Dedi Junaedi, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan (Analisadaily/Istimewa)
Analisadaily.com, Jakarta - Bantuan Sarana dan Prasarana dengan menggunakan dana BPDPKS terdiri dari 8 program. Tujuannya adalah meningkatkan daya saing pekebun sawit juga meningkat nilai tambah.
Dedi Junaedi, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan menyatakan hal tersebut pada Webinar seri ke 4 dengan tema “Dampak Positif Program PSR dan Pengembangan SDM Bagi Petani Sawit yang dilaksanakan oleh Media Perkebunan yang didukung oleh BPDPKS”, di Jakarta.
Ada 8 kegiatan sarpras perkebunan kelapa sawit yaitu benih, pupuk dan pestisida (ekstensifikasi); pupuk dan pestisida (intensifikasi); alat pascapanen dan unit pengolahan hasil; peningkatan jalan dan tata kelola air; alat transportasi; mesin pertanian; infrastruktur pasar; verifikasi teknis (ISPO atau Indonesian Sustainable Palm Oil).
“Masing-masing kegiatan punya persyaratan yang berbeda,” kata Dedi, Selasa (17/5).
Ekstensifikasi misalnya, sesuai dengan kebijakan Presiden Jokowi yang ingin membangun wilayah perbatasan sebagai halaman muka maka diprioritaskan di wilayah perbatasan seperti di Kalbar dan Kaltim yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Intensifikasi diprioritaskan untuk wilayah yang masih berada dibawah garis kemiskinan atau kebun sawitnya pernah terkena bencana alam.
Alat pasca panen dan unit pengolahan hasil, mengingat kondisi pekebun swadaya saat ini kekurangan pendampingan, dengan bantuan alat pasca panen maka bisa meningkatkan mutu TBS yang dihasilkan. Dari 16,8 juta Ha kebun kelapa sawit, 6,7 juta Ha merupakan kebun swadaya. Banyak kebun yang jauh dari PKS sehingga dengan bantuan unit pengolahan hasil bisa dibangun PKS di sentra-sentra kelapa sawit petani swadaya.
“Kita dorong di daerah yang belum terjangkau PKS supaya mengusulkan unit pengolahan hasil. Ada persyaratan khusus untuk pendirian PKS ini karena karateristik kelapa sawit berbeda dengan komoditas lain juga investasinya sangat besar,” kata Dedi lagi.
Bagi petani yang jalan usaha taninya sering rusak dan kebanjiran misalnya maka bisa mengajukan peningkatan jalan. Bagi petani kelapa sawit di lahan gambut yang arealnya sering terendam maka ajukan tata kelola air.
Alat transportasi berupa truk dan alat mesin pertanian berupa traktor dan eksavator bisa diusulkan supaya usaha tani sawit pekebun lebih efisien. Infrastruktur pasar ditujukan untuk kelembagaan pekebun seperti koperasi yang belum punya kantor, belum punya akses internet dan lain-lain.
Dengan mengusulkan infrastruktur pasar maka koperasi dibangunkan kantor beserta peralatan, juga komputer dan jaringan internet, maka bisa mengakses informasi seperti harga penetapan dan berbagai informasi lainnya.
Verifikasi ISPO, sesuai Permentan nomor 38 tahun 2020 maka tahun 2025 sertifkasi ISPO wajib bagi pekebun. Pekebun bisa mengajukan untuk verifikasi ISPO syaratnya asal berkelompok dalam kelembagaan ekonomi.
Dedi yakin petani swadaya mampu bersertifikat ISPO karena pengalaman sudah membuktikan tahun lalu ada yang bersertifikat ISPO walaupun bukan didanai oleh BPDPKS.
Tahun 2022 BPDPKS menganggarkan Rp 600 miliar untuk sarana dan prasarana terdiri dari ekstensifikasi 2.000 Ha, intensifikasi 8.000 Ha, alat pasca panen 20 unit dan unit pengolahan hasil 2, peningkatan jalan dan tata kelola air 6.000 Ha, alat transportasi 20 unit, infrastruktur pasar 10 unit, verifikasi teknis ISPO 50 paket.
“Ditjenbun sudah menandatangani SPK dengan BPDPKS untuk biaya operasional di lapangan. Minggu ke-3 Mei kita akan undang 92 kepala dinas yang menbawahi perkebunan baik tingkat provinsi maupun kabupaten supaya target sarpras bisa tercapai semuanya,” kata Dedi.
Ade Trisunar dari Dirat P2PH Bun menyatakan dari delapan jenis program sarpras petani bisa mengajukan salah satu sesuai dengan kebutuhannya.
“Kelembagaan pekebun silakan datang ke dinas perkebunan setempat mencari informasi dan menyiapkan persyaratan yang diperlukan. Semua usulan yang masuk akan kami proses,” katanya.
Menurut Ade potensi yang bisa diraih kalau target tercapai semua adalah intensifikasi akan ada peningkatan produksi TBS ±80.000-160.000 ton/tahun; ekstensifikasi diperkirakan produksi dan produktivitas meningkat 10-15%; alat pasca panen dan pengolahan hasil mengurangi losses TBS pada saat panen, terbentuknya korporasi petani, meningkatnya daya saing; peningkatan jalan dan tata kelola air mempertahankan mutu TBS sampai pabrik dan efisiensi waktu, biaya; alat transportasi efisiensi biaya pengiriman TBS; infrastruktur pasar meningkatkan informasi pasar dan kelayakan tempat usaha/kantor; verifikasi teknis ISPO meningkatkan pengelolaan perkebunan kelapa sawit sesuai prinsip dan kriteria ISPO, meningkatkan keberterimaan dan daya saing hasil perkebunan kelapa sawit Indonesia di pasar internasional; meningkatkan upaya percepatan dan penurunan emisi gas rumah kaca.
“Usulan yang paling banyak masuk adalah peningkatan jalan. Hal ini karena 50% jalan dalam kebun sawit rusak sehingga TBS untuk sampai ke pabrik perlu waktu lama. Kalau musim hujan TBS bisa berhari-hari baru bisa keluar kebun. Dalam kunjungan ke lapangan saya mengalami sendiri tertahan lama di kebun pada saat musim hujan,” katanya.
Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Utara (Sumut), Lies Handayani Siregar, meyambut baik dengan adanya program sarpras ataupun peremajaan sawit rakyat (PSR) untuk petani perkebunan kelapa sawit. Sebab harus diakui dengan adanya program sarpras tersebut dapat meningkatkan produkivitas yang berujung kepada peningkatan kesejahteraan petani.
Luas perkebunan kelapa sawit di Sumut 1,39 juta Ha, dengan luas kebun kelapa sawit rakyat 441.000 Ha. Permasalahan tidak sedikit lahan yang dimiliki oleh petani di Sumut yang usianya sudah tua atau di atas 25 tahun.
Kemudian tidak sedikit pula petani yang salah dalam melakukukan budidaya yakni menggunakan benih asalan atau tidak bersertifikat, atau bahkan melakukan budidaya belum sesuai dengan good agriculture practices (GAP).
Sehingga dalam hal ini Handayani berharap dengan adanya program PSR dan Sarpras diharapkan ada peningkatan hasil produksi minyak kelapa sawit terhadap kesejahteraan petani kelapa sawit di Sumut.
“Kemudian, terjaganya luasan lahan petani dengan dimanfaatkannya secara optimal anjuran jumlah populasi dalam satu luasan hektar dalam PSR sekitar 143 pohon/Ha dengan jarak tanam 9 × 9 m. Meningkatnya kemampuan kelembagaan petani pekebun. Petani bisa melakukan pengelolaan budidaya kelapa sawit rakyat secara berkelanjutan melalui pelaksanaan ISPO,” pungkas Handayani.
(RZD/RZD)