Rumah yang berada di Jalan Sisingamangaraja No. 132, Kelurahan Teladan Barat, Kecamatan Medan Kota (Analisadaily/Istimewa)
Analisadaily.com, Medan - Pengadilan Negeri Medan Kelas I-A Khusus melayangkan surat pemberitahuan eksekusi kepada pemilik rumah yang berada di Jalan Sisingamangaraja No. 132, Kelurahan Teladan Barat, Kecamatan Medan Kota. Alhasil, pemilik rumah mempertanyakan surat eksekusi tersebut.
Pemilik rumah, John Robert, mengatakan surat berkop Pengadilan Negeri Medan Kelas I-A Khusus itu dinilainya banyak kejanggalan dan cacat hukum.
Surat itu memerintahkannya mengosongkan bangunan karena akan dieksekusi. Anehnya, surat bernomor W2.U1/24632/Hk.02/XI/2021 tertanggal 2 Desember 202 itu hanya ditandatangani An. Ketua Pengadilan Negeri Medan Panitera Eddi Sangapta Sinuhaji. Disebutkan dalam surat, eksekusi akan dilakukan 7 Desember 2021 oleh jurusita Pengadilan Negeri Medan.
Tidak hanya milik John Robert, tanah yang berbatasan (belakang) dengan miliknya yang dimiliki Jhon Burman Sianipar juga akan dieksekusi. Bahkan tanah milik Jhon Burman itu mulai ditembok. Padahal keduanya memiliki sertifikat hak milik (SHM) masing-masing.
"Banyak kejanggalan surat ini dan cacat hukum. Bagaimana bisa pengadilan mau mengeksekusi tanah dengan SHM yang sertifikatnya masih sah. Dasar hukumnya apa? SHM itu kan dikeluarkan BPN yang diberi wewenang oleh negara. Kalau pun ada kasus semacam ini, setahu saya, sertifikatnya harus dibatalkan dulu, baru bisa diproses," kata John Robert, Jumat (3/12).
Menurut John Robert, tanah yang dimilikinya itu telah beberapa kali ia agunkan ke bank dan tidak pernah ada masalah. Hal itu membuktikan bahwa SHM yang dimilikinya sah. Jika pun benar surat itu dikeluarkan pengadilan, maka harus dibatalkan karena cacat hukum.
"Selama ini bangunan di atas tanah milik saya itu, digunakan untuk berbagai keperluan sosial, antara lain kantor Yayasan Sisingamangaraja XII, Perhimpunan Jendela Toba dan juga usaha keluarga," ucapnya.
Hal sama ditegaskan Jhon Burman. Pria yang berdomisili di Jakarta ini mengaku terkejut mendengar kabar jika tanah miliknya itu sudah ditembok.
Jhon Burman mempertanyakan mengapa tanah yang sertifikatnya dikeluarkan aparatur negara tidak diakui aparatur negara lainnya. Apalagi tidak ada pihak yang mengklaim memiliki sertifikat yang sama dengan yang mereka punya.
"Sedangkan bila ada dua pihak yang mengklaim punya sertifikat yang sama, proses hukumnya panjang dan tidak serta merta bisa dieksekusi. Ini jelas-jelas permainan. Kami tidak akan tinggal diam dan akan menelusuri pihak-pihak yang terlibat. Saya sendiri membeli tanah ini dari Syamsul Sianturi dan berstatus SHM. Anehnya lagi, di surat pemberitahuan eksekusi itu dibuat tembusan tanpa lampiran kepada Kapolda Sumut dan Ketua Pengadilan Tinggi Sumut. Maksud tembusan tanpa lampiran ini apa? Ini surat pemberitahuan eksekusi, tapi bentuk suratnya seperti main-main, bahkan yang menandatangani juga mengatasnamakan," terangnya.
Jhon Robert menjelaskan terkait ikhwal pembelian tanah itu, di mana sebidang tanah yang diperkarakan panjangnya kurang lebih 100 meter (belum ikut potong jalan) dengan lebar 9 meter dibelinya dari Irfan Anwar pada 2006.
"Sebelumnya Irfan membeli tanah itu dari Margaret Br Sitorus pada 2005. Setelah membelinya, Irfan kemudian menjual tanah itu kepada tiga pihak. Yakni kepada saya. Muntaser dan sebidang lagi kepada bank. Setelah membeli sebidang dari Irfan, saya kemudian juga membeli milik Muntaser. Satu bidang lagi yang dijual ke bank, dibeli Syamsul Sianturi. Lalu Syamsul Sianturi menjualnya ke Jhon Burman. Ketiga bidang tanah itu memiliki sertifikat (SHM) masing-masing. Dua sertifikat milik saya dan satu sertifikat milik Jhon Burman," jelasnya.
Margaret br Sitorus sendiri adalah istri dari Kasianus Manurung. Pasangan yang menikah pada 1938 ini tidak memiliki anak.
Kemudian Kasianus menikah lagi dengan Orna Doloksaribu. Pernikahan kedua Kasianus itu relatif lama baru diketahui Margaret. Kasianus meninggal tahun 2005 dan Margaret meninggal tahun 2007. Sebelum Margaret meninggal, pihak Orna sudah mulai menggugat tanah itu yang proses hukumnya kini masih berlangsung.
"Tahun 2021 mereka (pihak Orna) melayangkan gugatan ke PTUN meminta sertifikat itu dibatalkan. Namun gugatan itu ditolak. Kabarnya mereka sedang banding. Ini juga satu kejanggalan bagaimana bisa objek yang masih dalam proses hukum mau dieksekusi," ungkap John Robert.
Lagipula, sambung John Robert, sebagai pembeli dengan itikad baik, sekaligus pemilik tanah yang diperkarakan, mereka tidak pernah dilibatkan dalam proses persidangan yang sudah berpuluh tahun. Bahkan pihak Pengadilan Negeri Medan juga tidak pernah melihat langsung objek perkara.
"Pertanyaannya lagi, mengapa gugatan itu dilayangkan pihak Orna setelah terjadi transaksi jual beli yang sah atas tanah itu," tandasnya.
(JW/EAL)