Budaya Digital: Menjadi Masyarakat Digital yang Pintar

Budaya Digital: Menjadi Masyarakat Digital yang Pintar
Budaya Digital: Menjadi Masyarakat Digital yang Pintar (Analisadaily/Istimewa)

Analisadaily.com, Jakarta - Kehadiran internet saat ini dilihat telah sangat membantu setiap individu dalam kemudahan berbagi informasi melalui internet, maupun dalam aktiviyas kehidupan sehari-hari.

Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Anton Sukartono Suratto mengatakan, transformasi digital yang telah hadir mengharuskan masyarakat untuk mampu beradaptasi dengan dunia digital. Namun, di samping dampak-dampak positif yang dirasakan masyarakat dalam menggunakan teknologi digital, tentu ada celah-celah yang dapat menimbulkan dampak negatif.

Anton memaparkan beradasarkan data pada tahun 2020, Indonesia merupakan negara dengan indeks kesopanan digital paling buruk se-Asia Pasifik, padahal jika berinteraksi secara langsung, masyarakat Indonesia dikenal sebagai pribadi yang ramah dan sopan.

“Ini menunjukkan dunia cyber seolah terputus dari dunia nyata, padahal keduanya sangat berkesinambungan. Selain tidak sopan, tantangan di dunia digital di Indonesia lainnya adalah informasi bohong atau hoaks. Setidaknya hanya 26% saja masyarakat di Indonesia yang mampu mengenali hoaks. Jika melihat data di atas, tidak heran hoaks di Indonesia ini sangat berkembang dan sulit dibungkam. Ini sangat bahaya! Maka seharusnya, ketika kita sudah masuk ke dalam dunia digital, harus menjadi masyarakat digital yang pintar,” katanya, Kamis (30/6).

Maka dari itu, Anton mengimbau kepada masyarakat agar selalu menjaga sikap di dunia digital. “Membangun dunia digital sebagai masyarakat yang cerdas bisa dilakukan dengan memanfaatkan internet untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman, mencari peluang bisnis, memperluas jaringan pertemanan, berbagi hobi. Selain itu masyarakat digital yang pintar itu yakni yang selalu mengecek kebenaran atau fakta informasi sebelum disebarluaskan.”

Sejalan dengan apa yang dikatan oleh Anton Sukartono Suratto, Dirjen Aptika Kominfo, Samuel Abrijani Pangerapan mengatakan jika peningkatan literasi digital sangat dibutuhkan di era digital untuk meminimalisir terjadinya penggunaan internet yang memberi dampak negatif.

“Masifnya penggunaan internet membawa serta resiko seperti penipuan online, hoaks, cyberbullying, dan konten-konten negatif lainnya. Maka dari itu peningkatan penggunaan internet harus disertai dengan kemampuan literasi digital yang mumpuni agar tetap dapat memanfaatkan teknologi digital dengan produktif, bijak, dan tepat guna,” tutur Samuel.

Agar dapat mencapai tujuan tersebut, Kominfo bersama mitra dan jaringannya menyelenggarakan pelatihan digital untuk menanamkan literasi digital di seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Pada tahun 2021, program tersebut mampu menjangkau lebih dari 515 kota di 34 provinsi di seluruh Indonesia.

Namun, peningkatan literasi digital merupakan tantangan besar sehingga membutuhkan dukungan semua pihak agar dapat meningkatkan literasi digital dan mengembangkan sumber daya manusia digital untuk mewujudkan Indonesia Digital Asian.

Anggota Komisi Penyiaran Indonesia, Tri Rahayu Mayasari mengatakan, menurut data, tingkat konsumsi internet di Indonesia sangat tinggi, sebanyak 36% masyarakat Indonesia menggunakan internet sebagai media komunikasi.

Dan masyarakat Indonesia rata-rata menggunakan 6 jam waktunya dalam sehari hanya untuk menggunakan internet. Menurut Tri, jika dalam berselancar di dunia internet masyarakat tidak dibekali edukasi atau literasi digital yang baik, maka yang timbul adalah dampak negatif dari internet itu sendiri.

Tri juga mengutarakan bahwa televisi sampai saat ini juga masih menjadi media yang paling sering ditonton oleh masyarakat Indonesia, selanjutnya, ia juga mengatakan bahwa acara yang ditonton di televisi, sedikit-banyak mempengaruhi perilaku individu dalam kehidupan bermasyarakat maupun bermedia sosial.

“Ada 3 program yang dari tahun ke tahun masih berada dalam chart yang bawah ya.. ada variety show, infotainment dan sinetron. Bapak ibu coba bayangkan ketiga 3 program ini yang berdasarkan hasil riset kita ini belum memenuhi standart, ditontoh oleh generasi muda kita setiap hari, coba bisa dibayangkan apa yang akan terjadi terhadap generasi muda kita. Katakanlah kita coba ambil program sinetron, dalam analisis yang di analisa oleh para panel ahli yang terdiri dari 12 kampus yang ada di Indonesia, ada dosen, ada tokoh masyarakat, ada pegiat sosial media, hasilnya 3 program masih belum memenuhi standart kami. Kesimpulannya adalah sinetron masih banyak mengandung konten-konten yang belum edukatif,” terangnya.

Pada kesempatan kali ini, Tri juga mengatakan, untuk mengatasi segala dampak negatif yang ditimbulkan oleh tayangan-tayangan yang ada di televisi, netflix, ataupun media lainnya, pemerintah dalam hal ini Kominfo maupun KPI tidak bisa bekerja sendiri. Masyarakat juga harus terlibat untuk mengedukasi sesamanya untuk bisa menyaring hal-hal yang berbau negatif.

“Kita membutuhkan kerjasama berbagai macam pihak, tidak hanya lembaga negara, kita tidak bisa blaming bahwa oh itu tugas adalah tugas pemerintah untuk memberikan punishment, untuk memberikan pembatasan dan sebagainya. Di wilayah regulasi, pemerintah sudah melakukan itu, tapi di tatanan bawah masyarakat juga harus berkolaborasi, contoh ketika melakukan riset ini KPI bekerja sama dengan kampus, jadi kampus juga bertanggung jawab untuk mengedukasi masyarakat agar kita bersama-sama bisa membangun masyarakat digital yang pintar,” paparnya.

Maka dari itu, Tei mengimbau kepada seluruh elemen masyarakat untuk memanfaatkan media sosial dalam memberikan konten-konten yang edukatif agar bisa membangun masyarakat yang pintar, tidak terjebak pada hoaks, dan bijak dalam menggunakan media sosial.

Pemerintah dan seluruh elemen masyarakat juga harus berkolaborasi untuk menciptakan atmosfir dan regulasi yang tepat agar tercipta masyarat digital yang pintar.

(RZD)

Baca Juga

Rekomendasi