Rinto Maha dari Lazzaro Law Office (Analisadaily/Istimewa)
Analisadaily.com, Medan - Para mantan anggota DPRD Sumut yang telah divonis bersalah terkait kasus suap mantan Gubernur Sumut, Gatot Pujonugroho kembali “bernyanyi”. Mereka merasa hukum tebang pilih, karena ada penerima suap tidak tersentuh hukum.
Hal tersebut dilakukan karena ada diantara rekan mereka sudah mengaku menerima suap tapi tidak kunjung ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Kita minta soal semua kasatgas yang tangani DPRD Sumut diperiksa. Termasuk soal Saut Situmorang yang terkesan membela Evi Diana, tidak ada klarifikasi dari dia yang kongkrit dan jelas," kata kuasa hukum sejumlah mantan anggota DPRD Sumut yang duduk di kursi pesakitan di Pengadilan Tipikor Medan, Rinto Maha, Selasa (25/5).
Rinto telah melaporkan mantan Kasatgas KPK Ambarita Damanik, Hendri N Christian, dan mantan Komisioner Saut Situmorang.
Rinto Maha merupakan kuasa hukum 6 orang mantan anggota DPRD yang divonis bersalah. Mulai Musdalifah, Rahmianna Delima Pulungan, Washington Pane, Safrida Fitri, Syahrial Harahap hingga Muhammad Faisal.
Total sebanyak 64 orang anggota DPRD Sumut yang telah menjadi tersangka KPK, dan ada yang telah menjalani proses hukum terkait tindak pidana korupsi memberi/menerima hadiah terkait fungsi dan kewenangan anggota DPRD Provinsi Sumut periode 2009-2014 dan/atau 2014-2019.
"Anehnya, Evi Diana istri dari Tengku Ery Nuradi, mantan Gubernur Sumut, kolega Saftrida Fitri di fraksi Golkar DPRD Sumut yang sudah mengakui menerima suap tidak dijadikan tersangka," sebutnya.
Begitu juga Hamami Sul Bahsyan yang aktif membagikan duit suap dan jadi perantara tidak tidak tersentuh hukum.
"Hamami Sul Bahsyan itu ditetapkan statusnya apa, apakah dia sebagai warga negara istimewa? Kan semua sama di mata hukum. Termasuk Evi Diana dan Aduhot Simamora (mantan) Wakil Ketua DPRD Sumut," katanya.
Rinto membeberkan kalau Hamami sebagai saksi yang disumpah tapi faktanya di persidangan keterangannya berubah-ubah dinilai memberikan keterangan palsu. Katanya, keterangan palsu dalam persidangan diancam pidana 6 tahun penjara. Tapi sampai hari ini diketahui statusnya hanya sebagai saksi KPK bukan tersangka.
"Keterangan dia berubah-ubah sepertinya jadi pembenaran. Semua orang sama statusnya di mata hukum sesuai amanat UUD 45, tapi khusus bagi Hamami Sul ini tidak berlaku? Dia memberikan keterangan palsu," kata Rinto.
Sementara itu dalam amar putusan Mahkamah Agung tentang tindak pidana korupsi tahun 2019 di PN Jakarta Pusat di mana terdakwa Ferry Tanuray Kaban divonis 4 tahun penjara, nama Hamami Sul Bahsyan disebutkan sebanyak 43 kali.
Hamami dalam putusan itu diketahui cukup aktif meminta komitmen dari 'uang ketok' Pemprov Sumut kepada Anggota DPRD Propinsi Sumatera Utara periode 2009-2014 terkait persetujuan APBD Tahun Anggaran 2015.
Termasuk diketahui Ahmad Fuad Lubis memberikan uang sejumlah Rp1,5 miliar kepada Saksi Hamami Sul Bahsyan. Uang tersebut untuk dibagi-bagikan kepada seluruh Anggota DPRD Sumut.
"Ini pilih kasih dan tebang pilih apa maksudnya. Ini mau menegakkan aturan hukum atau by order? Ini mau kita buka. Kita gak takut," beber Rinto.
Menurut Rinto, Situmorang CS dinilai tidak profesional menjalankan tugasnya saat menangani kasus DPRD Sumut yang terima suap Gatot karena diduga kuat menghalang-halangi penyidikan sesuai pasal 21 UU TPK.
Faktanya KPK tidak menjadikan Evi Diana, Hamami Sul Bahsyan dan Aduhot Simamora sebagai tersangka seperti 64 orang lainnya.
Dia juga menyinggung pengepul dan penyandang dana atau sponsor uang suap juga tidak dijatuhi hukuman apa-apa, sementara kliennya yang tidak mengakui menerima uang ketok di dipersidangan malah divonis bersalah.
Terkait hal ini Saut Situmorang sebelumnya meminta kepada para kuasa hukum yang menangnani kasus suap anggota DPRD Sumut supaya melaporkan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN).
"Jadi lebih pasti dan yakin adil, jujur dan benar karena memang ada salurannya," kata Saut.
(RZD)