Istana Maimun (Analisadaily/Istimewa)
Analisadaily.com, Medan - Konflik di atas lahan tanah milik Kesultanan dengan pihak BUMN terutama yang dikuasai oleh PT Perkebunan Nusantara II, III dan IV (Persero) dan PT Kereta Api Indonesia (Persero), akan terus berlanjut. Pasalnya karena baik pihak Kementeian BUMN maupun Pemerintah cq.Kementerian Agraria dan Tata Ruang dan jajarannya serta Pemerintah Provisi dan Kabupaten/Kota tak pernah memiliki kepedulian dan sungguh-sungguh untuk menyelesaikan konflik.
Hal itu diungkapkan Prof OK Saidin di celah-celah kesibukannya pada acara penyambutan mahasiswa baru Prodi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera, di Gedung Peradilan Semu Fakultas Hukum Universitas Sumatera, Sabtu (24/9).
“Tak ada satu lahan-pun di wilayah Kesultanan Deli yang bukan milik Sultan, kecuali untuk lahan-lahan tanah yang telah diperuntukkan kepada subyek hukum pribadi yang dituangkan dalam Grant Sultan yang tersebar di sebagian wilayah Deli Tua, Kota Maksum, Sei Kera Wilayah Percut hingga ke garis Pantai ke Belawan dan sekitar Mabar sampai ke Labuhan Deli,” ujar Ketua Prodi Magister Hukum USU itu.
Disewakan kepada Pengusaha Belanda
Merujuk pada Peta Tahun 1910, Wilayah Kesultanan Deli meliputi wilayah Kota Medan sekarang, sebagian Wilayah Kota Binjai, Deliserdang, Serdang Bedagai, Tebing Tinggi, dan bahkan sebagian wilayah Kabupaten Batubara. Tanah-tanah yang luas itu dikonsesikan (disewakan) kepada pengusaha perkebunan Belanda untuk jangka waktu 75 hingga 99 tahun dan ada juga perpanjangannya untuk jangka waktu 40 sd 50 tahun.
Manurutnya, sebelum masa konsesi berakhir, Indonesia merdeka. Seiring dengan itu, terbit UU No.86 Tahun 1958 Tentang Nasionalisasi yang mengambil alih dan mengkonversi hak itu menjadi Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan (untuk kantor-kantor) dan sebagian Hak Pakai untuk kantor-kantor yang digunakan Pemerintah, tanpa membayar konvensasi kepada pihak Kesultanan Deli.
Padahal, lanjut Guru Besar Ilmu Hukum Perdata Universitas Sumatera itu, UU No. 86 Tahun 1958 tersebut mewajibkan kepada negara untuk membayar ganti rugi kepada pihak-pihak yang asetnya melekat pada perusahaan perkebunan Belanda itu.
Pascabasionalisasi, pihak Kesultanan Deli tidak lagi mendapat pembayaran uang sewa dari pihak perkebunan atas pemakaian lahan-lahan itu seperti yang pernah diterima Kesultanan Deli dari pihak Onderneming Belanda. Begitu juga rakyat – yang dikenal dengan sebutan Rakyat Penunggu-BPRPI) -- tidak lagi mendapat hak untuk bercocok tanam pada satu tahun musim tanam pada saat tanah tidak ditanami tembakau, seperti yang tertuang dalam Akta Konsesi.
Sebagai reaksi bermunculanlah klaim Rakyat dari berbagai pihak mengatasnamakan penggarap di atas tanah yang dipergunakan oleh pihak PT Perkebunan Nusantara II. Pihak Kesultanan Deli secara terus menerus membunyikan tuntutannya karena belum pernah ada penyelesaian atas keberadaan hak mereka.
Pada kurun waktu 1990-2000 terjadi penggarapan besar-besaran di atas lahan Perkebunan tersebut, yang tak mampu diantisipasi oleh Pihak PT Perkebunan Nusantara II (Persero). Menurut OK Saidin, Gubernur Sumatera Tengku Rizal Nurdin ketika itu mengambil inisiatif, menghentikan penggarapan besa-besaran melalui langkah-langkah penyelesaian yang mengedapankan langkah politis (bukan hukum) agar konflik itu segera diakhiri, dengan membentuk tim penyelesaan yang dinamakan Panitia TIM-B Plus.
Melalui proses yang panjang dengan mengacu pada putusan TIM B Plus, akhirnya Badan Pertanahan Nasional menerbitkan SK No.42/HGU/BPN/2002 dan SK No.10/HGU/BPN/2004 dengan tidak lagi memperpanjang HGU PT Perkebunan Nusantara II (Persero) seluas 5.873 Ha dan di atas lahan itu kemudian dialokasikan antara lain kepada Masyarakat Adat Melayu.
Keputusan Kepala BPN No. 42/HGU/BPN/2002 dan SK BPN Nomor 10 Tahun 2004 secara rinci membagi distribusi tanah seluas 5.873 Ha kepada 6 Kelompok sebagai berikut, Tuntutan Masyarakat seluas 1.377 Ha, Garapan Rakyat seluas 546 Ha, Pensiunan Karyawan seluas 558 Ha, Rencana Tata Ruang dan Pengembangan Wilayah Kabupaten Kota 2.641 Ha, Penghargaan kepada Masyarakat Melayu seluas 450 Ha dan Pengembangan Universitas Sumatera Utara 300 Ha.
Tapi lebih dari 20 tahun sudah berlalu, pendistribusian kepada Masyarakat Adat Melayu itu tak dapat direalisasi.Tenggang waktu yang panjang itu membuka ruang para mafia tanah untuk berspekulasi. Spekulasi itu muncul, karena tanah yang dikeluarkan dari perpanjangan HGU tersebut adalah tanah yang posisinya sangat strategis.
Lebih dari 3000 Ha di antaranya adalah lahan yang berada di pingiran kota Medan dan sebahagian direncanakan untuk perluasan Kota Binjai. Memang sebahagian lahan yang dilepaskan itu diperuntukkan bagi perluasan kota yang dimasukkan dalam Rencana Umum Tata Ruang Kota dan Kabupaten.
Penggarap Liar Menjadi-jadi
Dampak dari keterlambatan penyelesaian itu, menyebabkan penggarapan liar semakin menjadi-jadi. Pihak yang mengarap tidak hanya rakyat yang kesehariannya bergantung hidupnya pada tanah, tetapi juga oleh oknum-oknum mulai dari mereka yang bekerja di PT. Perkebunan Nusantara II sendiri sampai pada oknum pejabat di lingkungan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
“Lain-lagi keterlibatan para oknum yang berdiri di belakang para mafia atau cukong tanah. Surat-surat palsu pun beredar yang seolah-olah menggambarkan di atas obyek itu telah pernah diberikan hak kepada rakyat. Lalu rakyat tersebut menjual kepada seseorang dan mereka menempuh perkara di jalur pengadilan, lalu di antara mereka ada yang kalah dan ada yang memenangkannya. Kasus lahan di Perkebunan Helvetia dan Batangkuwis adalah beberapa contoh yang dapat dirujuk,” kata OK Saidin.
Penyelesaian untuk Masyarakat Melayu baru tampak ketika pada awal tahun 2018. Pada waktu itu Kakanwil Pertanahan Provinsi Sumatera Utara mendapat pengarahan langsung dari Presiden Republik Indonesian dan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional RI. Inti pengarahannya agar segera menyelesaikan konflik pertanahan di Sumatera Utara. Kakanwil menggunakan peluang itu untuk menyelesaikan agenda tanah 5.873,06 Ha yang sudah terkatung-katung selama 16 Tahun sejak diterbitkannya SK No.42/HGU/BPN/2002 dan SK No.10/HGU/BPN/2004.
Setelah mempelajari kelengkapan dokumen, bersama dengan para pemohon nominatif lainnya, akhirnya Gubernur Sumatera menerbitkan Surat: Nomor 181.1/13294/0017, perihal Daftar Nominatif Usul Penghapusbukuan Tanah Bekas HGU PTPN II, Tanggal 21 Desember 2017 dan memutuskan Yayasan Melayu Raya adalah subyek penerima penyerahan lahan eks HGU PT Perkebunan Nusantara II (Persero) seluas 450 Ha.
Tak kurang dari 7 (tujuh) surat yang diterbikan oleh Gubernur Sumatera Utara (Surat Gubernur Sumatera Nomor 181.1/13294/0017, Perihal Daftar Nominatif Usul Penghapusbukuan Tanah Bekas HGU PTPN II, Tanggal 21 Desember 2017), sepanjang tahun 2017 untuk menindaklanjuti dua produk administratif dua lembaga tersebut.
Merujuk pada surat itu diputuskanlah daftar Nominatif Penerima Hak Atas Tanah Eks HGU PTPN II yang dihapus bukukan dari Kementerian BUMN, seluas 1.428,2688 Ha. Datar itu tertuang dalam Surat Gubernur Sumatera Utara, Nomor 181.1/13294/0017, Tanggal 21 Desember 2017.
Adapun nama-nama yang masuk dalam daftar nominatif adalah : Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara seluas 20 Ha, terletak di Desa Sena Kecamatan Batang Kuis, Kabupaten Deliserdang, Komando Daerah Militer I Bukit Barisan seluas 20 Ha terletak di Desa Sena Kecamatan Batang Kuis, Kabupaten Deliserdang, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara seluas 24,91 Ha terletak di Desa Sempali, Kecamatan Perscut Sei Tuan, Kabupaten Deliserdang, Pemerintah Kota Binjai 132 Ha terletak di Kelurahan Tunggurono, Kecamatan Binjai Timur, Kota Binjai, Yayasan Melayu Raya Berkedudukan di Medan seluas 250 Ha Tersebar pada 5 titik, yakni: Desa Amplas Kecamatan Percut Sei Tuan, Desa Telaga Sari Kecamatan Tanjungmorawa, Desa Sena Kecamatan Batang Kuis, Desa Saentis Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deliserdang dan Kelurahan Tunggurono Kota Binjai, Pensiunan Karyawan PTPN II seluas 43, 3879 Ha, sebanyak 71 Bidang yang tersebar di Desa Sampali, Kualanamu, Kabupaten Deliserdang dan Kelurahan Pahlawan, Kota Binjai dan Garapan Masyarakat seluas 947,9709 Ha tersebar di beberpa lokasi di Kelurahan Tunggurono, Kecamatan Binjai Timur Kota Binjai, Desa Helvetia, Desa Amplas, Desa Ujung Serdang, Desa Sena, Desa Durian Tonggal, Kabupaten Deliserdang.
Yayasan Melayu Raya
Berdasarkan Daftar nominatif terdapat 250 Ha yang diperuntukkan kepada Yayasan Melayu Raya (ownernya adalah para Sultan yang ada di Sumatera Timur yang secara mutatis mutandis adalah pemilik tanah yang dikuasasi oleh oleh pihak Kementerian BUMN cq.PT Perkebunan Nusantara II (persero) Tanjungmorawa), sebagai representatif dari Masyarakat Adat Melayu), akan tetapi kepada Lembaga masyarakat adat Melayu ini, diwajibkan untuk memenuhi semua prosedur yang telah ditetapkan oleh Menteri BUMN antara lain membayar kewajiban untuk penghapus bukuan yang ditetapkan dalam Surat Diretur PT Perkebunan Nusantara II (Persero).
Melalui Surat Perintah Pembayaran yang merujuk pada:
- Keputusan Kepala BPN RI No. 42/HGU/BPN/2002 tentang Pemberian Perpanjangan Jangka Waktu Hak Guna Usaha atas tanah terletak di Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara tanggal 29 November 2002.
- Surat Gubernur Sumatera Utara No. 181.1/13294/2017 perihal Daftar Nominatif Usul Penghapusbukuan Tanah Bekas HGU PTPN II tanggal 21 Desember 2017.
- Keputusan Para Pemegang Saham PT. Perkebunan Nusantara II sesuai Surat No. S-555/MBU/08/2018 dan 3.00/KPPS/15/VIII/2018 perihal Persetujuan Penghapusbukuan dan Pemindahtanganan Aset Tanah Eks Hak Guna Usaha seluas + 2.216,2855 Ha tanggal 24 Agustus 2018.
- Laporan Hasil Akhir Penilaian KJPP Rengganis, Hamid & Rekan terhadap harga asset areal eks HGU PTPN II berupa tanah kosong peruntukan Yayasan Masyarakat Adat Melayu Raya Deliserdang terletak di Jl. Arteri Kualanamu (d.h. Jl. Batangkuis), Desa Telaga Sari, Kec. Batangkuis, Kab. Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara sesuai No. laporan 00088/2.1403-01/P1/01/0387/1/V/2019 tanggal 8 Mei 2019 dan.
- Berita Acara Penetapan Harga Penilaian Asset Eks. HGU PTPN II berupa tanah kosong peruntukan garapan masyarakat di RUTRWK dan peruntukan Yayasan Masyarakat Adat Melayu Raya Deliserdang terletak di Kebun Patumbak (d.h. Kebun Mariendal II) di Desa Amplas, Kec. Percut Sei Tuan, Kab. Deliserdang, Provinsi Sumatera Utara No. BA-PEN/027/V/2019 tanggal 13 Mei 2019.
Anehnya semua proses yang telah dilakukan selama puluhan tahun itu, dibatalkan begitu saja oleh Gubernur Provinsi Sumatera Utara, karena ada Keputusan Peradilan Tata Usaha Negara yang membatalkan untuk luasan bidang tanah seluas 200 Ha yang teretak Desa Sena Kecamatan Batang Kuis Kab. Deliserdang yang dimenangkan oleh PT. Surya Mas Deli Kencana melalui putusan PTUN Nomor : 156/G/2018/PTUN Medan tanggal 31 Januari 2019 dan dikuatkan dengan Putusan PTTUN Nomor 83/B/2019/PT TUN-Medan tanggal 8 April 2019.
Atas keputusan itu Gubernur Edy Rachmayadi mambatalkan Keputusan Gubernur Nomor 181.1/13294/0017, perihal Daftar Nominatif Usul Penghapus bukuan Tanah Bekas HGU PTPN II, Tanggal 21 Desember 2017, yang ditanda tangani Gubernur Sumut sebelumnya, Tengku Ery Nuradi, untuk seluruhnya. Gubernur bukannya mengeluarkan untuk luasan 200 Ha itu saja sesuai Putusan Peradilan Tata Usaha Negara, atau mengoreksi untuk luasan yang tak terkena dari bagian 200 Ha yang dimenangkan oleh PT. Surya Mas Deli Kencana, tetapi untuk semua luasan yakni, seluas 1.428,2688 Ha.
Setelah pembatalan Surat Keputusan itu, Gubsu membentuk Tim verikasi dan identifkasi untuk penerbitan SK nominatif baru yang diterbutkan secara parsial. Sejak tangga 18 Desember 2020 sampai dengan 8 Desember 2021 tercatat 502,3 Ha telah diterbitkan SK Nominatif dari 102 Kelomok Masyarakat yang telah diklarifikasi. Sedangkan luasan lahan yang telah diklarifikasi dan diverifikasi berjumlah 1.503,66 Ha.
Untuk lahan tanah yang sudah dilaksanakan identifikasi lapangan berjumlah 988, 81 Ha. Angka ini akan terus bertambah, sayangnya Yayasan Melayu Raya sebagai representatif dari masyarakat Melayu belum tahu ujung rimbanya, hendak diposisikan di mana.
Perkembangan terakhir kami peroleh data bahwa terdapat sejumlah lembaga dan nama pemohon, mulai dari Lembaga Pendidikan, perorangan dan atas nama Pemkab Deliserdang, yang terdistribusi pada beberapa kelompok pemohon yakni, Tuntutan Masyarakat, Perumahan Karyawan, RUTRWK dan lain-lain.
Selain dikenakan untuk membayar uang membayar kewajiban untuk penghapus bukuan, artinya Puak Melayu membayar untuk bidang tanahnya sendiri yang “diambil alih oleh negara secara politis”.
Saat ini Gubernur mengatur kembali pendistribusiannya seperti 20 tahun yang lalu, mengidentifikasikembali siapa Masayarakat Adat Melayu yang dimaksdukan? Bukannya mengikuti dan merujuk pada surat-surat resmi sebelumnya, termasuk terakhir keputusan BPN Sumut dan Gubsu sebelumnya yang menunjuk Yayasan Melayu Raya. Jika Gubernur mau membaca dan mempelajari perjalanan Yayasan Melayau Raya sedikit saja, mereka akan tahu bahwa Yayasan Melayu Raya itu didirikan oleh Owner (Pembina Yayasan) Sultan Deli, Sultan Langkat, Sultan Asahan dan Sultan Serdang, pemilik sebagaian lahan-lahan Perkebunan yang dikuasai oleh BUMN yang ada di Sumatera Utara.
“Di sinilah yang saya katakan tidak ada kepedulian BUMN dan Pemerintah Provinsi Sumatera untuk menyelesaikan tanah yang alas hak kepemilikannya masih melekat di Kesultanan Deli. Bahkan sekarang pihak pemerintah terkesan “memecah belah” masyarakat Melayu yang sudah dipersatukan oleh Tengku Rizal Nurdin dalam Yayasan Melayu Raya. Kami berharap Kementerian BUMN, Kementerian Tata Ruang dan BPN serta Pemerintah Provinsi Sumatera Utara tidak membuat “tafsir bebas” seperti yang berlangsung hari ini,” ungkapan Ketua Yayasan Melayu Raya ini.
“Kami sudah berulang kali mengajukan permohonan agar daftar nominatif itu segera dikeluarkan. Kami sudah melengkapi semua dokumen yang kami miliki dan seluruh rangkaian proses yang diperlukan sudah kami tempuh. Langkah penerbitan parsial daftar nominatif yang dilakukan Gubsu hari ini hendaknya tidak mengalami kemunduran seperti 20 tahun yang lalu, artinya kembali menentapkan subyek hukum yang berhak,” lanjutnya.
Menurutnya, Keputusan Panitia Tim B Plus yang dibentuk oeh T.Rizal Nurdin melalui SK No.593.4/065/Tahun 2000, tanggal 11 Pebruari 2000 jo.No.593.4/2060/K/Tahun 2000, Tanggal 17 Mei 2000, sudah jelas siapa subyek penerima hak.
Potensi Korupsi
OK Saidin mengegaskan, saat ini pendistribusian tanah Eks HGU PTPN seluas 5873 ha itu sangat berpotensi untuk masuk ke ranah korupsi. Jika pemerintah Provinsi, BPN dan PT Perkebunan Nusantara II cq tidak hati-hati, akhir dari semua peristiwa ini akan berujung di penjara.
“Bagi Melayu Raya, pendirian kami sangat jelas,” ungkap OK Saidin.
Tidak ada kompensasi kepada pihak PTPN II cq kementerian BUMN. Hak Guna Usaha yang telah berakhir lebih dari 20 tahun tak dapat lagi diklaim untuk dibayar ganti rugi. Menempatkan Lembaga Penilaian KJPP Rengganis, Hamid & Rekan terhadap harga asset areal eks HGU PTPN II berupa tanah kosong peruntukan Yayasan Masyarakat Adat Melayu Raya Deli Serdang terletak di Jl. Arteri Kualanamu (d.h. Jl. Batangkuis), Desa Telaga Sari, Kec. Batangkuis, Kab. Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara sesuai No. laporan 00088/2.1403-01/P1/01/0387/1/V/2019 tanggal 8 Mei 2019 adalah keliru.
“Keliru, karenanya tanahnya milik Kesultanan Deli yang belum pernah diselesaikan oleh negara. Yang kedua, asset apa yang dimiliki PTPN II di atas lahan yang telah berakhir HGU-nya,” lanjutnya.
Begitu juga tentang subyek penerimanya tidak bisa lagi diutak-atik oleh Gubernur Sumatera Utara, karena itu sudah final pada tahun 2003 dengan mengikuti keputusan Gubernur Rizal Nurdin ketika itu dengan mendirikan Yayasan melayu Raya dengan menempatkan Sultan-Sultan di Sumatera Timur sebagai badan Pembinan dan Masyarakat Adat sebagai Pengurus dan Pengawas.
Setelah terbentuk Yayasan Melayu Raya yang tertuang dalam akte yang dibuat di hadapan Notaris Wilfrid Panggabean, SH, SpN dengan Akte Nomor 03 pada tanggal 20 Maret 2003, pada penghujung bulan Oktober 2004, Pemerintah Propinsi Sumamatera, Yayasan Melayu Raya dan PT Perkebunan Nusantara II (Persero) mengadakan rapat.
Gubsu Rizal Nurdin saat itu mengundang Pengurus Yayasan Melayu Raya, Perwakilan PT Perkebunan II (Persero), melalui suratnya nomor 7889/sekr/ 2004 yang juga dihadiri oleh Sekda Prop.Sumatera Utara Asisten I Kab.Deli Serdang, Perwakilan PT Perkebunan Nusantara II (Persero) untuk mengadakan rapat dengan agenda membahas peruntukan lahan 450 Ha kepada Yayasan Melayu Raya. Rapat ketika itu dimpin langsung oleh Tengku Rizal Nurdin, yang menegaskan legal standing Yayasan Melayu Raya sebagai Badan Hukum penerima penghargaan lahan seluas 450 Ha yang merupakan bagian dari lahan 5.873 Ha yang tidak diperpanjang HGU-nya.
Setelah 13 tahun berselang posisi Yayasan Melayu Raya dikuatkan lagi dalam Rapat Tanggal 11 Oktober 2017 di Kantor BPN Sumatera Utara, atas undangan Kakanwil BPN Sumatera Utara melalui suratnya Nomor: 1877/002-12/X/2017, tanggal 10 Oktober 2017. Undangan itu disampaikan secara resmi bersama-sama dengan Asisten Pemerintahan Umum Setda Pemprovsu, Direksi Perkebunan Nusantara II Persero dan Sultan Serdang.
Rapat itu membahas tentang (tindak lanjut penyelesaian lahan eks HGU PTPN II seluas 5873,06 Ha) yang secara khusus membahas tentang peruntukan lahan sebagai penghargaan untuk Masyarakat Adat Melayu di areal Eks HGU PT Perkebunan Nusantara II (Persero). Jadi urusan subyek penerima hak sudah selesai.
“Patut semua pihak menghayati dengan cermat, jika Kementerian BUMN cq PT Perkebunan Nusantara II berhak untuk mendapatkan uang ganti rugi atas HGU nya yang sudah berakhir, maka sesungguhnya Kesultanan Deli, Langkat dan Serdang adalah pihak yang lebih pantas lagi menerima konpensai dan pembayaran ganti rugi itu karena tanah itu berasal dari Tanah Milik Kesultanan di Sumatera Timur yang diambil alih negara tanpa ganti rugi yang sesungguhnya diamanahkan oleh UU N0,86 Tahun 1958,” tegas OK Saidin.
“Karena itu, jika pemerintah termasuk Pemprovsu dan Kementerian BUMN cq.PT Perkebunan Nusantara II (Persero) tidak memperlihatkan keseriusannya, kami akan menempuh langkah-langkah hukum l dan akan mengajukan gugatan untuk menggugat Kementerian BUMN cq PTP Perkebunan Nusantara II (Persero) untuk menggugat Ganti rugi atas pelepasan pengalihan hak atas tanah seluas 5.873 Ha tersebut,” demikian pungkas OK.Saidin yang juga Ketua Yayasan Melayu Raya.
(HERS/RZD)