Tangkapan layar diskusi ‘Kekerasan Berekspresi dan Terbebas dari Kekerasan Online’ yang diselenggarakan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Cabang Medan Komisariat Universitas HKBP Nommensen Medan, secara virtual, Jumat (11/3). (Analisadaily/Istimewa)
Analisadaily.com, Medan – Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Veriyanto Sihotang, mengatakan kasus kekerasan pada perempuan di Indonesia dalam setahun mencapai 334 ribu kasus pada 2021 atau bahkan lebih dari itu. Jumlahnya bisa jauh lebih banyak, karena tidak semua korban kekerasan secara terbuka berani menyampaikannya kepada publik.
“Tapi, di sini saya ingin menyampaikan, kasusnya meningkat setiap tahun. Berdasarkan aduan yang kita terima, pada 2021 sebanyak 4.322 kasus dan tahun 2020 ada 2.899 kasus,” kata Veriyanto dalam diskusi ‘Kekerasan Berekspresi dan Terbebas dari Kekerasan Online’ yang diselenggarakan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Cabang Medan Komisariat Universitas HKBP Nommensen Medan, secara virtual, Jumat (11/3).
Tidak sampai di situ, Komnas Perempuan juga melakukan pendataan terhadap sepuluh provinsi terbesar di Indonesia terkait angka kekerasannya terhadap perempuan yang tinggi. Kata Veri, Sumatera Utara pada tahun 2021 masuk peringkat lima besar paling banyak kasus kekerasan terhadap perempuan.
“Jadi, ada sekitar 17.081 kasus di Sumatera Utara yang dilaporkan ke Komnas Perempuan. Ini saya pikir jadi salah satu keprihatinan kita, karena orang lain perkirakan baik-baik saja, ternyata kasus kekerasan pada perempuan sangat tinggi,” papar Veri.
Ada pun daerah lain yang tingkat kekerasan pada perempuan sangat tinggi, diantaranya Jawa Barat 58.395 kasus, Jawa Timur 54.507, Jawa Tengah 52.697, Sumatera Utara 17.081, DKI Jakarta 14.863, Sulawesi Selatan 14.975, Lampung 12.260, Riau 12.017, Sumatera Selatan 10.083, dan Sumatera Barat 9.237.
Pada kesempatan itu, ia menjelaskan, kasus kekerasan berbasis gender ini sebenarnya sebuah fenomena yang mengkhawatirkan, apalagi di masa pandemi sekarang ini ada banyak penduduk Indonesia beraktivitas di ruang-ruang virtual atau menggunakan media sosial. Namun pada saat yang sama, kekerasan berbasis siber juga mengintai di sana.
Kekerasan Siber
“Kami kemudian mencatat kasus berbasis siber ini. Misalnya tahun 2020 ada sekitar 900-an, tetapi setahun berikutnya naik menjadi 1.500 kasus. Saya pikir ini situasi yang sangat mencengangkan, dan temuan kami korban-korban kekerasannya adalah anak-anak muda perempuan, bahkan masih di bawah umur. Menurut saya, ini persoalan yang sangat mengkhawatirkan,” tegas mantan aktivis Aliansi Sumut Bersatu itu.
Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Veriyanto Sihotang, saat memaparkan materi dalam diskusi ‘Kekerasan Berekspresi dan Terbebas dari Kekerasan Online’ secara virtual, Jumat (11/3).
Komnas Perempuan melalui sebuah kajian mendefenisikan, bahwa kekerasan siber berbasis gender tersebut merupakan kekerasan yang difasilitasi teknologi. Kejahatan ini sering kali menghubungkan bagian tubuh perempuan sebagai objek pornografi.
Masih kata Veri, dalam temuan mereka, ada beberapa bentuk-bentuk kekerasan siber berbasis gender, yaitu mengambil data pribadi tanpa izin (doxing), pencemaran nama baik (defamation), serangan berisi ancaman pelecehan (flaming), mempermalukan (outing) dan konten yang merendahkan (oline shaming).
Karena itu, bila ada yang menerima penyebaran video porno, ia mengingatkan, sebaiknya itu berakhir di tangan sendiri. Tidak disebar ke publik atau ikut-ikutan mengejek-ejek korban, karena bisa terjerat hukum. Bila menjadi korban, maka sebaiknya segera melaporkan, termasuk kepada Komnas Perempuan.
“Jadi saya minta harus hati-hati dalam bermain di dunia teknologi, jangan mudah tergoda apabila ada yang memberikan tawaran-tawaran melalui media sosial, apalagi belum pernah bertemu dan mengenal orang tersebut. Kerentanan perempuan menjadi sangat tinggi dalam konteks kekerasan siber berbasis gender. Sehingga kami tidak hanya sebatas sosialisasi, namun juga mengingatkan lebih kita mencegah daripada mengobati,” kata Veri.
Pencegahan
Mengurangi kasus kekerasan seksual dalam dunia pendidikan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi mengesahkan Permendikbud Ristek No.30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi. Kata Veri, Menteri Nadiem Makarim menilai ada tiga dosa besar di Perguruan Tinggi, yakni kekerasan seksual, bullying dan intoleransi. Saat ini, Nadiem mulai mengurusi poin pertama itu.
“Di dalam Permendikbud itu, nanti akan dibentuk sebuah satuan gugus tugas (Satgas) pencegahan dan penanganan. Anggota Satgas itu terdiri dari mahasiswa dan juga unsur-unsur dosen. Jika kalian saat ini sudah mendapatkan pengetahuan soal kekerasan seksual, ya, jangan berdiam diri. Teman-teman harus pro aktif di dalam kampus terkait Satgas tersebut,” ucapnya.
“Selain itu, kita juga mendorong agar legislatif segera mensahkan Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUUTPKS). Karena kita berharap, dalam RUU ini ada elemen-elemen yang menjadi komprehensif melindungi korban, termasuk mencegah supaya kemudian kasus ini tidak terjadi. Kita juga sudah memberikan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) ke DPR,” tutur mantan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Dairi ini.
Dia menambahkan, sekali lagi yang paling penting adalah jangan menunggu kasus tersebut menimpa diri sendiri lalu kemudian gelisah dan berkoar-koar. Tetapi penting juga untuk menunjukkan solidaritas terhadap siapa pun yang menjadi korban, mendukungnya, menolong dan yang paling utama tidak menjadi pelaku serta tidak membuat stigma pada korban.
(CSP)