Masyrakat Sipolha-Tambun Raya melakukan aksi unjuk rasa menuntut PT TPL agar mengembalikan fungsi hutan, Kamis (23/6). (Analisadaily/Fransius Simanjuntak)
Analisadaily.com, Simalungun - Masyarakat Nagori Tambun Raya dan Kelurahan Sipolha, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, menggelar aksi damai di Nagori Tambun Raya. Masyarakat mengaku sengsara akibat alih fungsi hutan yang mengakibatkan banyaknya binatang menjadi hama merusak pertanian di Nagori Tambun Raya, Kamis (23/6).
Jhon Winsyah Raja Saragih, Koordinator Aksi mengatakan, penduduk desa bekerja sebagai petani. Tanaman yang biasanya ditanam oleh masyarakat setempat adalah cabai, jagung, jahe, tomat, bawang, kacang tanah, ubi, padi, kopi, mangga, durian, alpukat, dan lainnya.
“Selain sempitnya lahan pertanian di kawasan ini, daerah ini juga memiliki struktur tanah berbatu,” ujarnya.
Lahan sempit dan struktur tanah yang demikian, tentu saja akan memudahkan masyarakat dalam mengolah lahannya. Apalagi ditambah dengan masalah baru dan berat, yakni dengan adanya kawanan satwa liar yang mengganggu lahan mereka, seperti kera, monyet dan babi hutan yang menyebabkan kerugian besar petani.
Menurut pengakuan masyarakat, di tahun 1990-an, kera, monyet dan babi sudah mulai masuk ke lahan masyarakat, namun belum terlalu banyak jumlahnya, sehingga masih dapat diatasi masyarakat. Namun sejak tahun 2019, gangguan kera, monyet dan babi hutan sudah tidak bisa diatasi lagi.
Menurut masyarakat, hal ini terjadi akibat bergantinya hutan heterogen menjadi homogen atau Hutan Tanaman Industri (HTI) yang saat ini dikuasi oleh PT TPL. Bergantinya alih fungsi hutan alami, menjadi hutan ekaliptus menyebabkan hilangnya rumah dan rantai makanan bagi kawanan kera/monyet dan babi hutan.
Dengan demikian kawanan hama tersebut ini bermigrasi masuk ke perladangan, bahkan ke pemukiman masyarakat untuk mencari “rumah baru” dan makanan. Migrasi besar-besaran ini pada akhirnya menjadi hama dan bencana besar bagi masyarakat Sipolha-Tambun Raya.
Seluruh tanaman mereka, mulai dari ubi, jagung, mangga, jahe, tomat, alpokat, tuak dan yang lainnya tidak lepas dari gangguan dan ancaman kawanan ini. Akibatnya, biaya produksi (karena harus menjaga) semakin tinggi, namun hasil panen masyarakat pun rendah. Hari-hari mereka banyak dihabiskan untuk menjaga tanaman yang sedang produktif, sehingga mereka tidak punya waktu untuk bekerja di lahan lain.
Bahkan tidak sedikit warga yang tidak bisa beribadah pada hari Minggu, karena harus menjaga tanaman mereka di perladangan. Selain bermigrasinya kawanan kera, monyet, dan babi hutan, dampak negatif yang langsung dirasakan masyarakat akibat alih fungsi hutan adalah mengecilnya mata-mata air yang bersumber dari kawasan hutan.
Menurut pengakuan masyarakat, aliran air tidak hanya mengecil, di musim kemarau bisa kering (mati). Padahal, jauh sebelum dilakukannya alih fungsi hutan di perbukitan Sipolha-Tambun Raya, mata air tersebut tidak pernah kering walaupun musim kemarau panjang.
Ada pun fungsi mata air tersebut, selain menjadi air minum yang langsung disalurkan ke rumah-rumah penduduk, air tersebut juga dipakai untuk mandi, cuci piring-pakaian dan difungsikan juga untuk mengairi sawah, menyiram tanaman, mencuci tanaman, minuman ternak, dan lain-lain.
“Dapat disimpulkan bahwa mata-mata air yang bersumber dari perbukitan tersebut memiliki fungsi vital dalam menunjang kehidupan dan ekonomi masyarakat. Artinya dengan terganggunya sumber air, maka telah terganggu juga hidup dan ekonomi masyarakat. Salah satu desa yang terdampak langsung adalah Desa Huta Mula,” terang Jhon.
Diterangkan, selama ini masyarakat sudah melakukan langkah antisipasi seperti menjaga tanaman sepanjang hari, mengadakan pengasapan di ladang, mengusir secara bersama-sama, memelihara anjing di ladang, Dan bersepakat menyisihkan sedikit lahan untuk dijadikan hutan buah.
“Atas alih fungsi hutan yang saat ini dikuasai oleh pihak PT TPL, masyarakat menuntut TPL memberikan konpensasi kepada masyarakat Tambun Raya-Sipolha, serius menanggulangi hama, memastikan CSR perusahaannya dapat dinikmati masyarakat Tambun Raya-Sipolha dengan membangun fasilitas-fasilitas umum yang bermanfaat untuk kemajuan serta pemberian bantuan yang mendukung perekonomian masyarakat,” terangnya.
Kemudian untuk jangka panjang, masyarakat menuntut, agar TPL membuat foodforest minimal 10 hektare sepanjang Tambun Raya-Sipolha, membuat penghijauan di sekitar daerah aliran sungai, memberdayakan masyarakat dengan menyediakan lahan, bibit, dan biaya perawatan tanaman selama lima tahun yang juga diperuntukkan bagi satwa liar.
(FHS/RZD)