Kekerasan dalam Perang, Belanda Minta Maaf Kepada Indonesia

Kekerasan dalam Perang, Belanda Minta Maaf Kepada Indonesia
Presiden Indonesia, Joko Widodo dan Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte berjalan selama pertemuan mereka di istana kepresidenan di Bogor, Indonesia, 7 Oktober 2019. (Reuters/Willy Kurniawan/File Photo)

Analisadaily.com, Amsterdam - Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte, menyampaikan permintaan maaf penuh kepada Indonesia setelah tinjauan sejarah menemukan, Belanda telah menggunakan "kekerasan berlebihan" dalam upaya untuk mendapatkan kembali kendali atas bekas jajahan mereka setelah Perang Dunia II.

Rutte menanggapi temuan studi tersebut, yang mengatakan militer Belanda telah terlibat dalam kekerasan sistematis, berlebihan dan tidak etis selama perjuangan kemerdekaan Indonesia tahun 1945-1949, dan ini telah dimaafkan oleh pemerintah dan masyarakat Belanda pada saat itu.

"Kami harus menerima fakta yang memalukan. Saya meminta maaf yang sebesar-besarnya kepada rakyat Indonesia hari ini atas nama pemerintah Belanda," kata Rutte pada konferensi pers setelah temuan itu dipublikasikan dilansir dari Reuters, Jumat (18/2).

Temuan tinjauan, yang didanai pemerintah Belanda pada tahun 2017 dan dilakukan akademisi dan pakar dari kedua negara, dipresentasikan di Amsterdam pada hari Kamis (17/2).

Sejarawan dari Institut Sejarah Militer Belanda, Ben Schoenmaker mengatakan, kekerasan militer Belanda, termasuk tindakan seperti penyiksaan yang sekarang akan dianggap sebagai kejahatan perang, sering dan meluas.

"Politisi yang bertanggung jawab menutup mata terhadap kekerasan ini, seperti halnya otoritas militer, sipil dan hukum, mereka membantunya, mereka menyembunyikannya, dan mereka menghukumnya hampir atau tidak sama sekali," kata Schoenmaker, yang merupakan satu dari sekian banyak peneliti yang tergabung dalam studi itu.

Sekitar 100.000 orang Indonesia tewas sebagai akibat langsung dari perang, dan meskipun persepsi konflik telah berubah di Belanda, pemerintah Belanda tidak pernah sepenuhnya memeriksa atau mengakui ruang lingkup tanggung jawabnya.

Pada tahun 1969 pemerintah Belanda menyimpulkan bahwa pasukannya secara keseluruhan telah berperilaku benar selama konflik, tetapi mengakui pada tahun 2005 bahwa mereka berada di sisi sejarah yang salah.

Pada Maret 2020, saat berkunjung ke Indonesia, Raja Willem-Alexander, membuat permintaan maaf yang mengejutkan atas kekerasan yang dilakukan Belanda.

Pemerintah kemudian menawarkan kompensasi 5000 euro ($ 5.600) kepada anak-anak Indonesia yang telah dieksekusi selama konflik setelah penyelesaian tahun 2013 dengan janda dari satu pembantaian terkenal di desa Ragawede pada tahun 1947. Rutte menyampaikan, Belanda tetap terbuka untuk menyelesaikan kompensasi.

Studi tersebut menemukan bahwa pemerintah mengirim tentara pada misi yang mustahil yang tidak dilatih dengan baik. Beberapa kemudian terlibat dalam tindakan penyiksaan, pembunuhan di luar proses hukum dan penggunaan senjata yang tidak proporsional.

Baik Rutte maupun akademisi yang terlibat dalam penelitian tersebut menolak untuk membahas apakah Belanda mungkin bertanggung jawab atas kejahatan perang dalam konflik tersebut.

"Itu urusan jaksa penuntut umum. Laporan itu memang tidak ditulis dari sudut pandang hukum tetapi dari segi sejarah, tetapi bagaimanapun juga, hal-hal terjadi di sana yang hari ini kami kutuk sepenuhnya," ucap Rutte.

Studi tersebut mencatat, pemerintah dan militer Belanda mendapat dukungan dari masyarakat yang setuju dan media yang tidak kritis, semuanya berakar pada "mentalitas kolonial".

"Jelas bahwa pada setiap tingkat, Belanda tanpa ragu menerapkan standar yang berbeda untuk 'subyek' kolonial," ringkasan temuan tersebut mengatakan.

Meskipun studi tersebut berfokus pada tindakan Belanda, ia mencatat pasukan Indonesia juga menggunakan kekerasan "intens", dan menewaskan sekitar 6.000 orang pada fase awal konflik, dengan sasaran orang Eurasia, Maluku, dan kelompok minoritas lainnya.

(CSP)

Baca Juga

Rekomendasi