Guru Besar sekaligus Dosen Hukum USU, Prof Zulfirman (Analisadaily/Istimewa)
Analisadaily.com, Medan - Terkait viralnya di media sosial (medsos) putusan 3 hakim Pengadilan Negeri (PN) Bekasi yang menolak gugatan perceraian lantaran tanpa melibatkan dalihan na tolu, Guru Besar sekaligus Dosen Hukum USU, Prof Zulfirman, menyampaikan stetmentnya.
Hal ini bermula dari Law Office Raja Tahan Panjaitan SH dan Partners melaporkan 3 hakim PN Bekasi, Ranto Indra Karta, Abdul Rofik, dan Rakhman Rajagukguk ke Komisi Yudisial, Ketua Mahkamah Agung, dan ke Badan Pengawasan MARI.
Dalam keterangannya, Prof Zulfirman menyebutkan, dilihat kasusnya, ada kekeliruan pada putusan majelis hakim. Mediasi perkara perdata tetap di PN, walaupun perkawinannya menurut adat, bukan ke lembaga adat (Dalihan Natolu).
"Sebab dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 telah terjadi univikasi hukum perkawinan. Dan dalam UU jelas dinyatakan perkawinan hanya diwarnai oleh hukum agama dan kepercayaan bukan oleh hukum adat. Ada baiknya lakukan banding atas putusan tersebut. Majelis hakim tidak profesional atau unprofesional conduct dalam memeriksa perkara yang ditanganinya," kata Zulfirman, Selasa (28/12).
Penegasan Zulfirman ini pascadiberitahu terkait dugaan ketiga majelis hakim yang memeriksa dan menangani perkara a qou dalam putusannya terkesan menunjukkan dan melakukan perbuatan “Abuse Of Power” (penyalahgunaan kekuasaan, dalam bentuk penyimpangan jabatan atau pelanggaran resmi); yang dilaporkan oleh Law Office Raja Tahan Panjaitan SH & Partners kepada KY dan Mahkamah Agung.
Adapun “Abuse Of Power” menurut yang dilakukan oleh majelis hakim menurut hemat penasehat hukum ‘JS’ selaku principal yakni sebagai berikut: sebelum pemeriksaan pokok dilakukan, upaya mediasi sesuai aturan PERMA Nomor : 01 Tahun 2016 sudah terlebih dahulu ditempuh, namun mengalami jalan buntu atau tidak berhasil (deadlock);
Kemudian seiring berjalan pemeriksaan pokok perkara, majelis hakim masih berusaha dan berupaya untuk mendamaikan dengan berbagai cara, namun tetap gagal dan mengalami kebuntuan.
Selanjutnya, selama pemeriksaan perkara, majelis hakim mengabaikan azas peradilan yang baik (azas pemeriksaan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan, sebagaimana amanat pasal 2 (dua) ayat 4 (empat) UU RI No 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman) karena mengikuti permintaan Tergugat untuk menunda-nunda pemeriksaan saksi Penggugat yang diketahui keberadaannya datang dari luar Bekasi (Pekan Baru, Sumatera);
Lalu dalam putusannya, majelis hakim terkesan tidak berdasar hukum dan cenderung mengada-ada karena menyebut, gugatan Penggugat premature dan tidak dapat diterima dengan alasan pertimbangan hukum bahwa Penggugat dan Tergugat adalah orang Batak, dimana menurut adat batak perceraian adalah cacat besar bagi keluarga besar sehingga harus terlebih dahulu melibatkan lembaga adat batak yang bernama Dalihan Natolu untuk menyelesaikan masalahnya.
(JW/RZD)