam bentuk IUPHHK-HA, IUPHHK-HT, IUPHHK-RE, Peta Izin Usaha Pertambangan harus terbuka sebagai pengawasan dan kontrol publik. Jiga perlunya adanya walidata atas wilayah adat untuk melengkapi dan menegaskan keberadaan Hutan Adat dan Hak Komunal (tanah ulayat).
"Dalam rangka mewujudkan partisipasi masyarakat terhadap kebijakan satu peta, diperlukan adanya kejelasan mekanisme adopsi, verifikasi, registrasi, dan penetapan serta standarisasi oleh walidata," tandas Imam.
(RZD)