Ketua Umum API, Jemmy Kartiwa Sastraatmadja (Analisadaily/Istimewa)
Analisadaily.com, Jakarta - Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) selama pandemi Covid-19 termasuk salah satu sektor industri manufaktur yang sangat terpukul, padahal industri ini memiliki rentang hulu-hilir yang panjang dan mampu menyerap banyak tenaga kerja, dan melakukan padat karya.
Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, industri manufaktur tekstil dan pakaian jadi, pada triwulan III-2019 yang tumbuh 15,08 persen, harus mengalami keterpurukan. Padahal, industri tekstil dan pakaian jadi ini sebelumnya digadang-gadang menjadi salah satu dari lima sektor manufaktur yang diprioritaskan pengembangannya, terutama dalam kesiapan memasuki era industri 4.0.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmadja dalam webinar nasional bertajuk ‘Indonesia Sehat dan Maju: Kebangkitan Ekonomi Pascapandemi’ mengungkapkan, untuk menunjang kebangkitan industri TPT, menghadapi ganjalan besar yang harus dihadapi oleh banyak pelaku industri, salah satunya adalah masalah sulitnya akses permodalan.
"Ini menambah panjang deretan permasalahan yang dihadapi setelah terjadinya banyak penundaan kontrak dan pembayaran, kenaikan harga bahan baku, nilai tukar yang bergejolak, kesulitan transportasi logistik selama pandemi, pengurangan pegawai, pembatasan jam operasional, hingga kenaikan biaya pengapalan dan masih banyak lagi lainnya," ungkap Jemmy, Kamis (11/3).
Atas berbagai permasalahan ini, menurut Jemmy, dibutuhkan adanya insentif dan berbagai kelonggaran, karena industri TPT di tanah air masih sangat berpotensi untuk kembali bangkit di tengah pandemi Covid-19 dan kembali berkembang.
Jemmy memaparkan, industri TPT sempat mengalami perlambatan pertumbuhan pada Q1 dan Q2 tahun 2020 yang disebabkan oleh berhentinya kegiatan perdagangan di dalam dan luar negeri karena pandemi Covid-19.
“Tetapi pada Q3 dan Q4 industri TPT berhasil bangkit kembali, terbukti dengan meningkatnya tingkat utilisasi, peningkatan penyerapan tenaga kerja, serta peningkatan PMI industri manufaktur,” papar Jemmy.
Pada QI 2021, lanjut Jemmy, terjadi lagi penurunan performa karena penerapan kebijakan PPKM Mikro sehingga terjadi pembatasan jam buka peritel yang otomatis membatasi akses konsumen.
“Inustri TPT mengharapkan adanya pelonggaran PPKM Mikro agar dapat member lebih banyak ruang untuk percepatan pemulihan ekonomi nasional,” lanjut Jemmy.
Selain pelonggaran, untuk mengatasi persoalan industri ini, Jemmy menegaskan pentingnya inovasi agar IKM lebih mudah dijangkau oleh masyarakat.
“Solusinya bisa dilakukan melalui pemberdayaan dan digitalisasi IKM melalui sinergi antara pemerintah, lembaga perbankan, dan para pelaku industri,” kata Jemmy seraya menggarisbawahi berbagai manfaatnya.
Bagi pemerintah, menurut Jemmy, melalui digitalisasi IKM ini, mereka berkesempatan untuk membantu secara signifikan dalam memberdayakan ekonomi masyarakat, dalam kemudahan pemberian modal kerja yang terkontrol, serta dalam meningkatkan kepatuhan terhadap perpajakan.
“Bagi industri, digitalisasi sangat membantu penyerapan hasil produksi dalam negeri dan untuk peningkatan daya saing produk TPT Indonesia di luar negeri. Sementara bagi perbankan, melalui digitalisasi ini, mereka juga bisa memberikan modal kerja yang tepat sasaran sekaligus menjadikan IKM menjadi bankable, sehingga bisa melepaskan IKM dari jerat rentenir," ungkap Jemmy.
Selain melalui program digitalisasi, menurut Jemmy, program pemberdayaan juga bisa dilakukan melalui optimalisasi penggunaan non-tariff measures (NTMs). Atas permasalahan yang ada, berharap pemerintah bisa memberikan bantuan kebijakan melalui skema pembiayaan perbankan, kelonggaran-kelonggaran dan insentif yang diperlukan sebagai stimulus untuk mendorong pemulihan dan utilisasi industri TPT.
(TRY/RZD)