Pengurus DPW Nasdem Sumut (Analisadaily/Istimewa)
Analisadaily.com, Medan - Ketua DPW Nasdem Provinsi Sumatera Utara, Iskandar ST, didampingi Sekretaris Syarwan bersama dengan kuasa hukum pasangan calon Bupati Tapanuli Selatan menyatakan keberatan terhadap pertimbangan Mahkamah Konstitusi.
Keberatan itu disampaikan terkait dengan putusan yang tidak menerima perkara perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah dengan dasar adanya keterlambatan masuknya permohonan tersebut ke Mahkamah Konstitusi.
"Terlambatnya permohonan dimasukkan ke Mahkamah Konstitusi yang hanya 6 menit untuk Kabupaten Tapanuli Selatan tidak berlaku sama dengan sengketa Pilkada Kabupaten Samosir yang jelas-jelas telah lewat waktu dan melebihi ambang batas perkara," kata Iskandar ST di Medan, Senin (22/2).
Pasangan calon Bupati Tapanuli Selatan, Muhammad Yusuf Siregar-Roby Agusman Harahap, melalui kuasa hukumnya, Ranto Sibarani, mengaku sangat kecewa melihat putusan yang dibuatkan Mahkamah Konstitusi.
Menurutnya Makhkamah Konstitusi tidak memberikan kesempatan kepada pemohon untuk melanjutkan dalam pemeriksaan saksi. Padahal sudah jelas dalam bukti yang dilampirkan pemohon ada kejanggalan-kejanggalan yang terjadi antara lain adanya lebih dari 200 TPS yang partisipasi pemilihnya sampai 100 persen.
"Jika penolakan permohonan sengketa hanya didasarkan oleh detik-detik waktu tanpa mempertimbangkan kecurangan pemilihan, maka tidak perlu hal itu diputuskan oleh sembilan orang majelis hakim Mahkamah Konstitusi yang sangat berpendidikan dan terhormat," demikian disampaikan Roby Agusman Harahap.
"Jika memang harus ditolak karena waktu yang dianggap telah lewat, tidak perlu Mahkamah menyelenggarakan persidangan untuk pemeriksaan pendahuluan, cukup security atau staf administrasi Mahkamah kami pikir bisa langsung menolak permohonan tersebut, dengan hanya melihat kalender dan tanggal gugatan, sehingga tidak perlu ada persidangan yang membuang-buang waktu, kami menduga ada penyalahgunaan wewenang hakim,” terang Iskandar ST.
Sementara Ranto Sibarani mengatakan bahwa pemohon atau para calon kepala daerah menjadi korban untuk kedua kalinya dengan adanya persidangan di Mahkamah Konstitusi diduga tidak profesional.
"Jika memang penolakan dilakukan sejak awal karena tenggat waktu yang terlambat, para Pemohon tidak harus mengalami kerugian besar dengan menghadiri persidangan persidangan Mahkamah Konstitusi di Jakarta dan tidak mesti melengkapi bukti bukti yang jumlahnya ratusan yang harus di leges berangkap dengan materai yang nilainya tentu tidak sedikit. Untuk apa melengkapi bukti bukti dan memperbaiki permohonan, jika penolakan hanya berdasarkan pertimbangan keterlambatan waktu dalam mengajukan permohonan tersebut," terang Ranto.
"Yang tidak masuk akal bagi kami, adalah terkait dengan perkara sengketa pemilihan kepala daerah Kabupaten Samosir, yang sudah jelas di ajukan terlambat 3 hari sebagaimana yang tertuang dalam permohonan Pemohon pada point C halaman 4 dan bahkan selisih ambang batasnya lebih dari 14 persen, namun Mahkamah malah memeriksa perkara tersebut lebih lanjut, padahal jelas-jelas tidak memenuhi Pasal 157 dan Pasal 158 UU Pilkada No 10 Tahun 2016 jo Pasal 7 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 6 Tahun 2020," ungkapnya.
Dengan pertimbangan-pertimbangan yang sangat kaku dan terkesan sewenang-wenang tersebut, Ranto mengatakan Mahkamah Konstitusi tidak menunjukkan kontribusinya atau tidak menunjukkan kualitasnya dalam penegakan hukum dan demokrasi di negara ini.
"Jika dahulu Mahkamah Konstitusi di juluki sebagai Mahkamah Kalkulator, maka hari ini Mahkamah Konstitusi bisa saja mendapatkan julukan baru yaitu Mahkamah Kalender," tegas Ranto dan Pengurus DPW Nasdem Provinsi Sumatera Utara.
(JW/EAL)