Majelis Perhimpunan Pergerakan 98 (Analisadaily/Istimewa)
Analisadaily.com, Borbor - Dalam sepekan terakhir desakan menutup PT Toba Pulp Lestari (TPL) pasca bentrok karyawan PT TPL dengan masyarakat adat Desa Natumingka, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba, Sumatera Utara, semakin menguat.
Desakan penutupan PT TPL tersebut buntut bentrok karyawan saat menanam bibit eucalyptus di atas lahan yang diklaim warga sebagai areal wilayah adat pada Selasa 18 Mei 2021.
Ketua Majelis Nasional Perhimpunan Pergerakan 98, Sahat Simatupang, mengatakan desakan penutupan operasional PT TPL bukan sekadar reaksi dari warga di areal wilayah adat, namun bentuk perlawanan kepada perusahaan yang berdiri sejak tahun 1983 itu karena dianggap tidak membawa manfaat ekonomi apapun.
Sahat mengatakan, sejak kehadiran PT TPL, kemiskinan di tanah Batak bukannya berkurang. Penyebabnya, ujar Sahat, karena lahan konsesi PT TPL yang sebagian besar merupakan wilayah masyarakat adat Batak yang ditempati secara turun temurun, tak lagi bisa dikelola untuk bertani dan berkebun.
Masyarakat adat batak, ujar Sahat, telah bertani dan mengelola hutan di wilayah konsensi PT TPL lebih dari 15 generasi melalui rangkaian hak adat, tradisi serta aturan komunitas dan perorangan yang sangat ketat.
"Bagi masyarakat Batak seperti masyarakat adat lainnya, hutan adalah sumber air bersih dan tempat berlindung, obat-obatan, sumber pangan dan mata pencaharian. Banyak masyarakat adat Batak di lahan konsensi PT TPL membudidayakan dan menanam pohon kemenyan (styrax benzoin) sebagai sumber penghasilan uang. Dari ladang kemenyan atau haminjon itu lah orang tua Batak membayar biaya sekolah, BPJS kesehatan, bahkan menyekolahkan anak hingga bangku kuliah," tutur Sahat.
Sahat menyatakan, Perhimpunan Pergerakan 98 bersama-sama masyarakat adat akan berjuang untuk mendapatkan kembali hak tanah yang dimasukkan pemerintah ke dalam areal konsensi PT TPL di Kabupaten Asahan; Kabupaten Padang Lawas Utara, Kota Sidempuan, Kabupaten Simalungun, Dairi, Pakpak Bharat, Kabupaten Toba, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Samosir dan Humbang Hasundutan.
"Kami bersama masyarakat adat bergandengan tangan mengambil kembali dan mempertahankan lahan atau tanah adat itu," ujarnya.
Walaupun lahan adat telah diakui oleh masyarakat Batak selama bertahun-tahun, namun hak tersebut, sambung Sahat, belum diakui Pemerintah Indonesia secara terbuka.
"Jokowi hanya mengeluarkan 5.172 hektare lahan adat Pandumaan - Sipituhuta, Kabupaten Humbang Hasundutan dari wilayah konsesi PT TPL. Presiden mengakui lahan tersebut sebagai tanah adat. Padahal ada 100 ribuan hektare lagi lahan adat yang tidak dikeluarkan Jokowi dari lahan konsesi PT TPL. Ini pembohongan besar kepada masyarakat adat," terang Sahat.
Perampasan tanah adat dan perusakan ekosistim hutan di kawasan Tapanuli sekitarnya, ujar Sahat dimulai awal tahun 1980 an masa Orde Baru berkuasa, ditandai penyerahan lahan konsesi oleh Departemen Kehutanan untuk PT Inti Indorayon Utama, yang kemudian berubah nama menjadi PT TPL.
"Saat Indorayon membuka lahan konsesi pemberian rezim Orde Baru, mereka menghancurkan hutan, ladang dan hutan kemenyan yang luas. Saat hutan alam ditebang habis dan diubah menjadi hutan tanaman industri (HTI), tanaman eukaliptus yang rakus air mengeringkan sungai di sekitarnya dan menyebabkan berbagai dampak sosial dan lingkungan," jelasnya.
Selain merusak lingkungan dan mencaplok lahan adat, menuruy Sahat, dugaan praktik pengalihan keuntungan oleh PT TPL Tbk dan PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP)—anak usaha Asia Pacific Resources International Holdings Limited (APRIL Group) membuat desakan penutupan PT TPL menguat.
"Pemerintah harus menyahuti kegelisahan masyarakat di kawasan konsensi PT TPL. Perusahan untung namun diduga melakukan praktik culas yang diduga bertujuan mengurangi pendapatan dan keuntungan produsen di dalam negeri karena harga
Bleached Hardwood Kraft Pulp atau BHKP yang lebih murah dibanding dissolving pulp. Dengan begitu, kewajiban pajak mereka lebih rendah dari semestinya.Tapi kenapa pemerintah diam saja," ungkapnya.
Sahat ragu Presiden Jokowi berani menutup PT TPL meski desakan itu kian menguat. Dia juga mengkritik keberpihakan Jokowi kepada masyarakat adat Batak.
"Jokowi tidak akan seberani Presiden Abdurrahman Wahid atau Gusdur menutup PT Inti Indorayon Utama. Presiden Gusdur mencabut izin usaha Indorayon pada tahun 1999. Namun, di era pemerintahan Megawati Soekarnoputri perusahaan milik Sukanto Tanoto tersebut kembali diizinkan beroperasi dengan nama baru PT TPL," tutur Sahat
"Jokowi tidak akan berani menutup PT TPL meski masyarakat adat Batak tidak mendapat manfaat dari perusahaan tersebut, dan malahan ratusan ribu hektare lahan adat milik masyarakat dikuasai PT TPL," pungkas Sahat.
(JW/EAL)