Direktur Eksekutif Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara, Tongam Panggabean, saat memberikan keterangan mengenai catatan akhir tahun BAKUMSU di Caldera Coffee di Jalan Sisingamangaraja, Medan, Senin (20/12). (Analisadaily/Istimewa)
Analisadaily.com, Medan – Direktur Eksekutif Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu), Tongam Panggabean mengatakan, tantangan advokasi kedepan bakalan semakin tinggi, karena Pemerintah membangun pola pendekatan yang sepihak, tidak melibatkan partisipasi masyarakat.
“Tantangan advokasinya tidak hanya terhadap perlindungan hak-hak masyarakat adat, tapi juga di sektor agraria, seperti pertambangan, perkebunan yang akan tinggi. Keberpihakan Pemerintah pun sangat minim pada pemenuhan hak-hak asasi manusia, termasuk lingkungan,” kata Tongam usai menyampaikan catatan akhir tahun Bakumsu di Caldera Coffee di Kota Medan, Senin (20/12).
Kata dia, kondisi itu terlihat ketika Menteri Lingkungan Hidup dan Hutan, Sitinurbaya, mengatakan arahan Presiden Joko Widodo terkait pembangunan yang tidak boleh terhambat hanya karena isu
zero deforestation. Menurut Tongam, meskipun pernyataan itu tidak mengikat, tapi itu menunjukkan, masyarakat dihadapkan pada tantangan yang sangat besar.
Karena, dia menilai, Pemerintah tidak menganggap pemenuhan hak-hak masyarakat adat, hak lingkungan itu menjadi prioritas, dan sebaliknya Pemerintah merasa, bahwa investasi bisa menyelesaikan atau pun menjawab semua persoalan.
“Itu menjadi tantangan. Jadi, kita bersama-sama elemen masyarakat sipil, pastinya harus lebih belajar lagi melihat situasi ini, lalu mencoba memformulasikan strategi yang tepat supaya tidak terjadi kemandekan dalam pemenuhan hak masyarakat. Misalnya dengan mendorong transparansi informasi, apalagi ini kan kewajiban pemerintah,” sambungnya.
Lebih dalam Tongam menjabarkan, kejahatan lingkungan itu dimulai dengan kejahatan informasi, seperti informasi yang disembunyikan, dipabrikasi untuk kepentingan tertentu. Karena itu ia mendorong keterbukaan itu agar tidak terjadi keterbelahan di masyarakat. Ada yang pro dan kontra, seperti pandangan warga soal proyek pertambangan Dairi Prima Mineral (DPM).
“Kita tidak menyalahkan pemikiran masyarakat, karena itu adalah hak asasi manusia, baik yang menolak maupun yang mendukung. Tetapi yang kita sangat sayangkan adalah sikap Pemerintah atau DPM yang tidak membuka informasi seluas-luasnya kepada masyarakat untuk menjadi bahan pertimbangan dalam bersikap, terkait perusahaan yang berpotensi terdampak pada warga. Soal ini, surat sudah kita layangkan kepada KLHK pekan lalu,” papar Tongam.
Tongam lanjut menjelaskan, ada 26 poin yang sebenarnya mengakomodir pendapat ahli independen, Bakumsu dan tuntutan masyarakat. Beberapa diantaranya, yaitu memperjelas lokasi, apakah berada di kawasan hutan atau di areal lain di luar kawasan hutan.
Poin berikutnya, tidak disebutkan rona awal. Rona awal lingkungan merupakan kondisi alam atau komponen-komponen awal sebelum perencanaan dan pembangunan fisik dimulai. Misalnya, aliran sungai, tanaman endemik, satwa dilindungi, termasuk juga situasi objektif, bahwa Dairi itu daerah gempa.
“Itu elemen yang harus dipertimbangkan saat mengalisis dampak lingkungan ketika melakukan pertambangan. Masih banyak lagi, termasuk partisipasi masyarakat yang rendah. Itu adalah berita acara resmi,” kata Tongam.
Di samping itu, sebelumya ia juga menjabarkan tantangan masyarakat adat yang memprotes operasional perusahaan Toba Pulp Lestari. Kata Tongam, soal TPL memang sudah jadi isu nasional dan dibuktikan setelah aktivis lingkungan, Togu Simorangkir dan kawan-kawan diterima Joko Widodo di istana negara.
Tidak lama kemudian KLHK menemui masyarakat adat pada Oktober lalu dalam rangka verifikasi dan klarifikasi sebagaimana dijanjikan Jokowi akan diselesaikan. Akan tetapi, tantangannya, Pemerintah saat ini terjebak pada hal-hal yang prosedural, bukan substansi.
“Artinya, pengakuan perlindungan masyarakat itu masih dianggap sebagai pengakuan yang bersyarat. Ini tantangan kita. Bila tidak ada masyarakat adatnya tidak dilindungi dan kalau ada dilindungi. Padahal, secara prosedural, itu tidak diatur. Kita lihat, ada kekosongan legislasi, termasuk rancangan undang-undang tentang hak masyarakat adat di nasional tidak selesai,” ucapnya.
Masih kata Tongam, tantangan yang lainnya, di tingkat provinsi juga Perda perlindungan masyarakat adat yang dianggap menjadi paying hukum untuk menyelesaikan konflik masyarakat adat dengan perusahaan dan hutan negara itu ternyata tidak diteruskan pembahasannya oleh Badan Legislasi Dewan Perwakilan Daerah Rakyat (DPRD) Sumatera Utara.
Dibeberapa kabupaten sudah punya perda, di Toba dan Tapanuli Utara. Tapi masalahnya, itu tidak menjadi acuan utama menyelesaikan konflik. Misalnya tuntutan 23 komunitas masyarakat adat yang selama ini kita suarakan di kawasan Danau Toba, yang sebagian besar berkonflik dengan TPL itu diselesaikan lewat aturan Pemeritah Pusat atau Menteri.
“Pemerintah tidak melihat kenyataan, di daerah itu ada masyarakat adat dan Perda. Harusnya itu menjadi legitimasi, bahwa ada pengakuan pemerintah terhadap itu, dan tugas negara untuk memfasilitasinya, bukan menuntut masyarakat membuktikan diri. Jadi itu, bicara kendala kita terjebak pada prosedural,” tambah Tongam.
(CSP)