Ilustrasi (Net)
Analisadaily.com, Medan - Karena diduga melanggar Surat Edaran (SE) Nomor 48/SE/1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil, seorang oknum anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Provinsi Sumatera Utara dilaporkan ke Ketua BPK RI, Inspektorat Utama BPK RI dan Kepala BPK Perwakilan Sumatera Utara.
Menurut M. Aldillah dari DHP Law Firm selaku kuasa hukum RDP, laporan tersebut disampaikan setelah oknum anggota BPK berinisial TMR itu dianggap melakukan pelanggaran sesuai aturan, yaitu tidak bersedia memberikan separuh gaji kepada RDP yang merupakan mantan istrinya. Padahal amanah SE tersebut mewajibkan demikian.
Aldillah mengungkapkan, TMR juga tidak mengindahkan ketentuan Pasal 8 ayat (1) PP Nomor 10 Tahun 1983 jo PP Nomor 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian PNS.
Menurutnya surat resmi kepada atasan yang bersangkutan akan dikirimkan dengan tujuan agar yang berwenang dapat menjatuhkan sanksi tegas kepada oknum pegawai tersebut.
Dijelaskan Aldillah, kejadian bermula setelah diterbitkannya izin dari BPK kepada TMR untuk menceraikan istrinya, RDP. Sedangkan sesuai peraturan pemerintah yang berlaku menjelaskan bahwa seorang PNS yang menceraikan istrinya dengan kehendak sendiri wajib dilakukan pemotongan terhadap gajinya.
"Berdasarkan Pasal 8 ayat (1) dan (3) PP Nomor 10/1983 jo PP Nomor 45/1990 yang menegaskan kewajiban mantan suami berstatus PNS kepada mantan istrinya tersebut, yakni berupa kewajiban menyerahkan sebagian gaji untuk penghidupan bekas istri dan anaknya," kata Aldillah, diterima
Analisadaily.com, Rabu (28/4).
Akibat pelanggaran dimaksud, Aldillah menyebut bahwa pihaknya telah menyampaikan somasi kepada Kepala Perwakilan BPK Provinsi Sumatera Utara karena melakukan perbuatan melawan hukum (Onrechtmatige Daad).
Bahkan, sambungnya, somasi tersebut telah kali kedua disampaikan karena kendati telah dilakukan pertemuan berkaitan pemotongan gaji, oknum pegawai tersebut menyampaikan surat keberatan kepada Kepala Perwakilan BPK Provinsi Sumatera Utara tertanggal 8 April 2021.
Aldillah mengatakan interprestasi yang benar mengenai SE Nomor 48/SE/1990 terkait kata wajib adalah harus dilakukan. Maka dari itu kewajiban yang dibebankan adalah untuk membuat surat pernyataan tertulis.
"Surat kepada atasan yang bersangkutan dikirimkan mengingat berdasarkan ketentuan tersebut pada Bab VIII mengenai pegawai yang tidak mematuhi ketentuan dimaksud dan dipertegas PP RI Nomor 30 Tahun 1980 telah diubah dengan PP RI Nomor 53 Tahun 2010 akan dijatuhi sanksi yang termaktub pada angka 3 bahwa salah satu hukuman disiplin berat yakni penurunan pangkat setingkat lebih rendah.
Atau pemindahan dalam rangka penurunan jabatan, pembebasan dari jabatan, pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri, atau dihukum pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS," jelas Aldillah.
Dalam keterangannya, Aldillah berharap kepada pimpinan BPK RI dapat memberikan perhatian serius terhadap kejadian yang menimpa kliennya tersebut sehingga kejadian serupa tidak dialami oleh istri pegawai dari berbagai instansi yang ada di Indonesia
(RMD/EAL)