Acara Peluncuran dan Bedah Buku Kumpulan Cerpen Siksa Dosa di Ujung Usia, karya A Yusran diadakan Jumat (25/3) menampilkan pembicara Romulus Z.I. Siahaan, dan Tikwan Raya Siregar. (dok. Penerbit Swarnadwipa) ()
Analisadaily.com, Medan - Buku kumpulan cerpen Siksa Dosa di Ujung Usia, yang berisi 13 cerita pendek karya A. Yusran, telah diluncurkan sekaligus dibedah pada Jumat (25/3) di Medan. Bertindak sebagai pembedah penyair sekaligus Bishop Gereja Methodist Merdeka Indonesia. Romulus Z.I. Siahaan, dan pengamat sastra, Tikwan Raya Siregar. Acara bedah buku dan diskusi dipandu aktor teater yang juga guru Bahasa Indonesia, Haykal Abimayu
Dalam paparannya, Romulus menyebut 13 cerpen karya A. Yusran merepresentasikan isi pikiran, pengamatan sekaligus potret pribadi pengarang. Romulus mengaku dirinya cukup kenal dengan si pengarang. Ia bahkan sudah cukup lama menjalin persahabatan deng A. Ysranl.
“Jika bertemu, kami betah berdiskusi berjam-jam,” ujar Romulus. Karena itu ia paham bahwa ketigabelas cerpen itu menunjukkan pikiran-pikiran sahabatnya itu. “Saya rasa karya ini memang sangat berguna bagi generasi mendatang,” katanya.
Sedang Tikwan Raya menyebut karya-karya A. Yusran merupakan sebuah tawaran untuk menemukan jalan pulang. Cerpen-cerpen itu menurutnya tidak dimaksudkan untuk konsumsi semua kalangan. Apalagi untuk generasi milenial yang kurang membaca.
Pengarang Yang Kesepian
“Cerpen-cerpen Datuk ini sedikit peminatnya. Karena untuk memahami jalan pikirannya harus banyak membaca. Dan tentu saja harga yang harus dibayar mahal oleh pengarang sendiri ialah dirinya kesepian, karena jalan pikirannya tidak banyak diminati dan dimengerti oleh banyak orang ketika ia hidup, tapi hanya sedikit orang. Begitulah nasib para pemikir biasanya. Ketika dia sudah tiada, suaranya akan lebih keras lantang dari dalam kuburannya,” kata Tikwan.
Menurut Tikwan sebagai pengarang, A. Yusran tidak sabar dalam menuliskan sebuah ide yang sangat besar hanya dalam wadah yang begitu kecil yakni cerpen.
“Mengapa tidak novel misalnya? Tapi ya begitulah Datuk. Baginya cerpen dan bentuk-bentuk karya tulis lainnya hanyalah wadah bukan tujuan. “ujarnya. A. Yusran tidak pernah menulis hanya untuk keisengan. Tulisannya sangat determinatif, cerpen-cerpennya mengabaikan metode sastra kebanyakan, dan kita akan kesulitan jika memakai kaidah teori sastra.
Gagasan Feminisme
Beberapa cerpen A. Yusran dinilai Tikwan sangat dekat dengan gagasan feminisme misalnya, didasarkan melalui dua aspek mendasar yakni kekuasaan dan kenyataan. Dia tidak akan bicara sebuah perlawanan dalam teks, tanpa melihat dua kutub kekuasaan yang bertolak belakang. Secara keseluruhan karya A. Yusran sangat kental dengan paham eksistensialis yang bercorak Timur bukan Barat. Kesemua cerpen hampir rata melabrak batas-batas.
“Di awal kita kenali cara berpikirnya seperti A misalnya, namun ternyata tidak A, Karya-karya Datuk berbau tasawuf dengan maqom (tingkatan) yang tinggi, ” kata Tikwan. Datuk adalah panggilan kafrib A. Yusran
Ali Yusran gelar Datuk Majoindo, lahir di Bukittinggi, 19 Januari 1940. Ia wafat pada 30 Maret 2021, meninggalkan lima orang anak dan delapan cucu. Zulkifli, anak laki-laki tertua mengucapkan terima kasih kepada banyak pihak yang telah membantu terlaksananya acara peluncuran dan bedah buku karya orang tuanya tersebut. Ia mengaku bangga menjadi anak biologis A. Yusran. Hingga kini ia mengaku masih terus belajar memahami cara berpikir ayahnya.
“Ayah, memang berbeda dari kebanyakan orang lain. Beliau gemar berpikir mendalam, pikirannya jernih, tidak terkesan dilandasi kepentingan pribadi, hatinya tulus. Dari penjelasan nara sumber dan tanggapan hadirin, saya semakin banyak mengerti jalan pikiran ayah. Sejauh ini ibu sambung sayalah yang saya anggap bisa menerjemahkan pikiran-pikiran ayahsaya,” katanya.
Aishah Bashar, aktris teater, guru sekaligus Kepala Sekolah di SMAN I Barus, Tapanuli Tengah, menyebut Ali Yusran tidak saja sebagai kawan dalam bersastra. “Ali Yusran atau Datuk adalah seorang ayah bagi kami. Ia tempat kami berkeluh kesah dan selalu menerima kami dalam kondisi apa saja. Pikiran-pikirannya luas, orangnya ramah dan sangat cerdas serta begitu peduli. Tenanglah di sana ya Datuk, kami semua menyayangimu,” kata Aishah.
Tengah disiapkan Buku Kumpulan Esai dan Novel
Sementara Dini Usman, istri almarhum yang juga seorang penulis dan Ketua
Deli Art Community, menyebut bahwa suaminya banyak meninggalkan karya tulis. Buku
Siksa Dosa di Ujung Usia, adalah buku kedua. Buku pertamanya adalah buku kumpuplan puisi berjudul
Petapa Akhir Abad, Kumpulan 77 Puisi. Buku tersebut diluncurkan pada 2016 lalu. Dini menyebut, ke depan ia merencanakan untuk menerbitkan kumpulan esai kebudayaan dan novel A. Yusran.
Acara peluncuran dan bedah buku
Siksa Dosa di Ujung Usia menurutnya dilakukan dalam rangka mengenang setahun kepergian A. Yusran sebagai salah satu pengarang di Sumatera Utara, sekaligus mengabdikan dirinya sebagai bagian dari gerakan sosial pro demokrasi.
“Semoga karya-karya karya A. Yusran bisa menyemarakkan dunia sastra dan mendorong berkembangnya gerakan literasi di Sumut dan Indonesia,” harap Dini Usman. Acara peluncuran juga dimeriahkan
dramatical reading oleh aktor teater gaek Sumut, Eko Satrio, yang membacakan salah satu cerpen A. Yusran,
Di Sepenggal Waktu. Cerpen itu berkisah seorang pejalan kaki renta, bertemu dengan banyak objek yang menggelisahkan seluruh panca inderanya. Dalam dialog yang sarat makna antar tokoh dan mahluk yang ditemuinya, lelaki itu dengan sadar menyimpulkan bahwa sejarah manusia belum dimulai. Ia mengakui dan memilih mundur menjadi manusia. Ia ikhlas menjadi bagian dari para binatang yang gagal menggunakan otaknya.
Dimata Suyadi San, pengamat sastra Sumut yang kini bergabung di BRIN, buku
Siksa Dosa di Ujung Usia adalah sebuah karya besar karena mengangkat sisi kehidupan manusia secara universal, berlaku sepanjang zaman, menukik pada kehidupan yang nyata dan sangat berjiwa. Buku kumpulan cerpen
Siksa Dosa di Ujung Usia diterbitkan Penerbit Swarnadwipa Medan. (rel/ja)
(JA)